Kampanye kegunaan kondom sebagai salah satu jenis kontrasepsi pencegah terjadinya kehamilan dalam program Keluarga Berencana (KB), rasanya sah-sah saja. Demikian halnya pemanfaatan penggunaan sarung karet tipis tersebut terhadap pencegahan bahaya penularan AIDS/HIV. Namun meluasnya perilaku seks bebas khususnya di kalangan remaja, tidak ditentukan ada atau tidak adanya pemasyarakatan kondom.
[caption id="attachment_188092" align="alignright" width="280" caption="Ilustrasi/Ft:banjarmasin.tribunnews.com - google"][/caption]
Melihat kenyataan kehidupan di hampir semua tempat di Indonesia saat ini, bukan tidak mungkin seks bebas khususnya di kalangan remaja telah menjadi peristiwa besar melanda negeri namun tidak dilaporkan para pelaku maupun korbannya.
Data yang dipaparkan kompasianer Faridz Muadz Basakran melalui tulisannya ‘Nafsiah Mboi, Politik Kondom dan Seks Bebas’ (Kompasiana, 16 Juli 2012), dalam tahun 2007 lalu saja berdasarkan hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) sudah terdapat sebanyak 34,7 persen remaja putri dan 30,9 persen remaja putra di Indonesia telah melakukan hubungan seks.
Kondisi keambrukan moral remaja lima tahun lalu tersebut, terjadi saat channel konten-konten porno belum terbuka dan membanjir sedahsyat sekarang khususnya di kalangan para remaja. Kompasianer Edi Kusumawati melalui postingan ‘Anakku Mengoleksi Video Porno di Ponselnya’ (15 Juli 2012) memberikan sample. Seorang ibu mengaku menemukan langsung koleksi video porno di ponsel anaknya yang baru berusia sekolah lanjutan pertama. Dahsyat gak…….
Saat ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi, sulit untuk membendung masuknya konten-konten porno melalui jaringan media internet. Artinya, anak-anak/remaja di Indonesia sekarang sulit untuk dihalangi tidak melihat konten-konten porno dalam bentuk teks maupunaudio-visual yang banyak tersedia, gampang serta bebas diakses di dunia maya.
Cerita seks tanpa gambar saja rangsangannya sudah begitu tinggi terhadap pembaca atau pendengarnya. Apatah jika pesona dan kenikmatan hubungan seks tersebut berulangkali disaksikan melalui suguhan teknologi audio-visual.
Apakah libido remaja yang telah dicekoki beragam gambaran nikmatnya permainan seks dapat dijamin aman, tidak terangsang untuk kemudian melakukan hubungan seks jika mereka mendapat kebebasan berdekap-dekapan atau saling berduaan dengan lawan jenis atau pacar-pacarnya?
Pertanyaan ekstrim seperti itu patut dikemukakan, mengingat gambaran kondisi kebebasan sebagian besar remaja di Indonesia sekarang, dimana-mana umumnya terlihat telah mendapat kebebasan serupa itu.
Dalam perjalanan ke suatu tempat wisata, hari Minggu kemarin, saya beriring searah jalan dengan lima sepeda motor yang masing-masing ditumpangi pasangan remaja putra-putri setingkat SMA. Mereka tampak begitu ceria, begitu bebas.
Di antaranya, terlihat dua remaja putri, masing-masing dengan gaya hampir mirip melingkarkan tangan ke leher teman pria yang memboncengnya. Dua remaja putri lainnya terlihat mendekap rapat sambil kedua tangannya mengalut ke selangkangan di antara kedua paha rekan pria yang memboncengnya. Satunya lagi hanya merapatkan tubuh sambil melingkarkan kedua tangan seolah mengikat perut rekan pria yang memboncengnya. Duh……
Saya hanya dapat beriring sekitar 10 km dari sepanjang 40 km perjalanan menuju tempat rekreasi dengan lima pasang remaja yang mengendarai sepeda motor berkecepatan di atas 50 km/jam.
Setiba di lokasi tempat wisata, ke lima pasang remaja tersebut terlihat silih berganti keluar masuk sebuah kamar peristrahatan sewaan.
Dengan pemberian kebebasan para pasangan remaja berlainan jenis untuk saling berciuman, merangkul dan berdekapan, semua orang dewasa pasti paham. Libido dalam usia remaja mudah menyala. Sulit menjamin, jika kemudian ada peluang mereka saling berduaan lantas tidak melakukan hubungan seks. Apalagi terhadap remaja-remaja yang sebelumnya sudah pernah dan bahkan berulangkali melalap pesona dan gambaran betapa nikmatnya hubungan seks melalui konten film atau video-video porno.
Lantas, dimana kondomnya? Jawaban pastinya, saat-saat sekarang ini apapun argumennya, para orang tua harus punya ketegasan, dapat menanamkan pemahaman dan kesadaran moral -- jika tak mau disebut mengharamkan, dalam jiwa setiap putra maupun putrinya untuk tidak saling bergandengan, berpelukan, berdekapan, berciuman, atau saling berduaan dengan teman lawan jenis, apalagi dengan pacarnya, jika tak ingin anak-anaknya masuk golongan penikmat seks sebelum nikah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H