Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Model - Art Modeling

Hanya seorang lelaki biasa yang senang mendengar hatimu bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keindahan Langit dalam Perspektif Manusia

27 Januari 2025   14:10 Diperbarui: 27 Januari 2025   14:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Kurniawan di Unsplash.

Langit, dengan hamparan birunya yang seolah tak berujung, sering kali dianggap sebagai simbol keabadian, harmoni, dan keindahan universal. Namun, apakah langit itu selalu membawa pesona? Ataukah ia hanyalah cermin yang memantulkan retaknya isi jiwa bagi setiap tatap?

Ada yang berkata, "Keindahan langit adalah keabadian," tetapi bukankah ia lebih menyerupai refleksi? Sebuah pantulan dari kita sendiri, dari bisikan rasa dan luka yang tersembunyi. Birunya cakrawala mungkin tak pernah berubah, namun maknanya selalu berbeda, tergantung siapa yang memandang dan bagaimana mereka membaca cerita yang tersembunyi di balik awan.

Pada Desember 2024, kualitas udara di Jakarta membaik, menyebabkan langit ibu kota terlihat lebih biru cerah. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa meskipun langit tampak serupa setiap hari, ia memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perasaan dan perspektif kita. (Sumber: CNN Indonesia)

Immanuel Kant mungkin akan berujar bahwa birunya langit adalah kesepakatan tak terlihat antara pikiran dan dunia. Keindahan itu, menurutnya, bukanlah sifat intrinsik langit, melainkan harmoni yang tercipta dalam diri manusia yang mengamati. Tetapi bagaimana jika harmoni itu pecah? Bukankah biru yang sama dapat berubah menjadi ruang kosong yang dingin, menggema dalam keheningan hati?

Di sisi lain, Friedrich Nietzsche mungkin akan mengingatkan dengan tajam, "Langit biru hanyalah topeng." Di balik birunya yang tenang, tersembunyi kehampaan yang tak mengenal belas kasihan. Langit, baginya, adalah kanvas kosong tempat manusia memproyeksikan harapan, ketakutan, dan ilusi tentang sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Dari sudut pandang ini, keindahan langit bukanlah kenyataan, melainkan ilusi yang diciptakan untuk melawan absurditas semesta.

Martin Heidegger, dengan pendekatan eksistensialnya, mungkin akan memimpin kita untuk mendengar apa yang sunyi dalam langit. Langit adalah panggilan untuk menyadari keberadaan kita yang fana, sementara birunya adalah pelukan tak kasat mata, mengingatkan kita pada paradoks: tak tersentuh namun selalu hadir. Keindahan, dalam konteks ini, menjadi hubungan. Siapa yang menemanimu ketika kau memandangnya? Siapa yang memberi warna pada langit di hatimu?

Jika Jacques Lacan berada di sini, ia mungkin akan berujar bahwa langit adalah layar kosong bagi hasrat manusia. Birunya menjadi representasi kekurangan, sebuah pengingat lembut tentang apa yang kita rindukan tetapi tak pernah benar-benar tercapai. Langit menjadi ruang di mana kehampaan manusia bertemu dengan mimpi-mimpi yang tak kunjung selesai.

Di tengah gema pemikiran para filsuf ini, aku memilih berdiri menyentuh puisi. Langit, bagiku, adalah nyanyian angsa yang tak berujung. Ada biru yang lahir dari cinta, dan ada biru yang memeluk luka. Langit bisa menjadi altar keheningan ketika kita berdiri sendiri, tetapi ia juga dapat menjadi orkestra keindahan ketika tangan saling menggenggam, mengubah kehampaan menjadi rumah.

Namun, tidak semua orang memandang langit dengan rasa yang sama. Bagi mereka yang terkurung dalam tembok penjara kriminal, langit adalah biru yang menekan, batas tanpa ujung yang menegaskan keterbatasan hidup mereka. Dalam kesendirian dan kehilangan, biru itu berubah menjadi cermin luka, pengingat kebebasan yang pernah ada. Begitu pula bagi mereka yang terperangkap dalam sunyi rumah sakit jiwa, langit mungkin adalah simbol keterasingan; birunya yang tak berubah mengisyaratkan waktu yang membeku, di mana dunia berjalan tanpa mereka. Betapa ironisnya, keindahan yang dirayakan banyak orang justru menjadi bayang-bayang yang menghantui mereka yang terasing.

Langit, seperti kehidupan, adalah paradoks: tak pernah tetap, namun selalu ada. Ia menjadi saksi bisu dari perasaan yang membisu, menjadi cermin harapan sekaligus keputusasaan. Di bawahnya, kita belajar bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang kita lihat, tetapi bagaimana kita memandangnya, dan dengan siapa kita membagi tatapan itu. Ketika pandangan itu terpecah, bukankah langit menjelma ruang kosong yang tak pernah penuh walau diisi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun