Mohon tunggu...
Ismaharani Lubis
Ismaharani Lubis Mohon Tunggu... wiraswasta -

single mommy www.maharanilubis.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RAMEN] Yuan Liem

20 Januari 2012   17:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maharanilubis 28 Yuan terdiam. Matanya masih menyimpan amarah yang siap meledak. Hidung mungilnya mendengus, mengimbangi nafasnya yang tersengal. Amarahnya sudah diatas angin. Baru saja Yuan menerima perintah dari ayahnya yang seorang bangsawan di kota ini, Liem Cong Afie. Isi Perintah : Bahwa Yuan harus segera memakai sepatu besinya tepat di hari Imlek, sepulang dari klenteng. Dan tiga hari lagi Imlek tiba. Perintah yang tak bisa ditawar. Yuan marah. Marah pada tradisi usang yang masih saja di pertahankan oleh keluarga terhormat ini. Bahwa memiliki kaki yang mungil, adalah 'takaran' yang menunjukkan di kelas mana seorang wanita itu berada. Tak sadar mereka bahwa kaki mungil sama dengan kaki cacat. Lihat saja CengLan, berjalan saja ia susah. Kakinya yang dikerangkeng dengan besi selama bertahun-tahun membentuk kaki baru yang menyerupai kuncup bunga teratai. Tradisi mengikat kaki turun temurun di lakukan oleh wanita di keluarga Yuan. Selain menandakan kelas kebangsawanan mereka, beredar pula mitos yang meyakini hal tersebut mampu pula meningkatkan gairah seks. Yuan mendengus, tak mengerti dan percaya. Yuan Liem, putri kedua Liem Cong Afie, pengusaha kaya di kota kecil penghasil rempah. Keluarga keturunan tionghoa terkaya yang dikenal dermawan dan sangat berbaur dengan suku mayoritas, melayu, yang beragama muslim. Ayah Yuan bersahabat baik dengan alim ulama dan penguasa kota. Tapi Yuan selalu menentang ayahnya yang kolot. Yuan tak boleh bersekolah di luar rumah karena ia anak perempuan. Yuan membangkang, setiap pagi Yuan pergi ke sekolah pemerintah yang ada di kota itu. Yuan tak boleh banyak berbicara ketika sedang ada rapat keluarga, karena perempuan di keluarga ini tugasnya hanya mendengar, tak boleh berpendapat. Dan Yuan memilih untuk tidak hadir, buang-buang waktu, lebih baik membaca atau bermain ke rumah sahabatnya, Muslim. Yuan populer diantara anak sebayanya. Perempuan kecil berumur 10 tahun ini dikenal pemberani dan pintar. Hatinya yang keras namun penyayang sering membuat sahabat kecilnya merindu bila Yuan tak datang ke lapangan rumput tempat mereka biasa bermain. Jelas-jelas mereka tak berani menyambangi rumah Yuan, tak ada nyali. Tapi hari ini Yuan terlihat murung. Mendung  sekali wajah gadis kecil ini. Muslim, sahabat terbaiknya  mendekat. "Kenapa Yuan, kau kok sedih?" Muslim menyapa. Angin meniup lembut helai poni 'selamat datang' Yuan, begitu Muslim menyebutnya. "Besok Imlek Mus..." mata Yuan berkaca. Menatap jauh ke angkasa, mengikuti gerakan burung yang terbang berombongan di awan. Yuan ingin ikut, terbang jauh dari rumah. "Harusnya kau senang Yuan. Imlek artinya kau pake baju baru. Makan enak, Ang Pao dan Main petasan pulak lagi. Biasanya juga kau senang kalau Imlek." "Tapi Imlek besok tak sama Mus. Besok papah memaksaku untuk memakai sepatu 'gila' itu. kau tahu kan aku benci sepatu itu...." Air mata mengalir di pipi mulus Yuan. Putri kecil keluarga Liem yang malang, yang tak mampu berbuat apa pun untuk kemerdekaannya sendiri. Muslim terdiam. Kelu tanpa jawaban yang mampu menghuibur Yuan kecilnya. Rasa sakit hati Yuan berpindah ke hatinya. Dibayangkannya Yuan yang cantik akan berjalan tertatih, tak bisa lagi berlari bebas mengejar capung di lapangan ini. Yuan sahabat terkasih Muslim, tersedu sedan di hadapannya. Dan ia tak mampu berbuat apa-apa. Membiarkan sahabat cina nya ini mengahadapi hari esok yang menyakitkan. Muslim benci aturan itu, dan Yuan mulai menangisi Imlek. Sejak Imlek tahun itu Muslim tak pernah melihat  Yuan lagi di lapangan rumput ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun