Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

RPC Beras 7 Tahun Merugikan Pemkab Wajo

27 Mei 2011   11:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak berfungsinya Rice Processing Centre (RPC) sejak selesai dibangun tahun 2004 dengan biaya Rp 32,7 miliar di Desa Mattirowalie Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan menimbulkan keheranan berbagai kalangan.

[caption id="attachment_110679" align="aligncenter" width="640" caption="Inilah salah satu sudut RPC Kabupaten Wajo/Ft:Repro Batara 2004"][/caption]

Pasalnya, pembangunan pabrik pengolahan beras terpadu termodern di Kawasan Timur Indonesia yang ikut dibidani oleh pihak Departemen Pertanian dan mengucurkan bantuan dana melalui APBN sebesar Rp 17 miliar tersebut, sesuai studi kelayakannya dari fungsi ekonomi akan berdampak meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya di Kabupaten Wajo.

Kehadiran pabrik ini pun, dalam analisis awalnya dianggap begitu penting, lantaran dapat memperkuat kelembagaan bisnis, memperkuatjaringan bahan baku, produksi dan pemasaran beras dan gabah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani dan pengusaha beras.

Juga diadakan dengan alasan mampu meningkatkan kualitas konsistensi dan jaminan kontinuitas volume suplay beras yang sekaligus dapat mewujudkan Kabupaten Wajo sebagai pusat perdagangan beras di Provinsi Sulawesi Selatan. Demikian pula dapat menjadi ‘price leader’ beras dan gabah pada tingkat harga yang sangat menguntungkan.

[caption id="attachment_110680" align="alignright" width="480" caption="Jenis beras Kristal yang dipamer-pamerkan sebagai produksi RPC Kabupaten Wajo/Ft:dok"][/caption]

Dari sisi fungsi sosialnya, dinyatakan kehadiran RPC di Kabupaten Wajo tersebut akan mampu membuka lapangan kerja baru, mendidik masyarakat pelaku bisnis untuk berbisnis secara jujur dan transparan sebagai suatu sistem perdagangan modern yang dituntut oleh perdagangan global.

Namun dalam kejadian di lapangan, ternyata tak seindah coretan hasil analisis di atas kertas. Sejak diresmikan 7 tahun lalu, RPC yang menggunakan mesin produk Hansung Industrial Co.Ltd, Korea tersebut hingga sekarang justru merugikan Pemerintah Kabupaten Wajo. Hal itu terungkap setelah belum lama ini pihak DPRD Kabupaten Wajo mengkaji sebuah rencana kerjasama Pemkab Wajo dengan salah satu perusahaan swasta berkaitan dengan pengoperasian RPC Kabupaten Wajo, yang dinilai justru tetap akan membebani pemerintah daerah.

Dianggap memberatkan, karena dalam diktum rencana kerjasama dengan pihak swasta itu tetap memberikan kewajiban kepada Pemkab Wajo dalam hal pemeliharan dan perbaikan terhadap semua kerusakan mesin RPC. Apalagi, kondisi mesin pabrik RPC sekarang sebagian telah mengalami kerusakan.

Beberapa tahun yang lalu, sebenarnya pihak Pemkab Wajo pun sudah pernah melakukan kerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin (Unhas), dalam rangka mencari solusi yang tepat mengoperasionalkan RPC yang selama ini berada dalam pengelolaan Dinas Perindustrian Kabupaten Wajo.

Akan tetapi, solusi yang disodorkan membutuhkan modal awal sekitar Rp 6,3 miliar per tahun untuk gaji, biaya operasional, biaya inventaris, dan modal kerja. Untuk modal kerja yang nilainya sekitar Rp 5,2 miliar setahun akan digunakan berkaitan biaya proses berbagai jenis beras, jual beli dedak, penanaman hamparan dengan plasma, perdagangan beras lokal dan antarpulau, serta perdagangan bahan baku pakan ternak. Solusi inipun kandas berkaitan dengan penyedian modal yang tak mampu dipenuhi Pemkab Wajo.

Meskipun sebelumnya, Pemkab Wajo telah menginvestasi dana dari APBD sebesar Rp 1,8 miliar untuk modal kerja RPC, yang hingga sekarang tidak jelas pertanggungjawaban perputaran modal tersebut. Yang pasti, dari kalangan legislatif Kabupaten Wajo sudah ada yang menyodorkan solusi agar RPC Kabupaten Wajo yang sudah sekitar 7 tahun hanya membebani Pemkab Wajo melalui pembiayaan pemeliharaan bangunan dan pabrik agar dijual saja, jika ada yang berminat untuk membelinya sebelum semua mesin pabrik keropos menjadi besi tua.

RPC Kabupaten Wajo yang berlokasi di kilometer 225 Jalan Poros Makassar – Palopo itu, memiliki kapasitas produksi 25.920 ton beras per tahun atau sekitar 4 ton per jam dengan rendemen 65 persen. Memiliki kapasitas pengering 80 ton per hari dan kapasitas silo 900 ton gabah. Efisiensi gabah hilang melalui pemrosesan di RPC dinyatakan hanya antara 5 – 10 persen.

Dengan hitungan produksi gabah Kabupaten Wajo sekitar 525.000 ton setahun dari sekitar 70.000-an hektar sawah (sebagian besar tadah hujan), kehadiran RPC dinyatakan layak di kabupaten kelahiran Pahlawan NasionalLa Maddukelleng ini. Lantaran dalam hitungan kebutuhan RPC tersebut hanya sekitar 40.000 ton setahun atau hanya sekitar 7,6 persen dari total produksi gabah yang ada di daerah ini.

Namun untuk pengadaan gabah kebutuhan RPC Kabupaten Wajo ini lagi-lagi tidak semudah hitung-hitungan di atas kertas. RPC tidak punya lahan persawahan sendiri. Berharap gabah dari persawahan milik rakyat, itu yang menjadi salah satu masalah sehingga RPC ini tak bisa berjalan sebagaimana rencana awalnya.

Dari beberapah pertemuan Pemkab Wajo yang pernah dilakukan dengan sejumlah kelompok tani pada tahun-tahun awal RPC diresmikan telah terungkap, biaya prosessing gabah menjadi beras di RPC Kabupaten Wajotiga kali lebih mahal dibandingkan diprosessing dipenggilingan rakyat. Padahal kualitas hasil gilingan, katanya, tak jauh berbeda.

Sejumlah pakar sudah pernah mengungkapkan, guna menjamin kontunitas sesuai kapasitas produksi, RPC Kabupaten Wajo minimal mempunyai lahan persawahan sendiri sekitar 2.000 hektar. Dan, ini yang sampai sekarang tidak dimiliki RPC Kabupaten Wajo.

Namun sejumlah pihak juga menengarai, pembangunan RPC Kabupaten Wajo tersebut dibangun bukan dengan analisis out-put yang dapat menjadi sumber PAD serta meningkatkan kesejahteraan petani. Melainkan dipaksakan kehadirannya, untuk mengejar perolehan fee dari orang-orang yang terlibat dalam pengadaan mesin penggilingan dari Korea, pembebasan lahan, dan komisi-komisi lain dari pengucuran anggaran dari Pusat hingga ke Daerah sekitar Rp 32,7 miliar untuk pembangunan RPC tersebut.

Salah satu sumber justru ikut mengungkit catatan lama, bahwa untuk membangun RPC di lokasi seluas 105 x 200 meter di Desa MattiroWalie Kecamatan Maniangpajo tersebut, dari total anggaran yang disediakan ada sekitar Rp 5,9 miliar dana yang digunakan untuk honor, ATK, dokumentasi, dan perjalanan dinas, dan Rp 326,9 juta untuk biaya IMB-nya.

Sumber inipun kemudian berani menyatakan ada permainan tak beres dalam pembangunan RPC di Kabupaten Wajo. Buktinya,dia lalu menyodorkan sebuah foto dukumentasi mengenai sejumlah kemasan jenis ‘Beras Kristal’ yang dipamerkan di stan Kabupaten Wajo ketika diadakan Pameran Pembangunan Sulsel beberapa tahun lalu di lokasi pameran Kawasan Benteng Somba Opu, Makassar.

Beras Kristal dengan kemasan 10 kg dan 20 kg tersebut dinyatakan sebagai produksi RPC Kabupaten Wajo yang diberi nama RPC La Maddukkelleng. ‘’Padahal itu semua hanya kebohongan, dijadikan alat pembenaran ke publik jika RPC Kabupaten Wajo berjalan baik. Nyatanya, sejak kehadirannya hanya merugikan pemerintah daerah,’’ katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun