Mohon tunggu...
Maharani Ilfa
Maharani Ilfa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sungai Brantas dan Semangat yang Mengapung di Atasnya

15 Agustus 2018   23:52 Diperbarui: 16 Agustus 2018   00:53 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat kota sebagian besar sering berimajinasi tentang kehidupan di desa yang damai. Kota dengan keidentikan suasana yang bising, macet, dan panas menjadi penyumbang terbesar kejenuhan. Tidak sedikit dari pensiunan pegawai mendambakan menghabiskan sisa umurnya di kampung halaman, menikmati kicauan burung setiap pagi ditemani dengan segelas kopi hangat, menunggu sarapan sambil menghirup aroma asap dari kayu di tungku pembakaran. Jika saya benar, tandanya kita mempunyai mimpi yang sama.

Ternyata, realitanya kehidupan di kampung tidak semudah dan sesederhana yang kita bayangkan. Satu bulan lalu, saya berkesempatan menemani ibu pulang kampung ke Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur. Selama satu minggu tinggal di sana, memang saya akui bahwa biaya hidup yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan di kota. Saya masih menemukan harga satu porsi makanan di bawah lima ribu rupiah, dengan harga yang sama jika di kota mungkin hanya bisa membeli sepotong kue basah.

Rumah ibu di kampung berada di tepi Sungai Brantas. Terkahir saya ke sini, kondisi penerangan masih terbatas, akses jalan masih berupa tanah merah dengan bebatuan sungai yang menonjol, masih banyak hewan-hewan seperti babi hutan berkeliaran. Sekarang, setelah hampir lima belas tahun berlalu, kondisi telah banyak berubah. Rumah-rumah bilik berganti dengan rumah dengan pilar yang megah, bisa dikatakan mengalahkan rumah saya di kota. Infrastruktur tergolong baik dan akses listrik sudah dapat dinikmati oleh warganya.

Fenomena yang menarik adalah masyarakat di sini belum bisa meninggalkan getek sebagai transportasi yang mereka gunakan. Getek digunakan untuk menyebrang dari Tulungagung menuju jalan tembusan Kediri. Lima belas tahun lalu, getek yang tersedia hanya berupa perahu kecil dengan kapasitas sepuluh orang. Getek dijalankan secara manual dengan menarik tali tambang yang terbentang menyebrangi sungai.

Sekarang, getek sudah bertransformasi menjadi perahu kayu berukuran panjang dua puluh meter yang dapat mengangkut tiga mobil, sepuluh motor, dan belasan penumpang sekaligus. Dengan kapasitas yang dikatakan fantastis untuk ukuran perahu kayu, getek tetap dijalankan manual. Orang-orang yang menjadi nakoda selama penyebrangan harus menarik tali baja mengarungi arus deras Sungai Brantas.

Getek sebagai alat transportasi mayarakatnya/dokpri
Getek sebagai alat transportasi mayarakatnya/dokpri
Salah satunya adalah Mas Hari, teman ibu semasa kecil, dirinya telah menjadi penarik getek sejak kanak-kanaknya. Kulit tangannya sudah menebal karena bertahun-tahun mengenggam tali baja. Mas Hari adalah bagian dari nostalgia ibu di masa lalu yang masih rutin ditemui setiap kali pulang kampung. Dan hal itu yang menjadikan saya bisa sepuasnya menyebrang sungai berantas tanpa membayar.

Tarif satu kali menyebrang dua ribu rupiah untuk satu orang, lima ribu rupiah untuk sepeda motor, dan sepuluh ribu rupiah untuk mobil kecil. Harga yang murah jika dibandingkan jarak yang harus ditempuh jika melalui darat.

Mas Hari mungkin bagi sebagian besar penumpang di sini hanyalah seorang pria penarik getek. Tapi bagi saya, setelah mendengar percakapannya dengan ibu sosok Mas Hari adalah cahaya dalam rimbunnya pohon. Tetap menghangatkan dan memberikan kehidupan walaupun cahayanya tidak selalu dapat terlihat.

Kehidupan di kampung dalam kaca mata saya sekarang sudah mulai bergeser. Awalnya saya menilai orang-orang di kampung yang tidak berminat untuk pindah ke kota hanya karena takut hidupnya tidak terjamin, takut tergerus kerasnya persaingan di kota. Tapi pemikiran seperti itu membuka hati saya, jika semua orang di kampung mengadu nasib di kota, lalu siapa yang tinggal di sini? Siapa yang merawat keluarganya yang sudah sepuh?

Perempuan di kampung ini sebagian besar menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri seperti Hongkong, Arab Saudi, dan Brunei. Hampir seluruhnya rumah berpilar megah itu dibangun karena ada anggota keluarganya yang pergi bekerja di luar negeri. Mayoritas kelompok itu adalah perempuan sebagai asisten rumah tangga.

Hanya sedikit saja laki-laki bekerja di luar negeri, kalau pun ada mereka bekerja sebagai buruh kasar di kapal pelayaran yang akan berangkat ke luar negeri, lalu pulang bertahun kemudian. Dominasi pekerjaan laki-laki di kampung ini sebagai pencari wedi atau dalam bahasa adalah batu sungai. Mereka menjadi penambang liar di sepanjang Sungai Brantas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun