Reklamasi pantai di arah barat Benteng Ujungpandang yang kini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar dinilai merusak situs cagar budaya dari benteng peninggalan Kerajaan Gowa yang belakangan lebih dipopulerkan dengan sebutan Benteng Fort Rotterdam. Nama yang diberikan pada masa kolonial ketika admiral Speelman merampas benteng ini. [caption id="attachment_89803" align="alignright" width="391" caption="Peta zoning Benteng Ujungpandang Abad XVII di Buku Andaya/Repro"][/caption]
Kegiatan penimbunan pantai di bagian barat Benteng Ujungpandang tersebut, sebagaimana dijelaskan berulangkali oleh Walikota Makassar adalah untuk menata kawasan pesisir pantai agar lebih indah. Termasuk dikandung maksud merapihkan kegiatan para pedagang kaki lima yang selama ini menjadikan lokasi itu, terutama pada sore dan malam hari sebagai tempat berjualan berbagai macam kuliner. Namun sejumlah arkeolog, termasuk pihak kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Kota Makassar memprotes keras kegiatan penimbunan pantai tersebut. Dengan alasan, antara lain, lokasi pantai yang ditimbun merupakan bagian dari situs Benteng Ujungpandang. Protes dilancarkan juga dikaitkan dengan upaya Pemerintah Provinsi Sulsel yang sejak tahun lalu sudah mulai melakukan kegiatan revitalisasi terhadap sejumlah bangunan dalam Benteng Ujungpandang dengan biaya dari APBN sekitar Rp 10 miliar. Rencananya, revitalisasi Benteng Ujungpandang akan dilanjutkan untuk mengembalikan zonasi benteng tersebut sebagaimana kondisinya pada masa lalu, dengan menggunakan bantuan dana dari Pemerintah Belanda. Termasuk ada rencana untuk membuat kanal yang pernah ada dari laut mengelilingi Benteng Ujungpandang, tapi kini semua sudah berubah menjadi daratan yang dipenuhi bangunan-bangunan permanen. Melalui buku karya Leonard Y. Andaya berjudul The Heritage of Arung Palakka, A History of South Sulawesi (Celebes) in The Seventeenth Century, yang diterbitkan oleh The Hague - Martinus Nijhoff, Leiden, The Netherlands tahun 1981, dapat dilihat bagaimana sesungguhnya zonasi dan situs Benteng Ujungpandang pada abad 17, ketika sudah dalam penguasaan pemerintahan kolonial Belanda. Di pantai bagian barat benteng yang kini sedang dilakukan kegiatan penimbunan oleh Pemkot Makassar, merupakan bagian belakang dari benteng yang menyerupai seekor penyu merangkak dari arah pantai. Di lokasi penimbunan ini pada abad XVII merupakan tempat pembuatan perahu, gudang kapur, gudang batu bara, tempat tukang besi, gudang kereta senjata, dan sebuah tempat untuk pasukan arteleri. Saat ini, di lokasi tersebut sudah menjadi jalan poros kota (Jl.Ujungpandang), sudah tegak kokoh sejumlah bangunan permanen berupa perkantoran, Ruko, perguruan tinggi, Rumah Bernyanyi, dan Restoran 'Kampoeng Popsa'. Satu-satunya view laut terbuka dengan bagian barat benteng ini adalah yang sedang ditimbun untuk penataan lebih baik hingga ke batas Kantor Polres Pelabuhan Makassar. Muara drainase Kota Makassar yang terletak antara Kantor Polres Pelabuhan Makassar dengan Zona Resto sekarang, dalam peta abad XVII itulah yang merupakan mulut kanal dari laut masuk mengelilingi dinding benteng sebelah selatan, berputar ke timur dan dinding di arah utara. Banyak pihak menyebut penimbunan pantai di bagian barat Benteng Ujungpandang merupakan bagian dari rencana pembangunan sebuah hotel. Namun, pihak Pemkot Makassar pun sudah berulangkali menyatakan menjamin tak ada pembangunan hotel di tempat itu selain penataan agar kondisi pantai lebih rapih. Namun begitu, selain protes dari para pegiat arkeolog dan pihak BP3 Makassar, kegiatan penimbunan itu sudah mulai disoal oleh pihak Pemprov Sulsel dan kalangan legislatif di Kota Makassar. Bahkan sudah ada pula yang melontarkan komentar jika kegiatan penimbunan tersebut merusak jejak peninggalan sejarah. Heboh mengenai penimbunan pantai melanggar situs di bagian barat Benteng Ujungpandang ini, mengingatkan ketika dilakukan revitalisasi terhadap Lapangan Karebosi yang kini sudah menjadi land mark baru Kota Makassar. Lapangan bekas persawahan pada masa Kerajaan Gowa-Tallo itu telah berubah memadukan eksistensinya tetap sebagai lapangan olah raga berpadu pusat perbelanjaan modern bawah tanah. Berikut ketika direncanakan pembangunan wahana rekreasi dan wisata, termasuk pembangunan water boom di areal sekitar Benteng Somba Opu yang dinilai melanggar situs. Menimbulkan polemik panjang soal situs di Benteng Somba Opu. Mengherankan banyak pihak, situs-situs benda cagar budaya di Kota Makassar yang merupakan wilayah Kerajaan Gowa-Tallo dahulu, baru mencuat ketika disekitarnya ada kegiatan yang akan dilakukan dengan menggunakan uang yang bernilai tidak kecil. Bahkan kegiatan zonasi benda cagar budaya justru baru dilakukan pada saat sudah dimulai kegiatan pengembangan atau penataan kota. Penetapan zonasi situs di Benteng Somba Opu, misalnya, baru dilakukan ketika tahun ini ada rencana pengembangan wahana rekreasi dan wisata di tempat tersebut. Padahal, pihak arkeolog pun sudah ikut terlibat menangani ketika dilakukan eskavasi terhadap sisa puing Benteng Somba Opu ini tahun 1985 setelah tertimbun lebih dari tiga abad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H