[caption id="attachment_187958" align="aligncenter" width="480" caption="Luwak di Malino, Sulawesi selatan/Ft: Mahaji Noesa "][/caption]
Terletak di ketinggian sekitar 700 dpl, Kota Malino di Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, sejak masa pendudukan Belanda sudah dikenal sebagai tempat wisata berhawa sejuk dengan panorama alam pegunungan yang menawan.
Sekalipun saat ini Malino yang berjarak sekitar 65 km dari Kota Makassar tersebut diberi julukan baru sebagai ‘Kota Bunga’ lantaran aneka jenis tanaman bunga dapat tumbuh subur di sini. Namun Pohon Pacco-pacco dan hutan Pohon Pinus sampai sekarang masih merupakan ciri menonjol jika memasuki Kota Malino.
Jalan utama sepanjang sekitar 2 km yang membentang di tengah Kota Malino sampai sekarang di kanan-kirinya masih ditumbuhi pohon Pacco-pacco (nama lokal). Pohon yang ditanam sejak masa pendudukan Belanda itu menjulang rata-rata setinggi 15 meter, berdaun kecil dengan cabang dan ranting-rantingnya berkalut indah. Mirip cabang dan ranting tanaman yang dibonzai, hanya saja Pacco-pacco dalam bentuk pohon yang besar.
Menurut H.Jufri, salah seorang tokoh masyarakat di Kota Malino, secara turun temurun ada semacam kesepakatan warga untuk memelihara serta melindungi Pohon Pacco-pacco terutama dari gangguan perusakan tangan-tangan manusia. Menariknya, pohon yang bunganya terlihat mendominasi daunnya dengan warna merah keras, mekar sepanjang waktu.
[caption id="attachment_187959" align="alignright" width="336" caption="Jalan poros di Kota Malino/Ft: Mahaji Noesa"]
‘’Itulah ciri Kota Malino yang selalu kelihatan segar dengan mekarnya bunga Pohon Pacco-pacco setiap hari,’’ jelas H. Jufri.
Ciri kuat lainnya, sebagian besar lembah dan bukit seputaran Kota Malino yang setiap pukul empat sore sudah mulai diliputi kabut, ditumbuhi pohon-pohon Pinus yang ditanam dalam jarak rapat. Hutan Pinus dengan pucuk-pucuk menjulang langit juga merupakan lanskap Malino yang terpelihara sejak masa pendudukan Belanda.
[caption id="attachment_187960" align="alignleft" width="288" caption="Tahi Luwak yang berharga cukup mahal/Ft: Mahaji Noesa"]
Sejumlah air terjun, jurang yang curam, dan puluhan kilometer aliran sungai Jeneberang menerobos lembah-lembah merupakan bagian yang dapat disaksikan sebagai asesori penguat keindahan alam Malino.
Berpuluh hotel, penginapan dan villa telah dibangun dengan latar keindahan alam pegunungan dan hutan Pinus Malino. Termasuk banyak bangunan dalam bentuk rumah rakyat sengaja dibuat untuk memenuhi penginapan bagi pengunjung ke kota yang pernah dijadikan sebagai tempat musyawarah perdamaian atas peristiwa Pertikaian di Poso, dan Pertikaian di Ambon.
Dari sejumlah perkampungan rakyat sekitar Kota Malino di kaki Gunung Bawakaraeng (lk. 2.000 dpl) inilah merupakan sentra utama penghasil berbagai jenis tanaman hortikulultura – sayur-mayur dan buah-buahan, serta berbagai hasil perkebunan dataran tinggi seperti cengkeh dan kopi di Kabupaten Gowa.
SENTRA KOPI LUWAK
Selain itu, jika Anda ke Kota Malino sekarang, ada hal baru yang juga tidak kalah menariknya untuk disaksikan di antara kesejukan udara, kehijauan lingkungan dan keasrian alamnya. Yaitu Sentra Produksi Kopi Luwak Malino yang terletak di poros Jl. Sultan Hasanuddin, tengah Kota Malino. Inilah satu-satunya sentra Kopi Luwak yang ada di Sulawesi Selatan.
