Negeri kita punya banyak jenis minuman tradisional berasal langsung dari sari tanaman maupun yang diolah dari berbagai jenis buah-buahan. Minuman dari air sari pohon Aren (Enau) atau pohon Lontar, misalnya. Sejak lama dikenal menjadi minuman segar yang diperjualbelikan untuk konsumsi umum di sejumlah wilayah di provinsi Sulawesi Selatan.
Namun selama ini minuman dari sari atau nira pohon Aren dan pohon Lontar lebih dikenal sebagai minuman Tuak, minuman yang memabukkan. Padahal sejatinya nira dari pohon Aren atau pohon Lontar tersebut berasa segar manis alami khas tumbuhan jenis Palm.
Dari perbincangan dengan banyak Pasari atau pengolah nira pohon Aren dan pohon Lontar di Sulawesi Selatan, umumnya mengakui nira Aren dan Lontar tidak memabukkan. Justeru 'macanning na mappatojo' Â Kelakar Ambe Sani (50), seorang lelaki pasari dalam bahasa Enrekang, yang maksudnya menjelaskan bahwa nira Aren itu berasa manis dan bikin tokcer.
Ada maningo-ningo na tongang. Artinya, "Ceritanya main-main tapi benar!" Kata Ambe Sani kemudian terkekeh. ''Bukan cuma cerita tapi kita sudah lama merasakannya,'' tandasnya.
Dia mengaku sejak kecil sudah sering mengikuti ayahnya mengolah nira Aren di kaki-kaki bukit sekitar kawasan Gunung Bambapuang kecamatan Anggeraja kabupaten Enrekang. Dia paham mengenali mayang pohon Aren yang sudah matang, untuk kemudian diketuk-ketuk selama beberapa hari. Lantas ujungnya dipotong.
Nira Aren yang menetes keluar dari ujung mayang ditampung menggunakan tabung-tabung bambu. Setiap pagi dan sore hari tabung-tabung bambu itu diperiksa, diambil isinya, bila perlu diganti tabungnya.
Nira dari sejumlah pohon Aren itulah yang ditampung kemudian seharian dimasak untuk dipadatkan dicetak menjadi gula merah atau gula aren. Disebut gulah merah lantaran warnanya yang merah.Â
Hingga tahun 80-an masyarakat di Sulawesi Selatan mengenal kabupaten Enrekang sebagai penghasil gula Aren berkualitas. Produksi gula Arennya berbentuk bulat bola terbelah dua, lantaran dicetak menggunakan belahan batok kelapa kering yang sama besarnya.
Ada juga gula Aren Maroanging, kecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang yang berbentuk segi empat seperti model batu bata. Dibungkus menggunakan daun jati.
Hingga kini belum pernah ada penjelasan dari Pemkab Enrekang, mengapa produksi gula Aren dari Bumi Massenrempulu (julukan kabupaten Enrekang) itu kini justeru tidak berkembang. Bahkan terbilang mundur, tak lagi menjadi brand kabupaten Enrekang. Â Tidak seperti Dangkenya, produk rakyat Enrekang dari susu kerbau yang kini berkembang dengan varian baru berupa Keripik Dangke.
Pastinya, menurut Ambe Sani, nira pohon Aren sejak dulu warga Massenrempulu lebih banyak mengolahnya untuk menjadi bahan pembuatan gula Aren. Kemungkinan lebih menguntungkan dibanding nira itu dijual sebagai minuman segar.Â