Sebenarnya, satu kata yang tepat untuk menggambarkan lagu-lagu di album Prometheus: indah. Yup. Luca Turilli emang jago. Dan, para anggota band campuran dari tiga negara (Italia, Perancis, Jerman) ini semua memiliki kemampuan yang mumpuni. Waktu 7 bulan menyusun komposisi, 3 bulan produksi, dan 50 hari mixing benar-benar optimal. Belum lagi, kehadiran dua choir serta sejumlah bintang tamu, termasuk Ralf Scheepers (Primal Fear), Dan Lucas (KARO), dan David Readman (PINK CREAM 69), benar-benar membuat album ini sangat kaya rasa.
Kekuatan bisa jadi kelemahan. Turilli boleh jadi menyusun komposisi-komposisi di album Prometheus dengan brilian. Begitu indah, rapi, dan merdu di telinga. Tapi, juga jadi terlalu steril, halus, cenderung lembek, dan kurang agresi. Prometheus jelas tidak bisa dibandingkan dengan Power of the Dragonflame atau Dawn of Victory pada era kejayaan duet Turilli dan Staropoli. Dibandingkan dengan ATI saja, Prometheus kalah sangar. Tapi, jika kau pengen musik metal yang indah, album ini bisa jadi salah satu rekomendasi.
Di album ini, virtuositas gitar Turilli tidak banyak diumbar. Jangankan lick-lick yang meliuk-liuk, riff-riff yang menggetarkan pun langka. Di beberapa lagu, Turilli sempat memperdengarkan solo. Simak misalnya “Il Tempo Degli Dei”. Kelihatan banget Turilli membatasi diri, lebih mengutamakan harmoni, dan tidak mau berlebihan. Malah, porsi piano—yang dia juga sih yang mainin—tampil lebih dominan.
Kebanyakan lagu-lagu di Prometheus bermain di mid tempo dengan aura positif. Pokoknya metal baik-baik deh. Nggak ada kesan kelam dan sangar. Nyaris tidak ada lagu yang ngebut seperti lagu-lagu di Dawn of Victory. Bahkan, sekaliber “Dark Fate of Atlantis” dari ATI aja nggak ada. Yang paling ngebut barangkali cuma “One Ring to Rule Them All”, yang jelas nggak ada apa-apanya dibandingkan, misalnya “When Demons Awake” atau “Holy Thunderforce”.
Jangan lupakan juga faktor vokal Alessandro Conti yang berbeda dengan Fabio Lione. Gaya opera Conti lebih dekat pada Michael Kiske eks Helloween, sementara Lione yang tongkrongannya mirip Francesco Totti-nya AS Roma karakternya lebih gagah dan garang.
Lagi-lagi, hal ini tidak berarti Prometheus buruk. Cuma, tampaknya, inilah karakter cinematic metal versi Turilli. Memang tampak meninggalkan akar symphonic dan power metal dari Rhapsody versi sebelumnya. Untungnya, dia punya sesuatu lain yang ditawarkan.
Andalan
Kalau sebelumnya aku katakan, sempat was-was mendengar single “Prometheus”, ternyata setelah mendengar lagu-lagu lainnya, kekhawatiran itu sirna. Yang ada malah puas dan nikmat. Memang tidak ada nomor-nomor yang agresif dan bertenaga, tapi siapa yang tidak terbuai mendengarkan “Anahata”, atau klimaks mendengar kejar-kejaran orkestra dan choir pada bagian finale “Il Tempo Degli Dei”. Maknyusss...
Yang layak jadi hits menurutku “Rosenkreuz”. Simple dan catchy. Pasti nyangkut di kuping. Tapi, favoritku adalah “One Ring to Rule Them All”. Selain paling bertenaga, semua tersaji komplet di lagu ini, mulai dari choir, orkestra, sentuhan musik rakyat Eropa, hingga variasi gebukan Landenburg.
Oya, sedikit komentar tentang Landenburg. Sebagai mantan drummer, wajar jika aku cukup memperhatikan seksi rhythm. Nggak tahu apakah dia dibatasi oleh Turilli, tapi menurutku dalam banyak lagu permainan Landenburg sangat datar, tidak ada entakannya. Mestinya, dia nggak kalah kelas dari Alex Holzwarth. Tapi, ya itu, nyaris tidak ada lagu yang menonjolkan permainannya. Apakah komposisinya yang menuntut demikian? Entahlah.
“Il Cigno Nero” sebagai pembuka benar-benar manis. Intro denting piano yang kemudian ditingkahi choir bersemangat seakan-akan menjadi isyarat untuk memulai penjelajahan musikal yang menyenangkan. Top markotob...
Nomor lain yang sangat kuat menurutku adalah “Yggdrasil”. Ini juga—lagi-lagi—dimulai dengan intro dentingan piano, orkestrasi simfoni, lalu liukan gitar Turilli, sebelum Conti angkat suara. Selain “Rosenkreuz”, “Yggdrasil” juga layak jadi hits.