Pulu Mandoti, salah satu beras lokal jenis ketan wangi yang langka. Hanya dapat tumbuh di wilayah pegunungan berketinggian 700 dpl, Desa Salukanan Kecamatan Baraka, sekitar 60 km dari Kota Enrekang, ibukota Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
[caption id="attachment_174967" align="aligncenter" width="512" caption="Jual-beli hasil bumi di pasar tradisional Sudu, Kecamatan Baraka, Enrekang/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Beras ketan yang berwarna agak kemerahan tersebut juga, mungkin, termasuk beras yang harganya paling mahal dari semua jenis ketan di Indonesia. Medio April 2012 kemarin, penduduk di Dusun Gandeng, salah satu dari 5 dusun penghasil Pulu Mandoti di Desa Salukanan menjual dengan harga Rp 20.000 per liter.
[caption id="attachment_174968" align="alignleft" width="300" caption="Tampak sebagian dari sawah penduduk di antara lereng gunung Desa Salukanan/Ft: Mahaji Noesa"]
Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, menurut Jallopa (75 tahun), secara periodik sering ada orang kota datang langsung ke Dusun Gandeng, Dusun Piawan, Dusun Pambuluran, Dusun Tantido, dan Dusun Mataring sebagai penghasil Pulu Mandoti di Desa Salukanan untuk membeli Pulu Mandoti.
‘’Jika datang, mereka membeli sampai ratusan liter, katanya untuk dibawa ke Istana Negara, Jakarta,’’ jelas Jallopa yang pernah menjabat sebagai Kepala Dusun Gandeng selama lebih dari 30 tahun.
Saat itu, sebutnya, untuk mencapai dusun-dusun yang terdapat di Desa Salukanan hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki atau mengunakan kuda. Sekarang, sekalipun jalan-jalan dusun selebar 2 meter di Desa Salukanan yang berjarak sekitar 9 km dari Baraka, ibukota Kecamatan Baraka, permukaannya masih belang-belang. Maksudnya, sebagian telah dilapisi aspal, dibeton, dan sebagian masih dalam bentuk jalan tanah. Namun, kendaraan bermotor roda empat jenis mikrolet sebagai angkutan pedesaan sesekali sudah dapat mencapai dusun-dusun di Desa Salukanan yang sepanjang hari tampak lebih banyak diliputi kabut.
[caption id="attachment_174969" align="alignright" width="360" caption="Kades Salukanan, Takdir Jallopa,SP"]
Pulu Mandoti jika ditanak menyebarkan bau wangi khas dapat tercium dalam radius hingga 50 meter. Selain untuk dibuat ‘Songkolo’alias nasi ketan, banyak pedagang beras membeli untuk dijadikan beras pencampur.
‘’Satu liter Pulu Mandoti jika dicampur dengan satu karung – sekitar 40 liter beras biasa, sudah mampu membuat keseluruhan beras biasa tersebut menjadi wangi, menimbulkan selera orang untuk memakannya,’’ jelas Jallopa.
Untuk pesta-pesta hajatan maupun pesta perkawinan warga di Kabupaten Enrekang, Pulu Mandoti selalu hadir sebagai suguhan makanan terutama bagi tmu-tamu kehormatan. Biasanya setelah ditanak, Pulu Mandoti diulek dengan santan kelapa. Ketika disuguhkan untuk disantap sejak lama selalu menggunakan taburan kelapa parut.
Sedangkan di luar acara-acara pesta, suguhan masakan Pulu Mandoti terlihat lebih sering dinikmati dengan menggunakan lauk bakaran ikan kering atau gorengan ikan teri kering.
‘’Selain disuguhkan dalam bentuk Songkolo, selama ini belum pernah ada upaya untuk mengolah Pulu Mandoti menjadi tepung untuk kemudian dijadikan bahan baku pembutan kue-kue,’’ kata Kepala Desa Salukanan, Takdir (42 tahun).
Menurut Jallopa maupun Takdir (putera kedua Jallopa dari 8 bersaudara), sudah sejak lama banyak orang mengambil bibit padi Pulu Mandoti untuk ditanam atau dikembangkan di luar wilayah Desa Salukanan. Namun ternyata hasilnya tidak beraroma wangi seperti Pulu Mandoti yang ditanam di Desa Salukanan.
Percobaan penanaman seperti itu, menurut Jallopa sudah berulangkali dilakukan oleh warga Desa Tallang Ura Kecamatan Curio yang bertetangga langsung dengan Desa Salukanan, namun hasilnya juga tidak sama. ‘’Benih padi Pulu Mandoti yang di tanam di luar areal Desa Salukanan tetap tumbuh, tapi aroma dan rasanya tidak sama dengan Pulu Mandoti yang ditanam di Desa Salukanan,’’ katanya.
Padahal, sebut Takdir, sumber air untuk pengairan sawah-sawah di Desa Tallung Ura dan Desa Salukanan sama, yaitu berasal dari mata air pegunungan Kalo Tombang, Sengka, Orong, Pedallen, dan Kalo Matangon.
Tidak heran jika kemudian muncul jenis Pulu Mandoti-doti yang dalam bentuk butiran fisik berasnya seperti Pulu Mandoti dan ketika dijual di pasaran umum sering disebut sebagai Pulu Mandoti. Kepalsuannya baru tampak setelah ditanak, karena Pulu Mandoti-doti tidak memiliki aroma wangi dan rasa seperti Pulu Mandotinya dari Desa Salukanan.
Kades Salukanan yang alumni Fakultas Pertanian jurusan Teknologi Pertanian Universitas 45 Makassar tahun 1992 tersebut menduga, tanah-tanah di Desa Salukanan memiliki unsur hara yang spesifik memberikan nilai tambah dalam bentuk rasa maupun aroma terhadap berbagai jenis tumbuhan yang ditanam di atasnya.
[caption id="attachment_174971" align="aligncenter" width="448" caption="Model lumbung beras warga Desa Salukanan yang disebut Landak dibuat di lereng-lereng gunung/Ft: Mahaji Noesa"]
Selain Pulu Mandoti, dia menyebut Kopi Bunging asal Enrekang yang dikagumi sebagai salah satu jenis kopi beraroma dan berasa terbaik di dunia, juga adalah kopi-kopi yang dihasilkan dari Desa Salukanan.
‘’Namanya Kopi Bunging tapi asalnya dari Desa Salukanan. Salah satu perkebunan kopi asal Jepang, Toarko Jaya yang memperkenalkan kopi asal Salukanan tersebut dengan nama Kopi Bunging, padahal di Bungin tidak ada lahan perkebunan kopi. Ketika masih beroperasi, Toarko membuka Koperasi Buntu Badong di Desa Salukanan untuk menampung hasil kopi penduduk Desa Salukanan,’’ papar Takdir.
Ada juga jenis beras ketan putih yang dihasilkan Desa Salukanan namanya Pulu Tinjang. Rasanya lebih nyaman dibandingkan dengan jenis beras ketan putih lainnya yang beredar di pasaran umum. Harga jualnya pun saat ini mencapai Rp 11.000 per liter.
Desa Salukanan memiliki luas wilayah sekitar 17 km persegi. Sebagian besar dari sekitar 20.000 jiwa penduduknya saat ini berupaya di sektor pertanian. Selain memiliki 312 hektar ‘sawah warisan’ – sawah penduduk yang telah diolah sejak ratusan tahun, termasuk untuk pesemaian Pulu Mandoti selama ini, juga penduduk Desa Salukanan yang berada di pebukitan kaki Gunung Latimojong tersebut, mengembangkan tanaman perkebunan berupa lada, kopi, cengkeh, dan kakao. Tanah-tanah datar di antara perbukitan juga selama ini dijadikan lahan pengembangan tanaman hortikultura, berupa kol, kubis, tomat, bawang merah, dan kacang merah.
Sekalipun Pulu Mandoti harga jualnya mahal dan diminati, namun tidak semua lahan persawahan penduduk Desa Salukanan ditanami ketan yang usia tanamnya 6 bulan dan hanya sekali panen setahun.
‘’Karena itulah dalam bulan Juni sampai Agustus setiap tahun, saat tanaman padi Pulu Mandoti baru akan memasuki masa panen, seringkali harga jual Pulu Mandoti mencapai puncak lantaran stok sudah mulai habis terjual. Bulan Juni hingga Agustus tahun 2011 lalu, harga jual Pulu Mandoti mencapai Rp 24.000 per liter di Desa Salukanan,’’ jelas Takdir.
Mengenai harga jual Pulu Mandoti di luar Kabupaten Enrekang, termasuk di Kota Makassar hampir sama atau seringkali lebih rendah dari harga jual di Desa Salukanan, harap dimaklumi. ‘’Pulu Mandoti yang dijual di luar Desa Salukanan, sudah banyak yang dicampur dengan beras lain. Tidak seratus persen asli lagi,’’ jelas sejumlah penduduk yang dihubungi terpisah di Dusun Piawan dan Dusun Mataring.
Dalam hitungan Kades Salukanan, hanya ada sekitar 300 ton Pulu Mandoti yang diproduksi desanya setiap tahun. ‘’Karena umumnya sawah-sawah penduduk lebih banyak ditanami padi untuk beras konsumsi. Hanya sekitar sepertiga bagian dari sawah yang ada di Salukanan yang digunakan untuk pengembangan Pulu Mandoti,’’ katanya.
Selain Demplot alias sawah percontohan untuk penanaman Pulu Mandoti yang organik, selama ini belum pernah ada bantuan program lain dari pihak Dinas Pertanian tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi terhadap pengembangan dan pelestarian Pulu Mandoti di Desa Salukanan.
Sebenarnya, penanaman padi Pulu Mandoti awalnya dilakukan secara organik oleh masyarakat di Desa Salukanan. Nanti tahun 80-an, menurut Takdir, ketika pihak Dinas Pertanian merekomendasikan penggunaan pupuk untuk penyuburan tanaman, penduduk Desa Salukanan juga ikut menggunakan untuk pemupukan padi Pulu Mandoti. ‘’Hasil padi Pulu Mandoti yang ditanam menggunakan pupuk tetap tidak jauh beda seperti ketika tidak menggunakan pupuk, yaitu rata-rata hanya sekitar 4 ton padi setiap hektar,’’ katanya.
Sebagai beras khas Kabupaten Enrekang, saat ini pihak Dinas Perindustrian Kabupaten Enrekang sedang merancang pemasaran Pulu Mandoti ke luar daerah dilakukan dalam bentuk kemasan plastik yang berisi 1 kg, 2,5 kg, dan 5 kg.
Langkah pengemasan Pulu Mandoti tersebut, tentu saja, hanya merupakan promosi produk lokal khas daerah, karena produksi Pulu Mandoti dari Desa Salukanan saat ini masih belum mampu memenuhi permintaan pasar lokal. Terbukti, dalam waktu-waktu tertentu justru menjadi barang langka, termasuk di tempat asalnya Desa Salukanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H