[caption id="attachment_187961" align="alignleft" width="288" caption="Danny Parmadi/ft: Mahaji Noesa"]
Usaha yang baru mulai dirintis tahun 2011 oleh drg. Danny Parmadi (61 th) tersebut, memang belum terlihat menonjol, tidak seramai kunjungan orang ke pasar sayur dan buah Kota Malino. Akan tetapi senantiasa terbuka untuk dikunjungi setiap orang yang ingin mengetahui bagaimana proses pembuatan yang namanya Kopi Luwak.
Di halaman samping rumah dokter gigi lepasan Universitas Mustopo Jakarta (1977) dan kemudian menyelesaikan S-2 dalam bidang Biologi Reproduksi di Culalong Corn University, Thailand, kini terdapat sekitar 30 kandang yang berisi 30 ekor Luwak (sejenis Musang).
Binatang pemalu tersebut setiap hari diberi makan buah kopi yang segar – buah kopi yang sudah masak dan baru dipetik dari pohon. Di samping diberi pisang sebagai makanan tambahan, juga setiap dua hari sekali setiap Luwak disuguhi makanan berupa anak ayam. Bahkan secara periodik diberi minum susu untuk menjaga kondisi kesegaran Luwak tersebut.
‘’Yang paling rakus makan kopi adalah Si Tompi, sehari terkadang makan sampai 3 liter buah kopi yang baru dipetik dari pohon. Lainnya, paling banyak jika memakan dua liter buah kopi segar setiap hari,’’ jelas Wahyu (17), yang setiap hari bertugas memberi makan Luwak-luwak di Sentra Produksi Kopi Luwak Malino.
Setiap Luwak diberi nama sesuai jenis kelaminnya. Untuk Luwak berjenis kelamin betina misalnya, diberi nama Hilda, Sinta, Nuri, Jayanti, dan Juwita. Sedangkan untuk yang berjenis kelamin jantan, di antaranya ada yang diberi nama Giant, Brandon, Rambo, Romi, Brandi, dan Alex.
‘’Makin banyak mereka memakan buah kopi segar, makin baik karena makin banyak pula tahinya,’’ jelas Wahyu.
Dari 30 ekor Luwak yang dipelihara di Sentra Produksi Kopi Luwak Malino, saat ini diperoleh sampai sebanyak 20 kilogram tahi Luwak setiap hari. Bentuk tahi Luwak yang berbau wangi kopi tersebut memanjang seperti buah pisang kecil. Di dalam selaput setiap tahi Luwak terdapat kumpulan biji kopi dalam bentuk utuh, tidak pecah.
[caption id="attachment_187962" align="aligncenter" width="480" caption="Sentra Produksi Kopi Luwak Malino/Ft: Mahaji Noesa"]
‘’Anda perlu tahu, inilah tahi binatang yang mungkin termasuk paling mahal harganya. Tahi Luwak seperti inilah yang dijadikan bahan baku pembuatan kopi Luwak yang harganya saat ini mencapai Rp 1,2 juta per kilogram,’’ jelas Danny Parmadi.
Tahi Luwak tersebut dikumpulkan setiap hari lalu disemprot air dalam bak pembersihan. Setelah itu ditiris kemudian dilakukan proses fermentasi selama dua hari, lalu dikeringkan melalui penjemuran di panas matahari. Disangrai lalu digiling halus menjadi Kopi Luwak dalam bentuk bubuk.
‘’Mahalnya harga jual Kopi Luwak karena biji kopi yang telah melalui proses biologis dimakan Luwak, kadar kafeinnya rendah hingga sisa 4 persen dibanding kopi yang sama tanpa melalui proses alami balutan enzim di perut Luwak,’’ jelas Danny Permadi pensiunan Letkol (purn) TNI-AL tahun 2006.
Selain itu, tentunya, karena ada khasiat lain dari Kopi Luwak. Setidaknya, seperti yang tertera dalam brosur Kopi Luwak Malino bernomor Dinkes Gowa No.P-IRT 210730601227, memiliki 6 manfaat.
Diantaranya, dinyatakan, dengan mengonsumsi kopi Luwak secara rutin dapat mencegah penyakit syaraf – alzheimer dan Parkinson. Melindungi gigi, menurunkan risiko kanker payudara, melindungi kulit, mencegah diabetes, dan mencegah tumbuhnya batu empedu.
Menurut Danny yang pernah bertugas selama 3 tahun sebagai dokter di atas kapal, pernah bertugas di masa Timor Timur, dan sudah 11 tahun membuka praktik dokter gigi di Kota Malino, awal ketertarikannya untuk memproduksi kopi Luwak dimulai ketika suatu ketika ia menolak saat disuguhi minuman tersebut. Alasannya, dia tak minum kopi karena punya penyakit maag. Tapi setelah dijelaskan bahwa kopi Luwak justru dapat menghilangkan maag, dan dibuktikan kebenarannya.
Pemilik Dan III Karate Inkado Malino mulanya memelihara Luwak untuk memproduksi Kopi Luwak bagi kepentingan sendiri. Untuk penghematan pengeluaran, lantaran untuk mengonsumsi Kopi Luwak kala itu harus merogoh kocek sebanyak Rp 75.000 segelas.
Namun dalam perjalanan kemudian, ternyata Danny tertarik untuk mengembangkan produksi Kopi Luwak sebagai sumber penghasilan. Bahkan dia kemudian membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang berminat memproduksi tahi Luwak.
Saat ini sudah ada sekitar 40-an kelompok binaannya di Malino dan sekitarnya, termasuk ada 15 kelompok binaan di Makale, Kabupaten Tana Toraja, dan 10 kelompok binaan di Kalosi, Kabupaten Enrekang. ”Seperti pola inti-plasma. Sentra Produksi Kopi Luwak Malino membeli tahi luwak dari kelompok-kelompok binaan tersebut. Saat ini harga belinya Rp 100.000 untuk setiap kilogram tahi Luwak,’’ katanya.
[caption id="attachment_187963" align="alignright" width="288" caption="Kopi Luwak Malino dalam kemasan kaleng/Ft: Mahaji Noesa"]
Kini Sentra Produksi Kopi Luwak Malino sudah mampu menyuplai antara 10 hingga 20 kg Kopi Luwak bubuk ke Cina dan Taiwan sebulan. Sedangkan untuk pemasaran dalam negeri, ke Jakarta, Bali dan Makassar antara 20 sampai 25 kilogram setiap bulan. Namun penjualan itu semua masih dilakukan dalam sistem pemasaran eceran.
Kopi Luwak Malino juga sudah ada yang dikemas dalam kaleng berisi 150 gram (harga jual sekarang Rp 170.000), 100 gram (rp 120.000) dan 50 gram (Rp 60.000).
Kendala pengembangan, menurut Danny, terutama segi modal usaha. Karena untuk kerjasama penjualan ke luar negeri, baru dapat dilakukan jika dalam hitungan ton. ‘’Sementara saat ini, jika dimaksimalkan di semua kelompok binaan yang ada hanya dapat dicapai produksi maksimal 200 kilogram Kopi Luwak sebulan,’’ katanya.
Lantaran itu Danny merasa sangat berterimakasih apabila ada pihak yang ingin menjadi bapak angkat dari usaha ini, seperti tawaran yang barusan diterima dari Yayasan Isiarta Trans Umat Jakarta untuk membantu finance dan pengembangan pemasaran.
‘’Sebagai daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, pengembangan produksi kopi Luwak merupakan salah satu segmen yang sangat baik dilakukan untuk mengatrol pendapatan rakyat khususnya petani tanaman kopi,’’ kata Danny Parmadi.
Apalagi, produksi tahi dari Alex dkk yang ada di kandang Sentra Produksi Kopi Luwak Malino, di pasaran internasional justru dapat mencapai 3 kali lipat dari harga jual dalam negeri yang saat ini baru mencapai Rp 1,2 juta hingga Rp 1,7 juta per kilogram.
Jika Anda ke Malino jangan lupa mampir untuk menyaksikan bagaimana proses pembuatan ‘Tahi Termahal’ tersebut yang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dikategorikan sebagai barang haram. ‘’MUI sudah menerbitkan Sertifkat Halal untuk Kopi Luwak,’’ tandas Danny.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H