sebegitu tak berartinya Â
aku di matamu, sayang, Â
seperti kabut yang diburu pagi, Â
seperti pasir yang diterbangkan angin, Â
terlupakan, hanya menyisakan jejak Â
di dasar laut hatimu. Â
sampai-sampai Â
aku sakit muntaber, gagal hati, Â
gagal peluk, gagal demam--- Â
gagal, ah sudahlah, Â
kehilangan pun sudah jadi teman sejati.
kasih, pergilah saja, Â
biar aku yang melangkah sendiri Â
dalam kesunyian yang menanti. Â
tak akan kucari kau lagi, Â
meski hanya dalam bayang, Â
meski hanya dalam pura-pura--- Â
(hahahaha) Â
aduh, bagaimana caranya Â
melupakanmu, yang sudah mendarah daging? Â
marahmu masih terpatri, Â
seperti lukisan usang Â
yang tak ingin kulepaskan.
aroma napas hangatmu Â
masih berputar di dalam alveolusku, Â
di dalam lorong-lorong yang paling tersembunyi, Â
dalam tiap helaan yang terasa sesak. Â
apa jadinya aku, Â
jika aku hanya tinggal sebagai aku, Â
tanpa kita yang mengisi ruang bersama? Â
hanya sisa-sisa yang tak lagi utuh, Â
dibuang ke dalam diri yang asing ini.
akhirnya, aku terbiasa Â
menjadi aku yang hampa, Â
seperti aku yang tak lagi menunggu sesuatu. Â
menjaga luka ini dengan diam, Â
membiarkan waktu merusak batas-batasnya. Â
melupakanmu adalah seni Â
yang tak pernah kutuai, Â
sebab bahkan bayangmu Â
masih tercetak di dinding-dinding hatiku, Â
seperti tulisan yang tak bisa dihapuskan.
tapi aku akan mencoba, Â
seperti daun yang mencoba menghindar dari hujan, Â
biar tiap tetes doa Â
menjadi obat yang perlahan menyembuhkan luka. Â
meski aku tahu, Â
dalam tiap denyut nadi yang aku harap tak ada, Â
ada kau yang selalu kembali, Â
menjadi gemuruh angin, Â
menjadi hujan yang tak pernah selesai.
**
M Sanantara
Bgr, 30012025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI