Malam akhir tahun, 31 Desember, Kota Baubau mencekam. Betapa tidak, sebagian darisekitar 20.000 pasukan perang terlatih bersenjatakan tombak, kelewang, parang, badik, dan panah-panah beracun bertebaran di daratan Baubau. Selebihnya, siap siaga di atas sekitar 700 armada perahu yang seolah memagar pesisir pantai Baubau dan sekitarnya.
Informasi ini baru saja saya dapatkan ketika mencoba membaca sejumlah catatan untuk mencari tahu, sejak kapan sesungguhnya orang-orang di Indonesia mulai merayakan malam pergantian tahun dengan bersuka-ria meniup terompet dan membakar kembang api.
Ketika membuka file-file peristiwa berkaitan tanggal 31 Desember dan 1 Januari, justru yang mencuat informasi suasana mencekam Baubau di malam pergantian tahun. Akan tetapi, suasana mencekam tersebut terjadi pada malam pergantian tahun, 31 Desember 1666 atau 344 tahun lalu. Bukan malam ini.
Justru menurut informasi yang baru saja saya dapatkan melalui kontak langsung dari sejumlah rekan di Kota Baubau, bahwa begitu matahari terbenam, 31 Desember 2010, Kota Baubau tampak semarak. Warga kota yang pernah menjadi ibukota Kabupaten Buton ketika wilayahnya masih meliputi seluruh Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, dan sebagian wilayah Kabupaten Bombana di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) ini, juga terlihat larut dalam nuansa ria seperti di kota-kota lainnya untuk menyambut pergantian tahun 2010-2011 tepat pukul‘zero-zero’wita malam ini.
Bibir pantai Kota Baubau yang berhadapan langsung dengan Laut Banda tersebut sejak sore hari sudah jadi sasaran relaksasi warga untuk menyambut detik-detik pergantian tahun 2010 ke 2011. Menurut informasi rekan fb. Naisya Wa Ode, ada tiga pelataran yang jadi pusat warga berhimpun menyambut pergantian tahun 2010 ke 2011di Kota Baubau, yakni Pantai Kamali, Bukit Kolema, dan Palagimata – pelataran Kantor Walikota Baubau. Namun, massa diperkirakan seperti tahun-tahun sebelumnya akan tumplek-ria di Pantai Kamali.
Malam akhir tahun, 31 Desember 1666, menurut informasi dari buku ‘Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah’ yang ditulis sejarawan Prof.Dr.Mattulada (alm), dan diterbitkan pertamakali oleh Departemen Ilmu-ilmu Kemasyarakatan Fisbud, Universitas Hasanuddin, tahun 1978, Kota Baubau yang merupakan ibukota Kesultanan Buton kala itu benar-benar dalam suasana sangat mencekam.
Pasalnya, pada malam jelang pergantian tahun 1666 ke 1667beredar informasi bahwa armada Belanda yang dilengkapi persejataan meriam berkaliber besar dipimpin Cornelis Janszoon Speelman dari Makassar sudah mendekat dan akan menyerang Kota Baubau.
Kabar yang mendadak diterima tersebut tak hanya menyiutkan nyali wraga Kota Baubau yang sejak dua bulan sebelumnya diperangi sekitar 20.000 prajurit perang terpilih dari Kerajaan Gowa. Tapi informasi itu, juga membuyarkan konsentrasi pasukan perang yang dipimpin Laksamana Karaeng Bontomarannu, dibantu Laksamana Muda Datu Luwu Settiaraja Alimuddin dan Sultan Bima, yang masih tinggal menyisir untuk menawan sisa prajurit asal Bone dan Soppeng, pengikut Aru Palakka.
Bangsawan Bone La Tenritta To Erung yang lebih dikenal dengan nama Arupallaka datang bersama Aru Bila, Datu Pattojo dan Arung Appanang disertai sekitar 400 pasukannya meminta perlindungan ke Kesultanan Buton tahun 1660. Ketika itu Kesultanan Buton dipimpin Sultan La Awu (1654-1664). Ia dikejar oleh pasukan perang Kerajaan Gowa lantaran melakukan pemberontakan, tak menerima penindasan tak manusiawi yang dilakukan pihak Kerajaan Gowa terhadap rakyat Kerajaan Bone yang takluk diperangi Kerajaan Gowa.
Sebenarnya, sejak periode Raja Gowa ke-11, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta berkuasa (1565-1575), Buton dan sejumlah kawasan lain di timur nusantara dianggap bagian dari wilayah kekuasaan niaga Kerajaan Gowa.
Namun dalam periode Raja Gowa ke-16, I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bontomangape, Sultan Hasanuddin, Tumnenaga ri Balla’pangkana (1653-1669), pihak Belanda berhasil memerangi dan menduduki Buton. Lalu, April 1655, Sultan Hasanuddin memimpin langsung armada Kerajaan Gowa menyerang pendudukan Belanda di Buton.
Akan tetapi perjanjian yang kemudian dibuat antara Raja Gowa dengan pihak Belanda 1 Desember 1656 menyatakan, antara lain, bahwa Makassar tidak boleh campur tangan dalam soal Buton, Manado, Maluku termasuk dan Ambon dan Banda. Sebelumnya, sebenarnya Belanda pada tahun 1605 – 1607 telah memerangi Maluku (Ambon, Ternate dan Banda) yang merupakan daerah kekuasaan niaga Kerajaan Gowa. Buton kembali dalam kekuasaan Belanda.
Ketegangan yang meliputi seputar Kota Baubau dan sekitarnya pada 31 Desember 1667 malam, akhirnya mencapai puncaknya pada 1 Januari 1667. Armada Speelman tiba di perairan Selat Buton, menggempur pasukan Kerajaan Gowa yang ada di daratan Baubau dan sekitarnya. Pasukan Kerajaan Gowa mengalami kekalahan, lantaran pasukan prajurit Bone dan Soppeng yang baru saja bergabung ke pasukan Gowa membelot, menyerang pasukan Gowa setelah mengetahui Speelman saat itu bersama Aru Palakka ke Buton. Kala itu Kesultanan Buton dipimpin La Sumbata (1664-1669).
Sebuah pulau kecil yang pernah dijadikan sebagai tempat tawanan prajurit Kerajaan Gowa oleh Speelman di Selat Buton, kini masih bernama Pulau Makassar.Pulau yang berjarak sekitar 2 km depan Pelabuhan Murhum Kota Baubau tersebut masuk dalam wilayah Kecamatan Kalokuna.
Ungkapan sejarah ini menyiratkan, bahwa wilayah Buton di kawasan timur Indonesia dari masa ke masa, sejak Kerajaan Majapahit sebenarnya potensi dan manusianya sudah diperhitungkan, bahkan diperebutkan oleh kekuasaan-kekuasaan besar. Spirit kebesaran masa lalu perlu jadi renungan untuk membangun kejayaan dan masyarakat Buton saat ini yang wilayahnya telah dimekarkan menjadi beberapa kabupaten/kota.
Selamat Memasuki Tahun Baru, 1 Januari 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H