Mohon tunggu...
Mahardhika Zifana
Mahardhika Zifana Mohon Tunggu... Penulis - Just an ordinary man

I'm a Sundanese who love my people, culture, language, and religion.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Istilah ‘Islam KTP’ dan ‘Islam Abangan’ –Jelajah Linguistik dan Historis

24 Juli 2013   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:08 5008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dasar Islam KTP! Puasa engga, solat engga!”

Anda pernah mendengar ungkapan serupa di atas? Stigma Islam KTP adalah bagian dari ungkapan umum masyarakat Indonesia yang sangat populer. Lebih populer lagi setelah ada sebuah sinetron berjudul sama yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV Indonesia.

Frasa nomina Islam KTP dibentuk dari dua unsur, yakni nomina Islam dan singkatan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Secara praktis, seorang Islam KTP adalah mereka yang mengaku Islam, mencantumkan Islam dalam KTP-nya (atau kartu identitas lainnya), tapi tak pernah melaksanakan salat, puasa, dan kewajiban pokok lainnya yang biasanya dikerjakan oleh seorang Muslim. Kalau dalam istilah Inggris, kita biasa menyebutnya Non-Practising Muslim –istilah yang juga dipopulerkan bintang sepakbola Perancis Zinedine Zidane dalam sebuah wawancara: “I’m a Muslim, but I don’t practise.”

Ditinjau dari sudut sosiologis, pembentukan istilah Islam KTP dalam bahasa Indonesia tentunya tidak lepas dari kewajiban seorang Warga Negara Indonesia untuk memiliki KTP yang salah satu lajur isiannya adalah Agama. Saya tidak benar-benar paham apa esensi kegunaan lajur Agama dalam kolom isian KTP. Kalau alasannya karena negara kita berazaskan Pancasila, yang salah satu silanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, kenapa pula lajur isian yang selaras dengan sila lainnya tidak ada? Misalnya, untuk memenuhi kesesuaian dengan sila kedua, ada lajur isian Manusiawi/Tidak Manusiawi sebagaimana halnya lajur isian Kawin/Tidak Kawin. Atau mungkin kita perlu mengadakan lajur isian Separatis/Non-Separatis untuk menyesuaikan kewajiban sila ketiga. Entahlah...

Kita juga tak dapat memastikan apakah, kelak, istilah Islam KTP itu akan berganti dengan istilah Islam e-KTP, pascapemberlakuan aturan yang mewajibkan semua warga negara kita memiliki e-KTP, alias KTP elektronik. Atau mungkin istilahnya Islam KTP elektronik? Adalah masyarakat yang kelak akan memutuskan peralihan istilah-istilah semacam ini karena rasa bahasa kita yang senantiasa berubah seiring peralihan zaman dan peradaban.

Jauh sebelum istilah Islam KTP populer, istilah Islam Abangan sudah ‘mendapat tempat’ dalam khazanah komunikasi masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di Pulau Jawa. Masyarakat cenderung memaknai istilah Islam Abangan dalam definisi yang sama dengan Islam KTP, yakni penganut Islam yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban ritual kaum Muslimin pada umumnya. Lazimnya, istilah Islam Abangan berada dalam konteks dikotomi, sebagai antonim dari Istilah Islam Santri, untuk menyebut mereka yang senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban ritual kaum Muslimin pada umumnya –practising Muslim, kalau bahasa Inggrisnya.

Pada mulanya, adalah seorang antropolog asal Amerika Serikat bernama Clifford Geertz yang mempopulerkan istilah Abangan ke seantero Indonesia dan dunia pada dekade 1960-an sampai 1970-an. Sebelumnya istilah abangan hanya dikenal dalam bahasa Jawa, dengan makna yang relatif nyaris serupa dengan makna yang kini dipahami dalam konteks bahasa Indonesia. Awalnya, kerja Geertz adalah memilah sikap politik masyarakat Jawa ke dalam dikotomi tiga kelas: Abangan, Santri, dan Priyayi dalam pemetaan sikap politik menjelang Pemilu pertama Indonesia tahun 1955.

Syahdan, menurut Geertz, Abangan ialah golongan masyarakat Jawa yang cenderung akan memilih partai-partai politik yang jauh dari ideologi agama. Sementara golongan Santri, sebaliknya, akan memilih partai-partai politik berideologi agama. Adapun golongan Priyayi cenderung memilih partai-partai politik dengan ideologi nasionalisme. Kalau kita petakan, dalam sebuah kontinum, kemungkinan sikap politik masyarakat Jawa dari ketiga golongan itu adalah seperti ini.

[caption id="attachment_256403" align="aligncenter" width="300" caption="Kontinum Abangan-Priyayi-Santri"][/caption]

Tentu saja, semakin lama, dikotomi ini semakin kabur –karena hanya relevan pada medio 1950-an sampai 1970-an. Buktinya dapat kita saksikan dalam Pemilu-Pemilu menjelang reformasi dan pascareformasi. Banyak partai yang digolongkan sebagai ‘Partai Nasionalis’ seperti PDI Perjuangan menjadi pilihan kaum yang tergolong santri, juga mencalonkan orang-orang yang tergolong ‘santri’ sebagai calon legislatif. Sebaliknya, partai-partai yang disebut berideologi Islam pun cenderung lebih kompromis dan mau menerima keterbukaan dalam perekrutan kader maupun calon anggota legislatif. Dalam sebuah rilis di blog PKS Piyungan, saya pernah melihat ada fitur tentang kader PKS yang nonmuslim.

Istilah Abangan, dalam penjelasan Geertz, berasal dari kata bahasa Jawa Abang yang berarti merah, sebelum maknanya bergeser. Abangan kemudian dianggap sebagai kelompok yang lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal (adat) daripada hukum Islam ortodoks (syariah). Dalam sistem kepercayaan Abangan, terdapat sinkretisasi tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme praIslam.

Pendapat Geertz ini, dari segi linguistik, perlu mendapat catatan serius. Pertama, Geertz mengemukakan kata Abang (merah) dalam bahasa Jawa untuk etimologi istilah Abangan. Dalam perspektif Jawa, seperti halnya dalam perspektif Sunda, warna merah tidak serta merta merujuk pada loyalitas adat. Di Keraton Kasunanan Surakarta, merah ditempatkan pada posisi selatan, berpadu dengan tembaga, sebagai simbol darah. Merah dalam pandangan Jawa, juga merupakan simbolisasi dari keberadaan seorang ibu (perempuan), sebagaimana terrefleksikan dalam warna-warna dan corak batik. Jangan-jangan opini Geertz itu memang hanya didasarkan pada pengamatannya terhadap partai-partai politik yang menurutnya dipilih kaum Abangan, yang kebetulan hampir semuanya memiliki simbol merah dominan.

Kemudian, kecenderungan terhadap sistem kepercayaan lokal (adat), ada beberapa ahli yang mencatat bahwa apa yang secara mainstream dianggap adat (bentuk varian religi Islam yang hanya ada di Indonesia), seringkali merupakan bagian dari Islam sendiri di negara lain. Martin van Bruinessen mengemukakan contoh adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan di Indonesia saat ini dengan yang dahulu dilakukan umat Islam di Mesir, misalnya ziarah kubur dan tradisi 40 harian.

Dalam kejumudan opini soal etimologi Abangan ini, kita mungkin perlu melihat perspektif lain, melacak pada masa-masa munculnya istilah abang dan abangan. Merujuk kepada Kropak Ferarra yang kini tersimpan di Italia, R. Atmodarminto (2001) dan Prof. Hasanu Simon (2004) memberikan penjelasan alternatif untuk soalan ini.

Oke, seperti biasa, kita mulai pembahasan utama ini dari prequel-nya.

