Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Parahnya Jika Rakyat Hanya Menonton, Proyek Tak Rampung Aman-aman Saja

6 Juni 2015   16:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era demokrasi rakyat memilih sendiri pemimpinnya. Parahnya jika kemudian massa rakyat hanya mampu menjadi penonton tatkala aparat atau pemimpin mereka melakukan kesewenangan melanggar ketentuan serta aturan-aturan. Terbengkalainya penyelesaian pembangunan pelabuhan kontainer (peti kemas) Bungkutoko dan pelabuhan penyeberangan fery Amolengu – Labuang Bajo di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), dapat menjadi sebuah contoh, rakyat seolah hanya pasrah mendengar berbagai alasan aparat sehubungan dengan keterlambatan penyelesaian pembangunan maupun pemanfaatan kedua pelabuhan berbiaya ratusan miliar rupiah dari APBN tersebut.

Molornya penyelesaian pembangunan pelabuhan Bungkutoko di sisi utara pulau Bungkutoko yang berada di mulut Teluk Kendari, sudah lebih 2 tahun dari waktu yang ditargetkan. Pelabuhan dibangun sejak tahun 2009 tersebut, mulanya dipatok dapat diselesaikan dalam tahun 2012 atau dengan tempo 3 tahun kerja.

Melalui media-media parner Pemkot Kendari maupun Pemprov Sultra para aparat maupun pelaksana proyek memberikan penjelasan-penjelasan yang meyakinkan publik, bahwa pelabuhan kontainer Bungkutoko akan rampung dan sudah dapat dimanfaatkan dalam tahun 2012.

Kewajiban Pemkot Kendari maupun Pemprov Sultra mendanai pembebasan lahan  yang menjadi area pembangunan pelabuhan kontainer di pulau Bungkutoko. Percepatan kehadiran pelabuhan ini dimaksudkan guna mengatasi semrawutnya pelabuhan Nusantara dan sekitarnya di dalam Teluk Kendari akibat juga dijadikan sebagai lokasi  penumpukan peti kemas.

Tidak diperoleh rincian pasti berapa besar anggaran yang dikucurkan untuk pembebasan tanah pelabuhan kontainer Pulau Bungkutoko dari kedua pos APBD tersebut. Ada yang menyebutkan Pemkot Kendari sudah menggelontorkan lebih Rp 40 miliar, pun jumlah lebih besar telah dikeluarkan melalui APBD Provinsi Sultra. Pasalnya, sekalipun areal yang dibutuhkan untuk pelabuhan hanya sekitar 5 hektar tapi lahan yang dibebaskan sekitar 10 hektar, termasuk untuk akses jalan masuk dan pembangunan jembatan menghubungkan langsung daratan besar kota Kendari dengan pulau Bungkutoko.

Dari APBN untuk pembangunan tahap pertama tahun 2019 dikucur dana sebesar Rp 25 miliar. Tahap kedua tahun 2010 Rp 20 miliar, tahap ketiga tahun 2011 Rp 38 miliar. Tahap keempat tahun 2012 yang dipatok sebagai tahun penyelesaiaan, pemerintah pusat menggelontorkan  dana Rp 30 miliar meski kenyataannya masih banyak fasiltas pelabuhan yang belum dapat dirampungkan. Maka tahun 2013 pemerintah pusat melalui APBN kembali mengalokasikan dana Rp 65 miliar untuk penyelesaian pelabuhan kontainer Bungkutoko.

Namun hingga akhir 2013 anggaran habis, pembuatan lapangan penumpukan peti kemas seluas lebih dari 3 hektar belum tuntas dikerjakan. Bahkan lahan penumpukan sekitar 1 ha di arah timur masih berupa tanah timbunan belum matang.

Sepanjang tahun 2014 tak ada lagi  guyuran dana, hingga memasuki awal Juni 2015 tak terlihat ada kegiatan pembangunan lanjutan di kawasan pelabuhan kontainer Bungkutoko. Selama sekitar setahun tak terdapat kegiatan pekerjaan fisik, sepi, dan areal pelabuhan mulai ditumbuhi belukar, toh…tak ada yang mengusik. Rakyat tak ada yang peduli kapan pelabuhan tersebut dapat rampung dan difungsikan. Pengawas pengguna uang Negara dari pusat maupun daerah, para wakil rakyat atau organ-organ yang mengatasnamakan pejuang hak dan kepentingan rakyat,  termasuk media-media lokal semua seolah menjadi bagian dari pelaksana proyek sehingga kehilangan fungsi sosial kontrol terhadap proyek pembangunan pelabuhan kontainer Bungkutoko yang sepertinya sudah kehilangan batas waktu atau seenak perut pelaksana untuk dirampungkan.

Bulan kemarin berhembus informasi ke publik kota Kendari bahwa Pemprov Sultra menyetujui pengalihan status pelabuhan kontainer Bungkutoko yang masih belum rampung tersebut menjadi pelabuhan kapal PT Pelni untuk kapal-kapal penumpang dan barang pelayaran nusantara. Rencananya, dermaga yang ada sekarang akan ditambah lagi sepanjang lebih 1.000 meter.

Sedangkan untuk pelabuhan peti kemas akan digeser ke arah timur pulau Bungkutoko. Pembangunan pelabuhan kontainer yang baru dengan dermaga sepanjang 800 meter rencananya akan dilakukan oleh PT Pelindo IV dengan anggaran lebih Rp 900 miliar. Proyek tersebut disebut-sebut merupakan bagian dari rencana PT Pelindo IV menginvestasi pembangunan infrastruktur perhubungan laut sebanyak Rp 2 triliun di kawasan timur Indonesia.

Semua data kelayakan teknis sudah dianggap memenuhi syarat sehingga pembangunan pelabuhan kontainer yang lebih modern di arah timur pulau Bungkutoko memungkinkan dimulai tahun 2015, dan ditargetkan dapat rampung tahun 2018. Artinya, jika informasi rencana pembangunan pelabuhan baru tersebut yang disebar melalui media-media parner Pemkot Kendari dan Pemprov Sultra dapat diwujudkan sesuai jadwal perencanaannya, maka kemungkinan 2 hingga 3 tahun ke depan pelabuhan kontainer yang dibangun sejak tahun 2009 di utara pulau Bungkutoko yang akan dialihkan sebagai pelabuhan PT Pelni juga belum dapat difungsikan.

Anehnya, saat informasi pengubahan fungsi pelabuhan kontainer Bungkutoko lagi hangat dibincangkan warga, beredar kabar dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika kota Kendari bahwa tahun 2015 ini tersedia dana APBN sebesar Rp 37 miliar untuk penyelesaian pelabuhan kontainer di arah utara Pulau Bungkutoko. Dana tambahan itu Rp 11 miliar akan digunakan untuk pembangunan serta perbaikan drainase pelabuhan dan selebihnya untuk kelengkapan sarana pelabuhan. Tumpang tindih rencana dan anggaran pembangunan pelabuhan di pulau Bungkutoko, mengapa bisa terjadi?

Tidak adanya kekuatan dan kepedulian terhadap kontrol rakyat, bisa jadi, itu juga yang membuat pihak pelaksana proyek pembangunan pelabuhan penyeberangan feri lintasan Amolengu (kabupaten Konawe Selatan) – Labuang Bajo (kabupaten Buton Utara) terlihat santai-santai saja. Mereka seolah tak ada yang mengusik dan tak terdesak waktu kapan saja untuk menyelesaikan proyek yang terletak sekitar 103 km di ujung tenggara poros Kendari - Moramo – Kolono Timur.

Pembangunan pelabuhan penyeberangan feri Amolengo – Labuang Bajo dimulai tahun 2012, entah apa sebabnya hingga saat ini belum juga dapat dioperasikan. Padahal dalam kontrak pelaksanaannya sudah harus rampung di bulan Nopember 2014. Dari observasi lapangan terlihat hingga awal Juni 2015 kondisi dermaga feri khususnya di Amolengo Desa Langgapulu kecamatan Kolono Timur, kabupaten Konawe Selatan, pelataran terminal dan jalanan dari terminal ke dermaga belum rampung, masih dalam kondisi timbunan bebatuan.

Bahkan tidak ada tanda-tanda pembangunan koridor layaknya sebuah dermaga feri menghubungkan terminal dengan dermaga sepanjang sekitar 300 meter, sehingga dipastikan jika musim kemarau penumpang yang naik turun feri akan kepanasan dan akan terguyur basah di musim hujan. Tahun 2014 kemarin khusus untuk penyelesaian dermaga feri di Amolengu, pemerintah pusat mengguyurkan dana tahap ketiga dari APBN sebesar Rp 24,6 miliar.

Musabab kelambatan penyelesaiaan pembangunan serta pengoperasian pelabuhan feri Amolengo – Labuang Bajo ini sepi dari publikasi di media-media lokal maupun media parner Pemprov Sultra.  Warga pesisir Kolono Timur mendapat informasi, lantai dermaga feri yang dibangun di Labuang Bajo pesisir Buton Utara sebagai pasangan dermaga feri Amolengu (Konawe Selatan) jebol sehingga memerlukan waktu untuk perbaikan. 

Simpang siur informasi terhadap kelambatan penyelesaian dan pengoperasian kedua pembangunan pelabuhan yang didanai ratusan miliar dari APBN tersebut, pun sampai sekarang terlihat aman-aman saja dari sorotan pihak-pihak pengawas pengguna keuangan Negara. Padahal, nyata sekali kedua proyek pembangunan pelabuhan tersebut belum rampung, terlambat, molor jauh dari target penyelesaiannya. Blurrr, blurrrrrrr……..debur lamat-lamat ombak di ujung dermaga feri Amolengu yang belum berfungsi.   

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun