Pak Oga, nama dari salah satu tokoh dalam Film Si Unyil, yang kemudian menjadi julukan populer bagi orang-orang swasta yang menawarkan jasa membantu menyeberangkan pejalan kaki melintas jalan ramai atau mengatur kelancaran lalu-lintas kendaraan di jalan-jalan padat khususnya di wilayah perkotaan. Tawaran jasa Pak Oga seperti itu kini juga sudah mewarnai Kota Makassar.
[caption id="attachment_183569" align="aligncenter" width="489" caption="Salah satu Putri Pak Oga ketika beraksi di Jl. Veteran Selatan Kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa "][/caption] [caption id="attachment_183570" align="aligncenter" width="491" caption="Aksi Putri Pak Oga di Jl Veteran Selatan Kota Makassar/Ft: Mahgaji Noesa"]
Di beberapa persimpangan jalan utama di Kota Makassar yang kosong dari petugas polisi lalu-lintas saat jam-jam padat, seperti di Jl. Perintis Kemerdekaan, Jl. A.Pangeran Pettarani, Jl. Veteran dan sejumlah jalan lainnya setiap hari sudah ditongkrongi oleh banyak Pak Ogah.
Biasanya, mereka terlihat beraksi di persimpangan atau perputaran-perputaran jalan pada saat-saat kendaraan padat memenuhi jalan raya. Terutama saat jam-jam pulang kantor, siang hingga sore hari.
Pada awalnya kehadiran Pak Oga di jalan-jalan Kota Makassar diperankan oleh lelaki-lelaki dewasa. Mereka bermodalkan sempritan, mengatur kelancaran jalannya kendaraan terutama mobil-mobil pribadi yang hendak memotong jalan, menyeberang atau berputar di persimpangan-persimpangan jalan padat lalu-lintas.
Mereka berharap dari setiap pengendara mobil memberikan uang recehan. Di Kota Makassar saat ini umumnya sudah dipahami para pengemudi mobil untuk memberikan tips minimal Rp 1.000 kepada Pak Ogah yang mengatur kelancaran lalu-lintas seperti itu.
Awalnya, kehadiran Pak Ogah menawarkan jasa seperti itu tidak ada masalah. Mereka justru dianggap oleh para pengemudi mobil membantu melancarkan perjalanan terutama di saat-saat jam sibuk, sehingga memberi tips Rp 1.000 kepada Pak Ogah yang menuntun kelancaran jalannya kendaraan di jalan raya sebagai hal yang wajar.
Namun belakangan, kemudian di sejumlah jalan anak-anak berusia cilik dan remaja bermunculan memerankan diri sebagai Pak Ogah. Kehadiran mereka justru sering menambah rumit lalu-lintas, lantaran ketika beroperasi biasanya berteman 3 hingga 4 orang di suatu persimpangan. Mengetuk-ngetuk badan kendaraan yang pengemudinya tidak memberikan tips. Seperti yang setiap hari dapat dilihat di perputaran Jl Veteran dari arah Jl. Sungai Saddang. Demikian pula perputaran Jl. Veteran dari arah Jl. Monginsidi.
Beberapakali terlihat petugas Polisi Lalu-lintas menghalau Pak Oga cilik yang beroperasi di kedua perputaran jalan dua arah tersebut. Namun mereka juga selalu saja hadir di situ saat kendaraan padat dan tidak ada petugas polisi.
Dari pengakuan sejumlah Pak Ogah Cilik yang disapa di lokasi tersebut, dari siang hingga sore hari setiap anak minimal memperoleh Rp 15.000, dan bahkan ada yang mendapat tips dari pengemudi mobil sampai Rp 50-ribuan setiap hari, terhitung mulai dari siang hingga sore hari..
‘’Kalau ada petugas polisi, kita lari. Tapi, dalam satu minggu paling satu-dua hari ada polisi bertahan bertugas di sini sampai siang hingga sore hari,’’ aku salah seorang dari Pak Oga Cilik di lokasi tersebut.
Mereka umumnya berusia antara 9 hingga 13 tahun, merupakan anak-anak dari keluarga yang bermukim di sekitar bentangan Jl. Veteran, Jl. Monginsidi Baru, dan Jl. Sungai Saddang Baru. Sebagian dari mereka juga anak sekolahan, menjadi Pak Ogah Cilik sepulang sekolah. Aksi Pak Oga Cilik juga sering terlihat di sejumlah perputaran di jalan dua arah Jl. A P. Pettarani.
Dalam beberapa waktu belakang di sejumlah jalan dalam Kota Makassar pun telah muncul sejumlah remaja putri yang berperan sebagai Pak Oga. Orang-orang sekitar Jl Veteran Selatan Makassar menjuluki kehadiran remaja putri di tepi-tepi jalan seperti itu sebagai Putri Pak Oga.
Dalam perbincangan dengan Pak Oga cilik maupun remaja di sejumlah tempat di Kota Makassar, diketahui jika sebagian besar dari mereka sebelumnya sudah akrab dengan kegiatan jalanan, ngemen di sekitar lampu-lampu pengatur lalu-lintas.
‘’Saya dulu dengan teman-teman sebelum ikut atur kendaraan di jalanan, suka ngamen di lampu merah Jl. Sungai Saddang Baru. Tapi dari Walikota ada larangan anak-anak ngamen di jalanan jadi kita berhenti, karena orang tua juga takut kalau kita ditangkap,’’ tutur polos dari seorang Pak Ogah Cilik di Jl. Veteran yang mengaku bertempat tinggal di sekitar Bara-baraya.
Dalam perbincangan dengan sejumlah Pak Oga Cilik tersebut, dengan polos mereka mengakui pekerjaan yang dilakukan diketahui para orang tua mereka. Hasil jasa anak-anak mengatur lalu-lintas di jalan raya pun dinyatakan, sebagian besar dari jumlah yang diperoleh diserahkan kepada para orang tua mereka yang umumnya berprofesi sebagai buruh kasar atau pekerja serabutan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H