Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Model - Art Modeling

Hanya seorang lelaki biasa yang senang mendengar hatimu bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merenungkan Nasib Ayam di Tengah Keserakahan Manusia

20 Januari 2025   14:50 Diperbarui: 20 Januari 2025   14:50 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan menciptakan ayam lengkap sesuai porsinya sebagai hewan unggas. Namun, dengan ditemukannya berbagai ketidakadilan terhadap hak makhluk hidup, apakah kita, manusia sebagai makhluk sosial yang dapat berpikir, hanya akan berdiam diri menerima kenyataan yang tidak mengenakkan tersebut? Salah satu isu yang menyentuh hati adalah berita dari BBC Indonesia, yang mengungkap bahwa industri peternakan di Brasil memusnahkan sekitar enam hingga tujuh juta anak ayam jantan setiap tahun. Apakah praktik ini dapat dibenarkan?

Waktu kecil, saya punya sahabat seekor ayam betina bernama Ginta. Setiap hari saya bermain dengannya, memperhatikan bulu putihnya yang lembut, jengger merahnya yang berdiri gagah, dan lirikan matanya yang tajam namun ramah. Saya bahkan sering memperhatikan kantung nasi di lehernya yang tampak mencolok setiap kali ia selesai makan. Ginta bukan sekadar ayam bagi saya, ia teman bermain sekaligus pengisi masa kecil yang penuh keceriaan.

Suatu sore, setelah makan malam dengan ayam goreng di atas meja, saya berlari keluar mencari Ginta. Tapi ia tak ada di tempat biasanya. Saya mencarinya ke sana kemari, hingga akhirnya bertanya kepada nenek. Dengan suara datar dan tanpa beban, nenek menjawab, "Ginta sudah ada di dalam perutmu."

Hati saya membeku. Kalimat itu menghantam seperti gelombang besar. Bagaimana mungkin? Sahabat saya, yang bulunya selalu saya belai, kini menjadi bagian dari makan malam saya. Saat itu, untuk pertama kalinya saya merasa bahwa ayam bukan sekadar makanan. Mereka punya kehidupan, punya cerita, dan mungkin, punya cita-cita.

Sempatkah terbesit bahwa ayam, jika mampu berpikir, mungkin ingin menjadi manusia? Barangkali ia tergoda oleh kebebasan manusia: berakal, berperasaan, dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Sementara itu, ia sebagai makhluk tak berdaya, hanya diberdayakan untuk kepentingan perut dan ekonomi manusia. Tubuhnya diolah menjadi berbagai masakan seperti ayam goreng kremes, gulai ayam, ayam betutu, ayam bakar Taliwang, satai ayam, hingga ayam goreng tepung.

Dalam proses yang sering kali menyakitkan, tubuh dan nyawanya dipisahkan oleh benda-benda tajam seperti pisau penyembelih. Kadang, tanpa doa, tanpa rasa kemanusiaan, penjagal memotong tubuhnya menjadi sembilan hingga dua belas bagian. Bahkan setelah bertelur, ia tidak diberi kesempatan mengerami anak-anaknya. Telur-telur itu dijual ke warung atau rumah makan, sementara tubuhnya dibawa ke pasar tradisional atau supermarket di kota-kota besar. Dalam perjalanan, sisa-sisa darah mencuat keluar, memoles tubuh pucat si ayam. Sesampainya di sana, ia hanya bisa menunggu, dipajang hingga ada yang membelinya untuk menjadi menu makan malam atau sarapan pagi.

Apakah seekor ayam memiliki cita-cita? Apakah ia memiliki emosi? Mengapa manusia memperlakukan ayam berbeda dengan hewan peliharaan seperti anjing dan kucing yang disayangi dan dirawat setiap saat? Mengapa tidak ada peternakan anjing atau kucing? Mengapa ayam tidak bisa menyelamatkan diri dengan terbang sejauh dan setinggi mungkin? Andaikan ayam tergolong hewan pintar, mungkinkah nasibnya berbeda?

Selama ini kita terbiasa memperlakukan ayam semena-mena: mengonsumsinya secara berlebihan, menjadikannya simbol pesta dalam ulang tahun, atau menu wajib pada hari-hari besar. Padahal dampak dari sistem peternakan massal ini tidak hanya merusak perkembangan kognitif, emosi, dan interaksi sosial ayam, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang akan berbalik menyerang manusia. Peternakan besar-besaran yang mengeksploitasi ayam tanpa batas mendorong degradasi moral kita sebagai manusia dan merusak keseimbangan alam.

Ayam seolah hanya menjadi alat pemuas nafsu lapar manusia. Padahal, ia juga dianugerahi kehidupan, meskipun mungkin kurang beruntung dibandingkan manusia. Ataukah justru lebih beruntung karena ia tak pernah merusak dunia seperti kita? Manusia terus menguras sumber daya hingga habis, tanpa memikirkan dampaknya bagi makhluk lain.

Jadi, apakah seekor ayam memiliki cita-cita? Barangkali ia hanya ingin hidup tenang, bebas dari penderitaan. Namun, ironisnya, kita yang disebut sebagai makhluk paling berakal justru sering menjadi alasan utama hilangnya kedamaian bagi makhluk lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun