[caption caption="Mantasia ketika mendorong becaknya menyusur Jl Achmad Yani, depan Balaikota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]Jika saja tidak ada dua anak usia Balita berada di atas becak, dipastikan banyak orang tidak menyangka jika penolak becaknya adalah seorang ibu. Maklum, sepanjang mendorong becak, si ibu yang berpostur tubuh padat berisi, mengenakan jacket bertudung menutup kepala dan sebagian wajahnya.
Mantasia, nama si ibu. Hampir pukul 12.00 Senin siang kemarin saya mulai mengekori dalam jarak 10-an meter ketika isteri dari Saiful Dg Serang (Iful) menolak becak dari Jalan Slamet Riadi, depan Kantor Pos Besar kota Makassar.
Becak tua yang di depannya ditutup gardus ditolak maju pelan-pelan hingga menyusur tepi Jalan Achmad Yani, depan kantor Balaikota Makassar yang terik tanpa pohon-pohon pelindung. Seterusnya, becak dibelokkan menyusur Jalan Balaikota, dan masuk ke Jl Muh Thamrin. Di  tepi trotoar jalanan ini, di teduhan sebuah pohon depan komplek SD Frater becaknya tiba-tiba dihentikan.
Rupanya, Suci (8 bulan) yang terlihat tertidur sepanjang jalan bersama kakaknya  Syahrul di atas becak, lagi kebelet. Dia diturunkan dan pipis di tepi trotoar. Syahrul tanpa komando spontan terlihat meraih sebuah botol plastik berisi air dari becak, diberikan kepada ibunya, Mantasia, untuk digunakan membilas tubuh Suci.
 [caption caption="Ngaso di depan Sekolah Frater Jl Muh Thamrim kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"]
Menurut Mantasia, putra sulungnya Sabian sudah kelas 3 di SD Jongaya, dan anak keduanya Safira kelas 2 di sekolah yang sama. ‘’Hari ini mereka bolos, mereka minta ikut membantu saya memulung,’’ katanya.
Pekerjaan memulung dengan mendorong becak seperti itu sudah lebih 10 tahun ditekuni Mantasia. Setiap hari setelah pukul 7 pagi jika cuaca cerah tak hujan dan kesehatan tidak terganggu, dia sudah harus meninggalkan kediamannya di RW 1 RT 4 kelurahan Jongaya kecamatan Tamalate. Mendorong becak menyusur puluhan kilometer jalan-jalan kota mencari plastik, kertas dan gardus bekas buangan warga. Biasanya, balik ke rumah sederhana yang dibuat di atas lahan kosong milik orang atas ijin pemiliknya, setelah pukul 3.00 sore hari.
‘’Selain pendapatan dari hasil penjualan memulung, setiap hari sering saja ada orang-orang yang memberi uang, makanan dos atau kue-kue kepada kedua anak yang ada di atas becak,’’ jelas Mantasia.
[caption caption="Anak-anak Mantasia tampak ceriah bermain di atas becak/Ft: Mahaji Noesa"]
Meskipun, sepanjang mengikuti sekitar 5 km perjalanan ibu Mantasia menolak becak memulung di tepi-tepi jalan kota Makassar hari itu, pergerakannya tak terlihat menarik perhatian seorangpun dari banyak warga yang dilintasi dengan beragam kesibukannya. Padahal, sepanjang perjalanan mendorong becak, anak bungsunya, Suci, dibaringkan menggantung di tuas belakang becaknya.
Dalam dua hari, katanya, dia bisa mendapatkan uang penjualan dari hasil memulung antara Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu. ‘’Itu sudah termasuk dengan hasil memulung yang juga dilakukan oleh bapaknya anak-anak pada malam hari di sepanjang Pantai Losari dan sekitarnya,’’ aku Mantasia.