Setiap sore hari apabila udara cerah, benteng Ujungpandang yang populer dengan nama benteng Fort Rotterdam kini menjadi salah satu obyek rekreasi idola kunjungan terutama kalangan muda di kota Makassar.
Selain mengamati bangunan-bangunan tua bersejarah di areal seluas lebih 3 hektar dalam benteng peninggalan Kerajaan Gowa yang dibangun abad XVI tersebut, ratusan generasi muda tampak menjadikan dinding benteng sebelah barat sebagai lokasi kongkow menikmati keindahan perguliran matahari senja
di laut Selat Makassar setiap sore hari.
Benteng yang berbentuk trapesium dengan denah dinding menyerupai kura-kura raksasa merayap ke laut, menjadi alternatif untuk menikmati keindahan sunset selain di Pantai Losari kota Makassar.
Lokasi benteng Fort Rotterdam sebenarnya memang masih merupakan bagian dari garis Pantai Losari di arah utara.
Semarak Fort Rotterdam juga terlihat setiap sore hingga malam hari di luar dinding benteng bagian selatan. Sebuah taman indah dilengkapi kanal sebagai bagian dari hasil revitalisasi zonasi Fort Rotterdam selalu dipadati pengunjung termasuk dari kalangan anggota keluarga.
Paling menarik, di sepanjang trotoar taman Patung Sultan Hasanuddin yang berhimpit dinding benteng sebelah barat. Di situ setiap hari  jika cuaca cerah mulai pukul 3 sore hingga larut malam ratusan kursi para penjual makanan khas 'pisang epe' maupun milik penjual kelapa muda seolah tak mampu menampung pengunjung yang datang silih berganti.
Panorama pantai dengan semilir angin laut sembari menyaksikan hiruk-pikuk kesibukan lalu-lintas kota metro Makassar, membuat hampir semua pengunjung terlihat betah berlama-lama santai di sepanjang taman bagian barat Fort Rotterdam. Apalagi di seberang taman juga ada cafe dan resto 'Kampoeng Popsa' yang menyediakan berbagai kuliner modern dan khas Makassar.
Memasuki bulan Ramadhan, lokasi kanan-kiri sepanjang trotoar di Jl Ujungpandang di luar dinding benteng bagian barat, dipastikan akan lebih meriah menjadi tempat berbuka puasa maupun lokasi bersahur.
Tanda-tandanya sudah terlihat dengan telah didirikannya saat ini beragam tenda atau lapak-lapak penjualan untuk berbagai jenis kuliner (makanan dan minuman) oleh pedagang Kaki-5 maupun pihak sponsor dari
berbagai perusahaan.
Benteng Fort Rotterdam pascarevitalisasi tahun 2010-2012, secara fisik terlihat lebih cerah. Penataan taman dan lingkungan dalam komplek, pemeliharaan serta pemanfaatan bangunan-bangunan di dalamnya membuat setiap pengunjung dapat lebih mengapresiasi jejak keagungan kehidupan dan sejarah masa lalu.
Benteng ini asli buatan nenek moyang bangsa Indonesia. Dibangun saat Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna (1510-1546) berkuasa. Merupakan satu-satunya dari 12 benteng Kerajaan Gowa yang tersisa tidak dihancurkan pihak kompeni Belanda.
Benteng ini juga sering disebut dengan nama Benteng Pannyua (Bhs.Makassar, berarti Benteng Penyu) karena desain dinding dibuat menyerupai kura-kura atau penyu yang merayap.
Ketika pemimpin kompeni Admiral Cornelis Jansen Speelman menguasai Benteng Ujungpandang tahun 1667, namanya kemudian diubah menjadi Benteng Fort Rotterdam.
Dinding benteng terbuat dari susunan puluhan ribu batu-batuan alam (andesit) berbentuk persegi panjang
dengan ukuran bervariasi. Terbesar berukuran 62 X 24 cm tebal 20 cm, dan terkecil 44 X 21 cm tebal 10 cm.
Para pengunjung saat ini dapat melihat langsung bagaimana tingginya ketinggian olah pikir nenek moyang bangsa Indonesia, sejak 500 tahun lalu telah mampu menerapkan teori konstruksi susunan batu saling mengikat di dinding benteng Fort Rotterdam ketika belum dikenal bahan perekat berupa semen.
Ketebalan dinding benteng bervariasi 2 hingga 3 meter. Sedangkan tinggi dinding benteng dahulu diperkirakan bervariasi 7 hingga 10 meter. Namun yang terlihat saat ini ketinggiannya sisa 3 sampai 6 meter. Diperkirakan sebagian dari dinding benteng telah tertanam akibat peninggian mengikuti perubahan
struktur tanah sekitarnya selama 5 abad.
Bukti terjadinya peninggian dasar lokasi benteng Fort Rotterdam dapat diamati melalui bangunan-bangunan bergaya Eropa (Neo Gothik) di dalam komplek benteng. Ciri Neo Gothik, antara lain terlihat dari bentuk fisik bangunan yang dibuat dengan ukuran pintu maupun jendela lebih besar dan tinggi 4 sampai 5 kali dari ukuran tinggi penghuninya. Sedangkan bangunan-bangunan yang ada di dalam benteng Fort Rotterdam sekarang, ukuran tinggi pintu-pintu maupun jendelanya terlihat tak lebih dari ukuran normal pintu dan jendela ala orang Indonesia. Bahkan untuk pintu masuk di bangunan bastion Mandarsyah di pojok
utara-timur benteng ukuran tingginya kini sisa sekitar setengah meter, sehingga untuk masuk orang harus membongkok.
Panjang dinding benteng Fort Rotterdam di utara 152 meter, sebelah timur 204 meter, di selatan 165 meter, dan dinding sebelah barat sepanjang 225 meter sebagian besar masih dalam keadaan utuh. Dinding benteng Fort Rotterdam inilah yang tersisa sebagai karya asli nenek moyang bangsa Indonesia. Sedangkan bangunan-bangunan bergaya Eropa didalamnya dibangun kemudian oleh pihak kompeni Belanda menggantikan bangunan-bangunan berkonstruksi rumah tradisional Makassar ketika mereka menguasai
benteng tersebut.
Sepanjang dinding benteng terdapat semacam parit perlindungan. Terdapat dua terowongan rahasia yang masih dapat disaksikan sampai sekarang, menghubungkan halaman dalam benteng untuk naik ke undakan
parit pertahanan di balik dinding bagian dalam benteng. Masing-masing, terowongan di dekat bastion Amboina dan terowongan di bagian tengah dinding bagian timur.
Masih ada sebuah terowongan sebagai jalan rahasia di dinding timur benteng. Terowongan yang didisain pintu masuknya tersamar seolah menyatu dengan dinding bangunan tersebut, awalnya sebagai jalan masuk
dan keluar ke pintu utama. Akan tetapi mulut terowongan jalan tembus tersebut kini ditutup lantaran di bagian luar dinding timur kini masih terhempang puluhan pemukiman warga.
Satu-satunya pintu masuk dan keluar benteng Fort Rotterdam saat ini melalui pintu di bagian barat yang dahulu merupakan pintu belakang benteng yang berbatasan langsung dengan laut.
Bangunan-bangunan tua di Fort Rotterdam kini sebagian besar dimanfaatkan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Dua bangunan dijadikan Museum La Galigo. Sebuah bangunan di sekitar bastion Buton dimanfaatkan oleh Dewan Kesenian Makassar. Sejumlah bangunan lainnya dipakai sebagai galeri para seniman di Makassar.
Sebuah bangunan di sekitar bastion Bacan bekas ruang tinggal pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro ketika ditawan Belanda hingga tewas.
Benteng Fort Rotterdam terbuka setiap hari untuk umum. Termasuk salah satu obyek wisata sejarah dan tempat rekreasi murah meriah di kota Makassar.Tidak ada pungutan untuk masuk ke benteng yang terbuka dikunjungi sekalipun di hari-hari libur. Kecuali untuk melihat isi museum La Galigo di dalam komplek benteng, setiap pengunjung dikenakan retribusi wisata Rp 5.000, dan Rp 10.000 untuk setiap wisatawan mancanegara yang akan masuk museum tersebut.
Belakangan ini berbagai kegiatan seni dan budaya, maupun kegiatan promosi produk nyaris tak pernah sepi digelar memanfaatkan lokasi di dalam maupun di luar benteng Fort Rotterdam.
Yuk......ke Fort Rotterdam!
Ctt: foto-foto sukar ter-uplod
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H