Mohon tunggu...
Maharani Nuzuar
Maharani Nuzuar Mohon Tunggu... Lainnya - Law enthusiast.

menulis mengenai pandangan pribadi saya atas isu hukum yang terjadi di sekitar

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perizinan Usaha Terkait dengan Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja

11 Desember 2020   16:47 Diperbarui: 14 Desember 2020   18:18 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Disusun Oleh : Maharani Prima

          Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan Undang – Undang Omnibus Law resmi disahkan dan diundangkan di Paripurna DPR pada tanggal 02 November 2020, jika kita melihat kepada tujuan dan fungsi utama yang ingin dicapai oleh Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “UUCK” adalah peningkatan ekosistem investasi, percepatan proyek strategis nasional,  dan memaksimalkan kegiatan di segala sektor usaha melalui beberapa langkah, diantaranya: penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan, penerapan perizinan usaha berbasis resiko, dan penyederhanaan persyaratan investasi, dari sini dapat dilihat poin – poin penting yang ingin dituju oleh UUCK, namun dikarenakan terlalu luas dan kompleksnya cakupan yang dibahas, dinilai kurangnya transparansi dalam pembahasan, dan waktu pengesahan UUCK yang dinilai terlalu cepat dan terburu - buru, maka dikhawatirkan akan adanya kegagalan didalam tercapainya poin - poin yang menjadi tujuan pembentukan UUCK, dan juga tidak terpenuhinya 7 asas wajib  didalam suatu materi muatan perundang - undangan yang dijelaskan lebih lanjut didalam pasal 5 Undang – Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang – undangan.

          Kompleksitas isu beserta dengan klaster pembahasan yang diatur dalam UUCK sangatlah banyak dan luas, namun didalam artikel ini saya akan mencoba membahas dari segi perizinan nya yang memiliki kaitan dengan aspek lingkungan hidup. Didalam Undang – Undang Cipta Kerja, jika dilihat kedalam jangka waktu perencanaan hingga pengundangan UUCK ini dinilai sangatlah singkat dan terkesan terburu – buru, mengapa saya katakan demikian? Jika diuraikan susunan dari Undang – Undang Cipta Kerja, maka dapat dilihat UUCK terdiri atas 15 (limabelas) bab, 186 (seratus delapan puluh enam) pasal, dan 1.187 (seribu seratus delapan puluh tujuh) halaman, lalu haruslah juga terdapat 460 (empat ratus enam puluh) PP dan 9 (sembilan) Perpres baru yang harus disusun (sesuai dengan rujukan dari tiap – tiap pasalnya), sedangkan PP dan Perpres sebagai peraturan dari pelaksanaan harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan. Sangatlah wajar ketika kekhawatiran failures of coordination  (kegagalan didalam koordinasi antar pasal) ditakuti oleh banyak pihak yang betul – betul memahami esensi dari pembentukan peraturan perundang – undangan, jika kita coba bandingkan dengan salah satu peraturan perundang – undangan, disini akan saya bandingkan dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau yang selanjutnya disebut dengan “UUPPLH”, yang dimana UUPLH membawahi 18 (delapan belas) Materi PP, dan setelah 11 (sebelas) tahun setelah diundangkan, UUPLH baru melahirkan 4 (empat) PP, diantaranya: (1)Izin Lingkungan, (2)Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3), (3)Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan (4)Instrumen Ekoling, dari perbandingan sederhana ini sangatlah terlihat bahwa didalam suatu perundang – undangan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat melahirkan sebuah peraturan pelaksanaan dibawahnya, maka saat UUCK terlalu cepat diundangkan, membuat kesan bahwa UUCK ini bersifat manipulatif, irrasional, dan dipaksakan.

          Selanjutnya, jika melihat kedalam Naskah Akademik, yang selanjutnya disebut “NA”, dapat dilihat bahwa tidak adanya pembahasan yang menyinggung tentang long-term risk (risiko jangka panjang) beserta dengan kemungkinan dan kompleksitas yang kelak akan muncul dan timbul atas pencabutan sekian banyak pengaturan yang terkait dengan Lingkungan Hidup (LH) dalam UUCK, tidak ada juga interpretasi yang jelas mengenai pembahasan terkait penataan dari segi administratif (governance), stimulus dalam investasi (seperti apa yang dituju oleh UUCK), dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikarenakan perlindungan dan pengelolaan ligkungan hidup merupakan salah satu poin yang crucial (sangat penting) yang harus diperhatikan dan harus juga terdapat beberapa pertimbangan mendasar atas pencabutan pengaturan terkait dengan lingkungan hidup dalam UUCK.

          Hal menarik yang terdapat didalam UUCK adalah poin perizinan nya yang digadang – gadang dibuat menjadi lebih sederhana, melihat lebih lanjut kedalam pengaturan perizinan didalam UUCK, didalam pasal 6 poin a dikatan bahwa : “penerapan perizinan berusaha berbasis risiko”, lalu apakah yang dimaksud dengan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko? Didalam pasal 7 ayat (1) UUCK dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha Berbasis Risiko” adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan usaha, lalu didalam pasal 7 ayat (2) dijelaskan bahwa penetapan tingkat risiko diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya, kemudian didalam  pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa penilaian tingkat bahaya dengan memperhitungkan beberapa faktor, diantaranya: a.Jenis Kegiatan Usaha; b.Kriteria Kegiatan Usaha; c.Lokasi Kegiatan Usaha; dan/atau d.Keterbatasan Sumber Daya, dan didalam pasal 7 ayat (5) dijelaskan bahwa  Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya dilakukan dengan juga memperhitungkan: a.Jenis Kegiatan Usaha; b.Kriteria Kegiatan Usaha; c.Lokasi Kegiatan Usaha; d.Keterbatasan Sumber Daya; dan/atau e.Risiko Volatilitas.

          Pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah : Apakah sistem perhitungan risiko jika diterapkan di Indonesia akan membantu dalam percepatan perizinan investasi, atau justru akan membuat rumit didalam pelaksanaan Online Single Submission (OSS) nya kelak? Mari kita telaah dari beberapa poin, pertama Risk-Based Approach (RBA) memerlukan dukungan basis data yang integratif, menyeluruh, dan akurat, sedangkan database di Indonesia dinilai lemah, mengapa? Karena RBA juga perlu didukung oleh Keterangan Rencana Peruntukan (KRP), sedikit memberi pemahaman bahwa yang dimaksud dengan KRP adalah surat keterangan yang menyatakan informasi mengenai rencana peruntukan/penggunaan atas sebidang tanah. Didalam mengaplikasikan RBA membutuhkan KRP yang memiliki proyeksi atas risiko di masa mendatang, contohnya : Inventarisasi LH, RPPLH, KLHS, dan sebagainya. Kedua, risiko volatilitas akan menjadi sangat besar ketika tidak memiliki data yang memadai dan tidak mengadakan analisis statistika secara tepat dan akurat sebelumnya, seperti prakiraan cuaca, potensi badai, potensi krisis ekonomi, kecepatan angin, dan sebagainya. Ketiga, dengan memperhatikan ekoregion dari Indonesia, dimungkinkan dapat terjadinya bencana alam sewaktu – waktu.

          Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development, yang selanjutnya disebut “OECD” yang telah menerapkan sistem perhitungan risiko (RBA), dapat dilihat dari segi sudut pandang atau prespektif yang jelas sangat berbeda, di negara OECD tidak ada sektor informal, UMKM di negara OECD adalah sektor formal, di negara OECD usaha yang berkaitan langsung dengan masyarakat diatur dengan ketat, contoh: kafe, restoran, dan sebagainya, sedangkan di Indonesia keberadaan sektor informal sangat besar dalam faktor perekonomian, dan juga belum adanya pengaturan perizinan  yang terperinci terkait dengan sektor informal, jadi apa yang dianggap berisiko tinggi di negara OECD, ternyata tidak dianggap berisiko tinggi dan bahkan tidak diatur di Indonesia, karena semua faktor informal belum tentu identik semua memiliki risiko yang rendah, dan juga RBA dibuat dengan tidak menyebutkan siapa yang akan mengawasi penentu risiko dalam berbagai faktor terkait didalamnya.

          Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh penjelasan yang telah saya jabarkan sebelumnya adalah simplifikasi didalam perizinan tidak sama dengan simplifikasi terhadap dampak lingkungan, dan penerapan Risk-based Aproach (RBA) dalam perizinan berusaha dinilai tidak cocok diterapkan di Indonesia dan dikhawatirkan tidak akan berjalan efektif apabila dipaksakan, dikarenakan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, pertama RBA semestinya mempertimbangkan risiko – risiko lainnya, seperti risiko hukum, risiko reputasi, risiko sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sebagainya, kedua harus diperkirakan apakah perhitungan risiko dengan kondisi ketersediaan data yang terbatas di Indonesia akan berpengaruh dan membantu dalam percepatan perizinan investasi, ketiga Begitu banyak database di level individu di Indonesia yang harus dibangun agar terciptanya keselarasan didalam penerapan RBA, bahkan riset penerapan risiko di sektor publikpun masih sangat terbatas, perlu diingat juga bahwa belum pernah ada lembaga yang berkewenangan secara jelas mengatur risiko secara menyeluruh di Indonesia, dapat juga disimpulkan bahwa RBA dapat menimbulkan pelemahan substansi dampak lingkungan hidup, dan memang pada hakikatnya menerapkan suatu konsep yang belum dipahami secara utuh, menyeluruh, dan seksama akan menimbulkan potensi legal-abuse yang sangat besar, dan saya berharap kedepannya Indonesia dapat menerapkan sebuah konsep dasar perizinan yang memang sesuai dengan sektor formal dan informal terkait dengan perekonomian di Indonesia, dengan tidak melupakan kompleksitas isu terkait dengan lingkungan hidup dan memastikan bahwa asas hukum umum tetap berlaku sebagaimana mestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun