Mohon tunggu...
Mahardhika Falah Afandi
Mahardhika Falah Afandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dapatkah Hukuman Mati Bagi Para Koruptor di Indonesia Memberikan Efek Jera?

23 Juni 2023   19:24 Diperbarui: 23 Juni 2023   20:03 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi koruptor tidak tahu malu. Foto: forkas.stis.ac.id

Berbicara mengenai 'Korupsi' tidak akan pernah ada habisnya. Banyak yang menentang hal tersebut namun setelah menentang banyak juga yang melakukannya. Memang bukan perkara yang mudah memberantas tindak korupsi di Indonesia. Korupsi telah merebak kesemua sektor pemerintahan, entah itu eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Sudah berbagai cara pemerintah lakukan untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia ini. Lantas pada pembahasan opini saya ini baikkah serta memberi efek jerakah jika hukuman mati diterapkan untuk para koruptor di Indonesia?

Sebenarnya sudah ada dalam Undang Undang tentang hukuman mati bagi koruptor, yaitu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sebenarnya tercantum di awal undang-undang. Di Pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi, tercantum di ayat 2 bahwa: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Namun kendati demikian di Indonesia sendiri belum pernah ada seorang koruptor yang di beri hukuman mati. Hukuman terberat yang diberikan baru pidana seumur hidup, yaitu seperti hukuman yang diberikan kepada kasus korupsi AM (mantan kepala Mahkamah Konstitusi) dan 6 orang dalam kasus korupsi jiwasraya.

Dilansir dari kpk.go.id, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menjelaskan, dalam UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 terdapat 30 jenis tindak pidana dengan 7 klasifikasi besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, gratifikasi serta tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi. Lebih lanjut, menurutnya hukum Tipikor dikriminalisasi karena ada dampak sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. “Kalau kemudian di-cluster maka kepentingan hukum tipikor sesungguhnya melindungi 3 hal; melindungi hak keuangan publik, kedua melindungi hak sosial politik, serta ketiga melindungi hak keamanan dan keselamatan negara,” ujarnya.

Permasalahan sistem yang dihadapi Indonesia sendiri adalah bagaimana tidak tegasnya penegakan hukum yang telah dibuat. Masyarakat hanya dihebohkan oleh penangkapan para koruptor dengan dana yang dikorupsi milyaran bahkan triliunan, namun masih banyak hukuman yang diberikan kepada mereka bisa dikatakan tidak adil dan bahkan lambat laun tidak terdengar lagi bagaimana kelanjutan hukuman yang diberikan itu. Bagaimana hukuman mati dapat memberikan efek jera, jika hukumannya saja belum pernah diberikan kepada tersangka kasus korupsi dalam kasus berat sekalipun. Jadi menurut saya, mau seberat apapun hukuman bagi para koruptor yang ditetapkan di dalam sebuah undang-undang, jika hukuman itu tidak ditegakkan dengan tegas, niscaya percumalah hukuman tersebut dibuat.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa sebagian pelaku koruptor adalah seorang sarjana. “Jumlah koruptor itu 1.200 (orang), dari 87%, artinya 1.044 koruptor itu adalah sarjana”, kata Mahfud. Data tersebut diungkapkan Mahfud saat sambutan kunci pada Dies Natalies ke-54 Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Aceh, pada Senin (12/6/2013).

Sesuai data yang disampaikan Mahfud MD di atas, seharusnya orang yang telah mengenyam pendidikan tinggi lebih bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan. Namun mengapa hal yang demikian itu dapat terjadi?. Nah disinilah perlunya sebuah pendidikan yang benar-benar dapat mendidik seseorang bukan semata-mata menjadi pintar, tetapi juga menjadi pribadi yang baik.

Menurut Thomas Lickona dalam bukunya yang berjudul Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, pendidikan karakter adalah upaya secara sadar seseorang untuk mendidik orang lain dengan menginternalisasi nilai-nilai karakter sebagai elemen pencerahan bagi mereka. Mengutip pada Detikedu bahwa pendidikan karakter mempunyai beberapa tujuan tersendiri. Pertama, pendidikan karakter dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang berkualitas. Kedua adanya pendidikan karakter ditujukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki karakter mulia, kompeten, dan bermoral sekaligus membekali siswa didik dengan kecerdasan emosi. Dan yang ketiga dapat membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak, hingga toleran dengan perbedaan, juga termasuk salah satu tujuan lain dari keberadaan pendidikan karakter.

Maka menurut penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa tindak korupsi dapat diberantas dengan meningkatkan kualitas 'Pendidikan Karakter' disetiap jenjang pendidikan, agar nantinya lahirlah penerus-penerus bangsa yang anti terhadap korupsi. Baik itu pada pendidikan formal seperti di sekolah-sekolah dan perkuliahan, maupun pendidikan nonformal yang diberikan oleh para orang tua. Sebab pejabat pemerintah yang baik berawal dari masyarakat yang baik pula. Jadi jika karakter tersebut sudah melekat dalam setiap pribadi masyarakat Indonesia. Suatu hukuman sudah tidak lagi menjadi patokan untuk menyelesaikan sebuah masalah, karena sebelum masalah itu ada, sudah dicegah dengan karakter-karater/pola pikir yang benar alias tidak keliru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun