Mohon tunggu...
Mahalli Hatim Nadzir
Mahalli Hatim Nadzir Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Petani, Pembaca Buku dan Penulis Catatan Harian di http://mahalli-ra.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Tengkulak dan Angin Kencang

5 Februari 2012   23:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy


Angin kencang membuat nelayan urung melaut dan tidak bisa merokok Dji Sam Soe. Angin kencang menumbangkan banyak pohon temasuk pohon jagung. Angin kencang tidak cukup mesra mengajak kumis berterbangan rendah-rendah di tepi pantai.



Pergulatan nelayan dengan angin, petani dengan angin dan musim yang membingungkan, adalah problema tak terhindar. Ada banyak hal yang nelayan dan petani hadapi, namun yang tak kenal musim dan waktu tetap saja harga jual hasil panen mereka yang dimainkan oleh tengkulak. Angin kencang bukan satu-satunya, saya pikir juga bukan yang utama, bukan gangguan yang serta merta memporak-porandakan harapan. Sebab sebelum itu, petani dan nelayan dibayang-bayangi hantu modal. Modal dipegang tengkulak. Di sana harga ber(diper)main(kan).

Barangkali, mayoritas rakyat negeri ini adalah petani dan nelayan. Dengan cara mereka masing-masing di tempat yang berbeda, dengan cara mengatasi masalah mereka perekonomian yang berbeda pula. Petani bukan hanya mereka yang memiliki lahan dikelola sendiri, bagi penglihatan saya, petani adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Entah itu buruh, majikan, dan penggiat pertanian lainnya. Bukan birokrat pertanian kantoran atau peneliti pertanian lapangan yang saya maksud. Mereka diatur dengan sistem dan pancingan materi yang berakar kuat. Salah satu contohnya, petani tidak lagi menanam sesuai kebutuhan hidup mereka. Nelayan mencari ikan bukan hanya untuk dikonsumsi sendiri.

Tengkulak
Pada Agustus tahun lalu, saya bekerja sebagai buruh angkut ikan di waktu malam dan tukang kupas kelapa di siang harinya. Ada satu yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri selaku buruh. Saya bekerja tidak kepada seorang majikan, tetapi dia yang mengajak saya bekerja memposisikan diri sebagai mitra kerja. Bersama-sama menyelesaikan pekerjaan tanpa menganggap hubungan saya dan dia layaknya buruh dan majikan.

Ia menjual hasil pertanian kelapanya pada seorang tengkulak. Hanya satu itu. Tengkulak punya cukup modal untuk mempermainkan harga. Kelapa baru dilunasi jika penjual menjual kedua kalinya. Jadi sifatnya terus menerus. Tengkulak tidak ingin pemasok kelapa menjual hasil kelapanya pada tengkulak lain. Di sinilah liciknya. Penundaan pembayaran kelapa sebelumnya akan menjadi pancingan untuk terus memasok kepala pada tengkulak yang sama.



"Bagaimana saya bisa menjual kelapa ini pada tengkulak lain, sedangkan kemungkinan terburuknya, kelapa saya tidak akan dilunasi jika saya tidak memasok kelapa padanya lagi." Begitulah alasannya. Mitra kerja saya itu tidak punya pilihan lain. Sama saja ia tidak punya pilihan kapan bisa menjual kelapa dan berapa harga yang ia inginkan. Hal yang sama terjadi pada nelayan, petani tembakau, petani jagung, dan bawang.


Penganeka-ragaman hasil pertanian tetap menjadi harapan bagaimana hal ini dihindari. Tak terpusatnya perdagangan hasil pertanian dan laut menjadi tumpuan akan diarahkan ke mana pendapatan masyarakat. Yang menjadi bumerang dari kelanjutan ketimpangan ini adalah migrasi. Karena tidak betah dengan penghasilan yang tidak memadai untuk menutupi kebutuhan hidupnya, mereka cenderung berpindah ke luar Madura. Mereka masih menganggap Madura bukan lagi tempat yang nyaman untuk hidup sejahtera.


Pada nyatanya, Madura tidak memberikan kecukupan kebutuhan ekonomis yang tinggi. Kebutuhan spiritual mungkin masih bisa diandalkan untuk terus direproduksi. Tapi entah sampai kapan. Eksistensi manusia di mana pun adalah ketergantungannya pada aspek ekonomi material. Tidak mungkin dan tidak dapat dihindari. Seseorang tak bisa diam saja di dalam tempat ibadahnya hanya berdoa dan mengharap. Seseorang pasti akan keluar melaksanakan tugas kemanusiaannya untuk hidup, berkasab, mencari nafkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun