Mohon tunggu...
Maharani syifa Ramadhan
Maharani syifa Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Humaniora

Membaca hingga mengelilingi dunia Menulis untuk melampaui batas dunia itu.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cerita Gadis Tepian Danau "Dua Sisi Aroma Alam"

17 Oktober 2024   02:48 Diperbarui: 17 Oktober 2024   02:54 0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

   Tak bisa dipungkiri bahwa manusia dan alam merupakan kesatuan utuh yang berada di bawah naungan Sang Penciptanya. Seperti saya, ditakdirkan Tuhan tumbuh dewasa di alam yang melingkup danau 'nan tak lepas dari legenda Bujang Sambilan'. Legenda ini merupakan cerita rakyat yang diturunkan hingga jauh ke zaman ini. Kini, cekungan besar yang terkenal dengan nama Danau Maninjau menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat di sekitar danau. Mata pencarian berupa usaha tambak jaring apung atau dikenal dengan sebutan karamba.

    Penampakkan susunan karamba yang apik itu muncul samar di penglihatan saya saat berdiri di tepi danau Beratan, Bali. Bayangkan, gadis yang hidupnya bertahun-tahun menghirup aroma anyirnya ikan tawar dari danau diberi kesempatan menghirup aroma baru dan asing di hidung. Aroma yang berasal wangi dari asap dupa yang mengepul di sekitaran tepi danau berbeda. Ini bukan berbicara tentang bau amis dari kampung halaman, tetapi saya teringat bagaimana danau Maninjau menjadi tempat saya dan mereka tumbuh. Tak sedikit mereka lahir serta menikmati kehidupan dari hasil danau. Hasil yang dibudidayakan dengan ide-ide kreatif manusia sejak zaman dahulu, dan tentunya sekarang sudah berkembang pesat.

      Betapa ajaibnya, alam menghadirkan apa saja kebutuhan manusia bahkan untuk hal berbeda. Jika danau maninjau selalu menjadi bukti nyata perkembangan ekonomi masyarakatnya, maka Danau Beratan menjadi tempat manusia memuja Tuhannya. Bahkan, di Danau Baratan umat lain ikut berkunjung berbagi kebahagiaan dari energi keindahan alam yang luar biasa, mereka adalah penikmat perjalanan. Saya melihatnya sebagai dua sisi yaitu ekonomi dan spiritual, meriak setenang aliran air dalam cekungan dari dua sisi alam berbeda itu.

     Lamunan Danau Maninjau tak berlangsung lama, saya kembali menikmati pemandangan indah dari Danau Beratan, semua mata tentunya tertuju pada realita dari lukisan pada uang kertas Rp 50.000 lama. Ya! Pura Ulun Danu, saya tak menyangka lukisan pada uang yang selama ini tak saya hiraukan, sekarang terpampang nyata di hadapan. Udara dingin membalut tubuh, tapi perasaan saya terasa begitu hangat saat menyaksikan pertunjukkan kesenian alat musik dengan beberapa gamelan kecil hingga besar. Alat musik itu dimainkan oleh beberapa anak laki-laki  hingga pria dewasa yang memakai baju serba putih dengan penutup kepala putih 'udeng'. Mereka mengenakan bawahan berupa sarung corak kotak-kotak yang biasa disebut 'kamen'. 

     Alunan melodi khas Bali terasa lengkap dengan keberadaan kembang warna-warni di setiap sudut kawasan wisata itu. Mereka mekar dengan sempurna. Kembang yang tak kalah berhasil menarik wisatawan untuk mengantri berfoto ria di dekatnya, terlebih para ibu narsis yang tentunya tak sabar hendak mengunggah 10+ unggahan pada akun Facebook-nya.

    Pura Ulun Danu, Danau Beratan cukup berbeda dengan beberapa tempat wisata lain yang ada di Bali, seperti pantai Kuta dan Pantai Canggu atau bahkan Pura Tirta Empul. Tempat-tempat itu didominasi dengan kunjungan wisatawan asing mulai dari kulit putih hingga kulit hitam. Danau Beratan menyebar wisatawan dalam negeri untuk kunjungan rombongan maupun sekedar family time.  Objek wisata ini terlihat juga menjadi sasaran langganan kunjungan study tour sekolah tingkat SMP maupun SMA. Hal itu membuat saya kembali sadar berada pada suasana tanah air Indonesia, karena pada beberapa kunjungan wisata sebelumnya di Bali yang dominan pantai, saya menemukan banyak wisatawan asing. Suasana itu membuat saya melamun sesaat dan merasa sedang berada bukan di tanah air. Padahal, saya masih menginjakkan kaki di salah satu pulau nusantara yang kerap dijuluki pulau Dewata.

     Selang beberapa waktu, ternyata dugaan saya tidak tepat. Terlihat beberapa wajah asing menyempil di tengah keramaian masyarakat pribumi. Jika pada kebanyakan tempat di Bali wisatawan asing lebih dominan dan terkesan lumrah, maka di Danau Beratan mereka banyak diminta foto, diperhatikan bahkan diajak berinteraksi oleh wisatawan lokal. Hal serupa pun saya dan beberapa rekan lakukan,

 "can I take picture with you?"

Kalimat interogasi basa basi kami lontarkan pada mereka. Saya dan beberapa teman secara bergantian mengambil foto dengan dua bule cantik itu berlatarkan Pura Ulun Danu. Tak terasa, dua jam berlalu dengan indahnya. Apalagi yang diharapkan para anak muda ini selain menikmati alam JIKA bukan mengoleksi foto, lalu mengunggahnya di media sosial. Anak muda memang pantas mempertahankan eksistensinya dengan cara begitu. Saya bersyukur mendapatkan banyak foto selama di Danau Beratan.

       Belakangan ini, saya menyempatkan waktu melihat foto-foto itu, beberapa kali juga air mata membasahi pipi disertai senyum yang menyimpul rindu. oh, Pulau Dewata serta keindahan dan aroma   alamnya.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun