Sekretariat Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki di kota Kendari/Ft: Mahaji Noesa
Departemen Pembinaan dan Pelestarian Benda-benda Sejarah dan Warisan Budaya Tolaki yang berada di Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki belakangan ini banyak didatangi warga membawa benda-benda peninggalan jaman dulu yang bukan saja terbilang langka, unik, aneh-aneh, dan bahkan bernuansa magis. Menariknya, justeru banyak berasal dari luar provinsi serta para pemilik umumnya menitipkan benda tersebut untuk dijual.
Padahal, menurut David Lagindo (70), Wakil Koordinator Departemen Pembinaan dan Pelestarian Benda-benda Sejarah dan Warisan Budaya Tolaki, pihaknya punya tugas untuk sebisanya mengamankan terutama benda-benda adat dan budaya etnik Tolaki peninggalan dari abad V sejak ada kerajaan Konawe dan Mekongga di daratan Sulawesi Tenggara agar tidak punah, hilang atau rusak.
‘’Masih banyak warga mengira lembaga ini juga semacam wadah tempat jual-beli benda-benda langka,’’ ujar David saat dijumpai di kantor SekretariatDewan Pengurus Besar Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki, Jl. Pasaeno, kelurahan Korumba, Mandonga, kota Kendari, Minggu (22 Maret 2015) siang.
Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki dideklarasikan Mei 2014, merupakan pengubahan dan peningkatan status dari Lembaga Adat Tolaki (LAT) yang sebelumnya telah ada sebagai organisasi paguyuban resmi masyarakat hukum adat Tolaki. Suku Tolaki merupakan salah satu etnik besar di Nusantara mendiami daratan Sulawesi Tenggara, memiliki pranata sosial-budaya, sejarah dan politik sejak masa kerajaan Konawe dan Mekongga yang masih tumbuh dan terpelihara dengan baik sampai saat ini.
Menurut David, diperkirakan masih banyak benda peninggalan masa kerajaan Konawe dan Mekongga yang berkaitan dengan adat dan budaya Tolaki berupa alat perang, alat pertanian, alat rumah tangga, dan peralatan beragam jenis upacara masa lalu berada di tangan masyarakat atau yang masih terpendam ataudipendam di tempat-tempat tertentu terutama saat terjadi kekacauan-kekacauan masa lalu yang perlu diselamatkan dan dilestarikan sebagai warisan bukti perjalanan peradaban, terutama untuk generasimuda dalam rangka penguatan jati diri, persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kendala yang dihadapi, katanya, lembaga saat ini belum memiliki sumber keuangan tetap untuk pelestarian, pengumpulan dan pemeliharaan benda-benda peninggalan, serta untuk dana jasa pengganti apabila ada warga yang datang menyerahkannya. Demikian halnya masih dibutuhkan tempat atau gedung refresentatif untuk pengamanan benda-benda peninggalan masa lalu tersebut.
Di ruang kerja David, tampak sejumlah tombak yang disebut sebagai peninggalan dari masa kerajaan Konawe dan Mekongga. Namun diakui lebih banyak benda asal warga yang diistilahkan David sebagai ‘Benda Titipan’ yang sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan adat dan budaya Tolaki.
‘’Sebenarnya merepotkan untuk mengamankan benda-benda langka tersebut apalagi banyak yang menitip untuk dicarikan pembeli. Kita tidak tahu siapa mau membeli benda-benda sepert itu. Tapi untuk pelayanan dan agar tetap mempererat hubungan silaturrahmi, keinginan warga terutama yang berasal dari daerah-daerah seperti itu tetap kita layani, dengan memberi batas waktu hingga seminggu apabila tak ada peminatnya segera diambil kembali,’’ jelas David lalu tertawa.
Benda titipan warga yang ada diruang kerja David hingga hari Minggu (22/3/2015) terlihat tiga buah guci -- 2 berwarna biru dan sebuah berwarna hijau. Kemungkinan guci-guci antik tersebut berasal dari daratan cina karena ketiganya bermotif dan bergambar naga. Juga terdapat sebuah mangkuk dan piring bergambar naga. Terdapat sebuah meriam jagur berukuran kecil diatasnya terdapat tulisan VOC tahun 1371. Meriam ini, katanya, titipan seseorang yang diperoleh dari Papua.
Terlihat ada 4 pedang samurai panjang diperkirakan sebagai peninggalan dari masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dua samurai dipajang bagai hiasan dinding, dua samurai hanya digeletakkan di lantai. Dua samurai disebut sebagai samurai selendang karena lentur dapat dilipat bagai selendang di tubuh. Satu dari samurai selendang ini memiliki lambang 3 bintang di pangkal sarungnya. Dua belati pendek dan sebuah berukuran panjang tersisip di kulit sarung samurai. Di pangkal gagang samurai juga terdapat sebuah belati, untuk membukanya diputar bagai membuka baut, berlapis semacam kulit berwarna kecoklatan dipenuhi tulisan berhuruf Jepang yang disebut sebagai sertipikat, dan di ujung gagang terdapat semacam permata berwarna kehijauan disebut sebagai batu giok.
Menurut David, dia juga ada titipan berupa meja marmer berukuran kecil, tembus cahaya dan di bagian tengahnnya mengeluarkan sinar biru memancar terang apabila ditimpa cahaya. Ada juga titipan sepasang batu mulia yang keduanya seolah tak mau dipisahkan. Dalam jarak tertentu keduanya akan bergerak seolah punya magnet untuk saling berdempet. Paling menarik, katanya, apabila salah satu batu tersebut dimasukkan ke dalam laci meja dan satunya diletakkan di atas meja, maka batu dalam laci akan meloncat-loncat seolah minta keluar untuk dipertemukan dengan pasangannya batu di atas meja. Ada juga sebuah titipan cincin batu berpermata, karakternya terlihat akan tak henti bergetar apabila diletakkan di tempat mana saja selain dipakai di jari tangan.
Terakhir David mendapat titipan sebuah sajadah dari seseorang yang mengaku memperolehnya dari wilayah Banggai, Sulawesi Tengah. Sajadah tersebut tidak hangus jika dibakar. Namun tentang sajadah anti api tersebut, seorang rekan kemudian mengingatkan untuk berhati-hati tidak terkeco akibat ketertinggalan informasi kemajuan Iptek seperti awal-awal tahun 2000-an. Ketika sejumlah produk tekstil berupa kain anti api maupun selimut anti api atau fire blangket yang sering digunakan untuk keperluan kostum petugas pemadam kebakaran belum dikenal luas di Indonesia, katanya, sudah pernah ada pihak yang memodifikasi penggunaan kain anti api tersebut sebagai sajadah. Kemudian dihembuskan sebagai sajadah bertuah.
Penjelasan pemilik ketika dititip, menurut David, sajadah anti api tersebut sebagai sajadah wali. Sajadah yang berwarna krem polos tak bergambar tersebut atas permintaan, didemokan oleh David. Sajadah ditirisi bensin lalu dibakar, beberapa saat terlihat hangus dilalap api. Namun setelah api mereda sajadah tetap utuh, kecuali meninggalkan sedikit warnah gosong yang lenyap saat dibilas air (lihat video: https://youtu.be/m_mNnosBZVM).
‘’Saya berterimakasih atas kepercayaan warga menitip benda seperti ini, serta benda-benda langka lainnya ke lembaga. Sekalipun tidak ada hubungan langsung dengan adat budaya Tolaki, benda-benda langka seperti itu dapat memberikan tambahan pengayaan pengetahuan tentang isi alam kita,’’ katanya.
Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki pembentukannya diusulkan 180 orang pendiri dipandang telah mewakiliaspirasi seluruh stakeholder masyarakat hukum adat Tolaki di bekas kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga dalam Raker Lembaga Adat Tolaki di Unaaha, ibukota kabupaten Konawe, 12 Maret 2014, telah menetapkan susunan organisasi dan pengurus masa bakti 2015 hingga usia kerja efektif. Juga telah menobatkan H. Nur Alam, SE,Msi (sekarang Gubernur Sulawesi Tenggara) sebagai Raja bergelar Apuno Mokole di Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki, dan permaisuriDra Hj Asnawaty Hasan, MM dengan gelar Podisi Ndorukuno Apuno Mokole.
Susunan kepengurusan dilengkapi Dewan Kerajaan, Dewan Eksekutif (Mbera Mandarano Wuta Konawe Lelenga i Mekongga), Dewan Pengurus Besar Tingkat Pusat (Mandarano Wuta Konawe Lelenga i Mekongga) dan Mahkamah Adat Kerajaan.
Dalam salah satu keputusan DPP LAT Sulawesi Tenggara tentang Deklarasi Pendirian, Pendirian dan Susunan Personalia Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki yang Pertama Kali, antara lain dinyatakan, Lembaga Kerapatan Adat Tolaki ini merupakan satu-satunya organisasi/paguyuban resmi masyarakat hukum adat Tolaki yang dapat mewakili dan atau bertindak untuk dan atas nama masyarakat hukum adat Tolaki di dalam dan di luar Negara Kesatuan RI.
Dalam salah satu pertimbangan pembentukan lembaga disebutkan, bahwa revitalisasi pranata sosial budaya, sejarah dan sosial politik ditubuh kelompok etnik Tolaki yang perlu diletakkan dalam kerangka upaya pemerintah untuk masyarakat menumbuh-kembangkan potensi kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam konteks pembangunan kebudayaan serta penguatan rasa kebangsaan.
Menariknya, dalam penyusunan Pengurus Wonua (kabupaten/kota) Dewan Pengurus Besar Tingkat Pusat Lembaga Kerapatan Adat Kerajaan Tolaki periode 2015 hingga usia kerja aktif, juga ditetapkan kepengurusan rencana pembentukan/persiapan 6 kabupaten/kota untuk menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) di provinsi Sulawesi Tenggara. Masing-masing kepengurusan untuk persiapan pembentukan kabupaten Konawe Tengah (Sampara Raya), kabupaten Konawe Timur, kabupaten Konawe Barat, kabupaten Konawe Tengah (Aopa Raya), Kota Unaaha, dan kabupaten Pakue. Wilayah-wilayah persiapan DOB tersebut berada di bekas wilayah kekuasaan kerajaan Konawe dan Mekongga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H