Mungkin ini adalah tiket termahal kami menghadiri Kompasianival. Bukan hanya penerbangan dan akomodasi selama kami sekeluarga berada di Jakarta, tetapi juga mengingat betapa kami telah melewati momen yang nyaris mustahil untuk bisa hadir di sini. Mulai dari perubahan jadwal pelaksanaan, janji kepada Kevin untuk berlibur ke hutan yang tak mungkin dibatalkan, hingga malam mencekam ketika minibus yang kami tumpangi mogok di tengah hutan saat perjalanan kembali menuju tempat penginapan. Padahal, hanya tersisa hitungan jam untuk mengejar penerbangan.
(Lukman tampak berpacu dengan waktu dan bertarung melawan kantuk ketika mengetik kata demi kata untuk diunggah di Kompasiana. Sebentar diliriknya Prita, istrinya, yang terlelap sembari memeluk Kevin, anak tunggal mereka. Mereka pasti sangat lelah setelah apa yang dialami rombongan wisata itu seharian dan semalaman tadi. Lukman meneruskan bertutur lewat jari-jarinya.)
Kupikir malam ini akan menjadi malam terakhir bagi Awan, si pemandu wisata amatir yang telah sukses membuat kami khawatir dan ketar-ketir. Namun, aku salut kepadanya. Sementara kami sibuk berdebat kusir, dia tetap mampu jernih berpikir. Tidak terpancing untuk sekedar nyinyir maupun membiarkan pendapatnya disetir para anggota rombongan, baik itu sopir, pria tajir, atau bahkan cewek cantik yang mungkin dia taksir.
 "Maafkan saya. Ini adalah pengalaman pertama saya memandu rombongan di Lore Lindu. Namun, saya sama sekali tidak menyiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk seperti yang kita alami saat ini. Yang terpenting, kita harus tetap berkepala dingin guna menemukan solusi atas permasalahan ini. Sedari tadi, saya telah memikirkan semua alternatif dengan mempertimbangkan apa yang ada dan apa yang bisa kita lakukan. Saya mohon kalian percaya dengan keputusan saya." Itulah ucapan si pemandu wisata ketika kami semakin panik saat senja beranjak pergi dan Fred belum juga menampakkan diri.
Awan, si amatir itu menjelaskan bahwa dia telah meminta bantuan ke sejumlah teman yang bisa dihubungi. Pak Hanif, salah satu penjaga hutan sedang menuju lokasi kami. Sementara, seorang teman dari kota terdekat tengah meluncur mengendarai sedan berkapasitas 4 penumpang. Bersamanya, ada lagi seorang mekanik yang diminta membawa sejumlah peralatan darurat untuk memperbaiki kerusakan minibus sesuai pengecekan awal yang dilakukan Bang Her.Â
Dia meyakinkan kami bahwa di hutan ini tidak ada singa, harimau, atau hewan pemangsa lainnya. Ingat, ini wilayah Wallace yang dihuni satwa endemik seperti kuskus, tarsius, atau beberapa monyet langka. Fokus utama kami adalah menemukan Fred agar rencana darurat bisa segera dieksekusi.
Prittt...prit...prit. Terdengar lengkingan suara peluit. Fred-kah itu? Awan memintaku memutar suatu lagu dan mengeraskan volumenya. Ternyata itu Pak Hanif, yang sedang mengendarai motor kemari. Aku baru sadar betapa cepatnya dia menempuh jarak 4 km yang tadi kami tempuh selama setengah jam dengan minibus tua ini.
Dia menawarkan diri untuk melakukan evakuasi. Hanya butuh setengah jam pulang pergi. Awan menolak, menurutnya itu tidak efektif. Dia meminta Pak Hanif memboncengkan Kevin ke kampung terdekat sembari meminta pertolongan penduduk. Sementara, rombongan akan menyusul dengan berjalan kaki. Awan juga telah meminta Roni, si pemilik sedan untuk menuju kampung itu sebagai titik pertemuan mereka.
Menurutnya, Pak Hanif yang terbiasa menempuh medan sulit di daerah ini pasti bisa diandalkan untuk memboncengkan Kevin sekaligus berkoordinasi dengan penduduk kampung. Sementara dia akan memandu kami berjalan pelan-pelan menyusuri rute sulit menuju kampung tersebut. Dalam hati saya setuju dengan keputusannya, bagaimanapun juga, meninggalkan Anggi dan Kanaya dari rombongan besar adalah pilihan yang berisiko. Lalu bagaimana dengan si tua Fred itu?
Dari gemerisik semak, muncullah sosok Alfred Wallace KW itu. Ternyata, dia ingat jalan pulang juga. Namun, tampaknya dia kehilangan tongkat pegangan ketika berusaha menyelamatkan perbekalannya yang hampir tergelincir. Rupanya itu yang menyebabkannya butuh waktu lebih lama berkumpul lagi dengan kami.
Oleh karena hal ini, Awan memutuskan untuk meninggalkan Fred dan Bang Her di dalam minibus. Menurutnya, mereka akan bisa saling menjaga. Fred punya keterampilan di alam liar, sedangkan Bang Her bisa berkomunikasi seandainya ada penduduk lokal yang kebetulan lewat dan bisa dimintai bantuan. Aku merelakan Kevin dibonceng Pak Hanif sambil menyelipkan obat asma di saku jaketnya, sementara kami berlima berjalan hati-hati menyusul mereka. Ada cukup bekal air minum Kanaya, cokelat Anggi, dan losion anti nyamuk yang kubawa untuk mendukung perjalanan kami. Fred bisa berbagi bekalnya dengan Pak Her, karena dua porsi nasi sisa makan siang tadi hampir pasti sudah tak layak dikonsumsi.