Yang dinanti-nantikan akhirnya muncul, album baru Luca Turilli cs akhirnya keluar juga. Didahului single “Prometheus”, yang videonya beredar di Youtube akhir Mei lalu, pada 19 Juni album bertajuk Prometheus, Symphonia Ignis Divinus ini resmi dirilis.
Setelah lewat dua bulan, akhirnya aku baru menyempatkan diri menulis resensi ini.
Sedikit mengulang cerita, album ini adalah kelanjutan dari album sebelumnya Ascending to Infinity (ATI), album pertama Turilli setelah “pisah baik-baik” dengan Staropoli. Kayaknya mereka punya visi yang berbeda. Nah, melalui ATI, Turilli pengen mengembangkan yang dia sebut “cinematic metal”.
Sebenarnya, aku pun nggak ngerti-ngerti amat apa yang dimaksud Turilli dengan cinematic metal itu. Tapi, ATI cukup renyah di kuping. Pertama kali dengar, langsung nyangkut. Maka, aku termasuk yang sangat menanti-nantikan kelanjutannya. Begitu ada kabar Turilli dan teman-temannya rekaman, aku terus memantau. Begitu tanggal rilis album diumumkan, aku juga ikutan pre-order di iTunes. Aku sangat berharap, Prometheus, Symphonia Ignis Divinus—begitu katanya judul album baru tersebut—paling nggak bisa menyamai ATI. Lalu, bagaimana hasilnya?
Sejujurnya, ketika menyimak video single “Prometheus” yang menjadi teaser, aku rada was-was. Kok nggak asyik ya. Rasanya kurang greget. Tidak ada yang bisa bikin wow, dan cenderung boring. Lagu mid tempo yang so-so.
Yang jelas, album baru ini semakin menegaskan arah musik Turilli dengan cinematic metalnya. Dan, ketika akhirnya bisa mendownload album utuh, barulah kelihatan apa yang dimaksud Turilli. Gimana rasanya? Mantap!
Mari kita bedah satu per satu.
Turilli pernah bilang, cinematic metal yang dia maksud adalah jenis musik yang diciptakan untuk menjadi soundtrack film. Sederhananya begitu. Mendengar Prometheus, menjadi jelas, ini adalah beragam musik yang cocok menjadi latar berbagai macam film.
Yang sangat khas adalah begitu dominannya komposisi-komposisi klasik dalam setiap lagu. Makanya, aku sempat berpikir, ini sebenarnya lagu-lagu klasik yang diberi sentuhan metal, atau metal yang diberi sentuhan klasik. Mestinya sih yang kedua, tapi kok kayaknya sebaliknya.
Hapuskan distorsi gitar dan drum, voila, Prometheus menjelma menjadi album klasik. Jangan salah, ini tidak berarti buruk. Banyak musik metal juga terinspirasi musik klasik. Tengok saja Yngwie. Atau, komposisi-komposisi Metallica juga dapat bersanding harmonis dengan musik klasik. Makanya, eksperimen membawakan lagu-lagu Metallica dengan iringan orkes simfoninya Michael Kamen bisa berhasil.
Bagi aku pribadi, tidak ada masalah sama sekali. Karena, ada periode di mana aku menziarahi karya-karya klasik, terutama nama-nama besar seperti Mozart, Beethoven, Vivaldi. Jadi, ya woles aja. Yang penting renyah dan nyangkut di kuping. Cuma, bagi metalheads garis keras, boleh jadi Prometheus dianggap sudah lari dari akarnya.