Â
Pada momen peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke-70 kali ini, saya ingin kembali menyoal kegandrungan segelintir orang terhadap dongengan Atlantis dan Eden.
[caption caption="Sang Saka Merah Putih"][/caption]Ada dua buku yang selalu dijadikan 'kitab suci' oleh para pemercaya hipotesis keterkaitan Atlantis dengan Indonesia. Pertama, buku Atlantis The Lost Continent Finally Found karya Arysio Santos dan, kedua, buku Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia karya Stephen Oppenheimer.
Sekurangnya, dua peneliti terkemuka Indonesia: Awang Harun Satyana (Geolog) dan Harry Truman Simanjuntak (Arkeolog) sudah membantah hipotesis Santos dan Oppenheimer dari komposisi geologi dan arkeologi (lihat di sini). Masih banyak celah lain untuk bantahan hipotesis itu dari perspektif etnologi, paleontologi, linguistik, astronomi, dan mitologi komparatif.
Kita ambil saja contoh dari mitologi komparatif. Salah satu dalil yang dipakai keduanya adalah bahwa "hampir semua sub-kebudayaan Indonesia mengenal mitos banjir besar". Oppenheimer lalu mengaitkan kenyataan itu dengan kisah banjir besar Nabi Nuh yang dikisahkan dalam Alkitab dan Alquran. Sementara Santos mengaitkan itu dengan momen tenggelamnya Atlantis.
Santos dan Oppenheimer tampaknya melupakan satu hal yang sangat krusial: bahwa umur mitos-mitos Nusantara itu lebih muda daripada mitos-mitos Timur Tengah dan Eropa. Bagaimana mungkin mitos yang lebih muda menjadi nenek-moyang atau leluhur dari mitos yang lebih tua? Itu sama saja mengatakan bahwa kisah Malin Kundang di Minangkabau diinspirasi oleh salah satu kisah sinetron moderen. Jadi, dari soal linimasa pada mitologi saja, keduanya sudah salah dalam mengambil deduksi pada perbandingan mitologi.
Walau demikian, tetap saja ada banyak orang di Indonesia yang haqqul yakin: mempercayai gagasan Santos dan Oppenheimer sebagai kebenaran. Ini perlu dicermati secara serius, karena dampak kepercayaan kepada ilmu-ilmu semu (pseudoscience) dapat memalingkan kita dari visi menuju masa depan. Kita terjebak dalam utopia sebagai bangsa yang 'besar'; bangsa yang 'gagah' di 'masa lalu'. Sungguh ironis karena masa lalu yang kita maksud di situ hanyalah kisah yang masih samar-samar kebenarannya.
Visi suatu bangsa seyogyanya melihat ke depan, membuat kejelasan sasaran dan tujuan yang hendak dicapai, bukan menoleh ke masa lalu. Apalagi jika masa lalu itu samar-samar. Kejayaan suatu bangsa yang sejati merupakan pembicaraan yang terjadi dalam kala kini, present time. Kejayaan macam apa yang hendak dibanggakan dari dongeng-dongeng masa lalu yang samar-samar?Â
[caption caption="Di sinikah benua besar itu tenggelam?"]
Harapan kita yang sesungguhnya adalah kemajuan Indonesia. Bukan kejayaan masa lalu yang samar-samar. Ada ratusan etnis dan ratusan bahasa di Indonesia. Ada Enam agama, dengan macam-macam alirannya; serta kepercayaan-kepercayaan lokal yang beragam. Nyaris tidak ada pengikat apapun bagi bangsa ini, selain tekad dalam satu pilihan untuk menjadi satu "Indonesia". Kita merdeka, karena kita memilih untuk menjadi merdeka, untuk menjadi Indonesia, bukan menjadi Atlantis atau Eden. Dirgahayu negaraku. Lekaslah maju dan memimpin dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H