Dalam tulisan saya sebelumnya, tentang Sunan dan Walisongo, saya sudah menceritakan beberapa perubahan komposisi anggota Tim Walisongo selepas angkatan pertama (tahun 1404-1435). Menurut Prof. Hasanu Simon, pada Walisongo angkatan ketiga (1463–1466), untuk pertama kalinya ada orang Jawa asli yang bergabung dengan Walisongo. Orang itu adalah Raden Syahid (Sunan Kalijaga), menggantikan Syaikh Subakir yang pulang ke Persia.

Melongok kebiasaan pada dua angkatan Walisongo sebelumnya, agak janggal saat tiba-tiba ada ‘pola rekruitmen’ yang di luar kebiasaan. Kemungkinan, Sunan Kalijaga direkrut masuk karena tidak ada lagi ‘dropping’ ulama dari Pemerintah Ottoman di Turki. Kita akan melihat gagasan saya ini mendapat pembenaran bila kita amati, bahwa pada tahun-tahun itu (1463), telah terjadi peralihan kepemimpinan di tubuh Imperium Ottoman, pascalengsernya Muhammad I, Murad II naik tahta. Sejak masa Murad II, kebijakan Ottoman tampak bergeser dari strategi Dakwah di Asia Timur ke strategi Jihad di Eropa. Saat pergantian itu terjadi, pada kurun 1463, Ottoman sedang menghadapi sekurangnya 3-5 front perang di Eropa.

Sebagaimana sudah saya gambarkan pada tulisan Sunan dan Walisongo, pada angkatan ketiga ini, tinggal tersisa dua Wali dari angkatan pertama yang sudah sepuh. Komposisi pada angkatan ini terdiri atas Sunan Ampel, Syekh Ainul Yaqin (Sunan Giri), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghribi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qasim Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Raden Syahid (Sunan Kalijaga). Periode ketiga ini juga menandai pergantian Ketua Walisongo dari Maulana Ishaq ke Sunan Ampel.

Masuknya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang masih muda mengubah peta dan gaya dakwah Walisongo secara drastis. Di sisi lain, perbedaan gaya dakwah itu mulai memicu friksi di antara anggota Walisongo. Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang dianggap terlampau mengutamakan budaya, daripada mengajarkan kandungan syariah dan akidah yang lebih penting. Mereka dianggap terlampau konsentrasi kepada wayang dan bonang-gamelan yang mereka pakai sebagai media dakwah, daripada kepada kandungan isi dakwah itu sendiri. Mereka pun dinilai terlampau toleran pada budaya lokal yang dinilai penuh khurafat dan bid’ah oleh para anggota Walisongo lain yang tergolong sepuh. Sementara di sisi lain, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang memiliki persepsi dakwah bahwa jalur budaya adalah jalur dakwah yang efektif selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Pada masa-masa tersebut Walisongo mulai terbelah dalam sikap dakwah mereka. Di satu sisi, berdiri kelompok wali-wali ortodoks yang terdiri atas Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat. Mereka kemudian disebut wali-wali futi’ah. Di sisi lain, ada kelompok para Wali yang lebih moderat dan luwes dalam dakwahnya terdiri atas Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati. Belakangan, Sunan Kudus ikut mengembangkan cara dakwah yang luwes dengan budaya lokal. Mereka kemudian disebut wali-wali aba’ah. Ini menandai dimulainya dikotomi kelompok Islam dalam masyarakat Jawa.

Aba’ah, makna harfiahnya abai. Dalam hal ini, maksudnya sebernarnya kompromis. Sementara futi’ah makna harfiahnya konsekuen. Dalam hal ini maknanya konsisten dengan nilai-nilai asli Islam yang tidak mencampur tradisi di dalamnya

Secara fonologis, masyarakat tutur Jawa agak kesulitan bila melafalkan bunyi 'ain. Lafalnya cenderung berubah menjadi ngain. Contohnya kata syari'at, dalam lafal Jawa menjadi sarengat. Maka bergeserlah lafal aba’ah dan futi’ah itu menjadi abangan dan putihan. Di kemudian hari, pada masa-masa kita ini, kita pun akhirnya mengenal istilah Islam Abangan dan Islam Putihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun