[caption id="attachment_397248" align="aligncenter" width="546" caption="Jalan Supratman, tipikal Bandung yang rimbun dan teduh."][/caption]
Ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan komprehensif yang obyektif tentang Bandung dulu dan Bandung sekarang. Sebaliknya, ini adalah tulisan yang sangat subyektif dari seorang yang hanya pernah mengecap 6 tahun di Bandung dan sekarang menjadi warga megapolitan Jakarta (mencari sesuap nasi di Ibu Kota dan menetap di Jakarta coret). Jadi, jangan protes kalau paparannya mungkin tidak mencerminkan Bandung yang Anda kenal.
Bandung buat seorang lulusan SMA dari Medan pada awal 1990-an barangkali sebuah impian. Entah kenapa, kota ini begitu favorit di kalangan siswa SMA I Medan. Mungkin karena banyak alumninya yang berhasil menembus ITB. Setiap tahun biasanya ada rombongan alumni yang sudah menjadi mahasiswa ITB datang berkunjung dan “petentengan” di depan adik-adik kelas, membawa mimpi tentang sebuah kota yang sejuk, indah, dipenuhi mojang-mojang Priangan yang geulis, dan tempat meniti masa depan yang gilang-gemilang. Hahaha, nggak tahulah, aku nggak terlalu ambil pusing karena aku cukup tahu diri untuk tidak ikut-ikutan bermimpi masuk ke perguruan tinggi yang katanya centre of excellence itu. Tentang ini, ada banyak hal yang bisa aku tulis nanti, tapi kali ini biar aku fokus pada Bandungnya dulu.
[caption id="attachment_397249" align="aligncenter" width="300" caption="Batagor Kingsley."]
Aku sendiri tertarik ke Bandung bukan karena banyak teman-teman yang ngomporin dan sudah terlebih dahulu menyatakan niatnya ke Kota Kembang. Tidak. Tapi, karena aku senang menulis dan pada waktu itu hanya di Bandung ada Jurusan Ilmu Jurnalistik, tepatnya di Fikom Unpad (sebenarnya pada waktu itu ada juga Jurusan Jurnalistik di Universitas Hasanudin Ujung Pandang, tapi hanya di Bandung yang ada Fikom). Ke sanalah aku menuju.
Kampus Fikom Unpad pada 1991 terletak di Kawasan Sekeloa, Kelurahan Coblong. Jalan masuknya dari Dipati Ukur turun naik cukup curam. Mereka yang pernah tinggal di kawasan ini pasti ingat persis jalan yang untuk melaluinya cukup bikin ngos-ngosan ini. Selain itu, ada beberapa jalan tikus yang dapat menembus permukiman di kawasan ini. Di tempat inilah aku tinggal selama 6 tahun.
Sebagai anak rantau dari keluarga kelas menengah, dalam banyak hal aku terbatas. Tapi, rata-rata teman-temanku juga sama, sehingga kami begitu solid. Ya senang bareng-bareng, ya susah juga bareng-bareng. Kalo lagi ada duit, kita nonton di BIP. Kalo lagi kere, ya nonton di Dallas Dalemkaum atau Artha di Karapitan. Aku bahkan pernah nonton di bioskop misbar di Cicadas. Beli karcisnya juga pake mau berantem sama preman setempat, gara-gara temanku ngotot mau beli di loket, bukan di calo yang harganya lebih mahal Rp 300.
[caption id="attachment_397250" align="aligncenter" width="300" caption="Outlet Eiger."]
Sehari-hari, kami makan di sejumlah kantin di Sekeloa, antara lain Gratya, Bu Siti, dan Dangiang Sari. Belakangan, di jalan arah menuju Ciheulang, buka kantin rumahan yang menjual soto dan rawon yang semangkuknya hanya Rp 500, sehingga kita menyebutnya kantin “sogo” alias soto gopek. Kalo duit berlebih, bolehlah makan di nasi goreng helm Dipati Ukur yang harganya sedikit di atas rata-rata nasi goreng tenda di tempat lain. Atau, masuk lebih jauh ke Sekeloa arah yang tembus ke Haur Pancuh. Ada warung rumahan yang menjual ayam dan ikan goreng, namanya Bu Tatang. Kalau mau lebih heboh lagi, ya makan nasi goreng b*** di belakang BIP atau Jalan Aceh. Atau, sekalian makan di lapo depan Telkom. Tempat ini pasti penuh kalo udah bulan puasa (habis mau makan di mana lagi).
Restoran cepat saji KFC yang ada di Gelael Dago atau McDonald di BIP bagiku dulu makanan mewah yang hanya dikunjungi pada saat-saat superspesial, misalnya kalo ada yang ulang tahun. Itu pun seingatku selama 6 tahun tinggal di Bandung tak sampai hitungan jari tangan. Bukan apa-apa, buatku dana yang terbatas lebih baik dipakai buat beli buku di Palasari atau malah beli kaset di Aquarius Dago.
[caption id="attachment_397251" align="aligncenter" width="150" caption="Braga City Walk."]
[caption id="attachment_397252" align="aligncenter" width="150" caption="Heritage."]
[caption id="attachment_397253" align="aligncenter" width="150" caption="Prima Rasa."]
[caption id="attachment_397254" align="aligncenter" width="150" caption="Heritage."]
Yang namanya jalan-jalan bagi aku dan teman-temanku barangkali cuma muter-muter BIP hingga alun-alun. Kami suka juga nonton di Nusantara dan Palaguna. Pernah sekali waktu, kami nonton dua film berturut-turut, seingatku salah satunya filmnya Al Pacino, Heat.
Kuliner Bandung sebenarnya kurang begitu cocok dengan lidah Sumatera-ku. Makanya, jauh-jauh ke Bandung, yang dicari malah chinese food atau sate padang. Maklum, anak Medan mana yang nggak doyan makan mi pangsit dan sate padang? Siomay, batagor, mi kocok, dan teman-temannya jelas kurang menantang. Kalo bicara mi, paling yang masuk hitungan adalah bakmi Naripan atau Linggarjati di pojokan alun-alun dekat Palaguna situ.
Pretty much, itulah Bandung yang aku kenal sebagai mahasiswa pada awal hingga pertengahan 1990-an. Setelah bekerja dan punya duit, beberapa kali pada akhir 1990-an aku mampir ke Bandung bersama teman-teman. Biasanya kita (tepatnya teman-temanku yang perempuan) menyerbu FO dan menghabiskan malam di salah satu kafe di Dago atau daerah menuju Lembang yang kala itu sedang happening banget. Nah, weekend kemarin, Sabtu (14/2) kebetulan bos di kantor mantu dan acaranya diselenggarakan di Hotel Panghegar Bandung. Wah, cocok nih, sekalian ngajakin keluarga kecilku jalan-jalan. Maka, kami pun hunting hotel dan kebetulan dapat penawaran menarik dari Tiket.com untuk nginap di Gino Feruci Braga. Tentunya, sebagai keluarga, Bandung yang dikunjungi kali ini “berbeda” lagi.
Oke, kami punya kebiasaan untuk berangkat ke Bandung pagi-pagi benar sehingga terhindar dari macet dan aturan 4 in 1 kalau keluar di Tol Pasteur. Pagi-pagi nyampai di Bandung biasanya kami nyari sarapan di yoghurt Cisangkuy, dekat Gedung Sate, sembari menikmati udara sejuk dan pepohonan rimbun di kawasan tersebut. Kali terakhir ke Bandung, kami juga mampir di Museum Geologi, karena Jeremy sangat suka yang berbau-bau dinosaurus. Lumayan sih tempatnya, tapi menurutku seharusnya bisa dikemas lebih menarik lagi selain menampilkan deretan tulang dan tengkorak berdebu.
Nah, kali ini kami mencari sarapan di batagor Kingsley di Jalan Veteran. Tempat ini sudah terkenal sejak dulu tapi jujur saja pada waktu mahasiswa aku tidak pernah mampir. Jadi, aku nggak ngerti dulunya seperti apa. Tapi, yang jelas sekarang tempatnya bagus, berupa bangunan dua lantai yang bersih. Toiletnya juga bersih. Ini penting buat kami yang baru menempuh perjalanan panjang dari Bekasi. Jualannya juga bukan cuma batagor. Aku pesan yamin karena dalam cuaca mendung yang dingin kok kayaknya pengen makanan yang berkuah hangat. Icha memesan siomay sedangkan Jeremy makan roti bakar. Tak butuh waktu lama, semua sudah ludes dan aku masih menambah lagi sepiring batagor. Nyam...