Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu dan Putrinya Menarik Becak, Mengais Sampah 10 Jam Setiap Hari

23 Mei 2012   14:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:55 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duduk meleseh di samping kontainer penampungan sampah di ujung barat tepi Jalan Hati Mulia, Kota Makassar (Rabu siang, 23 Mei 2012),Dg. Te’ne, perempuan berusia 42 tahun seolah tak menghiraukan kesibukan lalu lintas yang lalu-lalang di sekitarnya. Termasuk tak terpengaruh dengan sengatan bau busuk sampah serta ribuan lalat yang silih berganti beterbangan di sekelilingnya.

[caption id="attachment_178559" align="aligncenter" width="576" caption="Dg Tene dan anaknya Ira menarik becak sebagai Payabo di Kota Makassar/Ft:Mahaji Noesa"][/caption]

Dengan tangan telanjang dia tampak enjoy, asyik merapikan berbagai jenis bekas tempat minuman yang terbuat dari plastik yang dikais oleh putrinya Ira (10 tahun) dari kontainer bak sampah. Di sampingnya, terparkir sebuah becak open kap terlihat sudah sarat berisi berbagai jenis benda plastik buangan.

Sudah sejak dua tahun lalu, menurut Dg Te’ne dia bersama putrinya Ira bekerja sebagai Payabo -- sebutan bagi pemulung di Kota Makassar. ‘’Pekerjaan ini saya lakukan untuk membantu suami mencari nafkah mememenuhi kebutuhan hidup bersama sembilan orang anak yang kesemuanya perempuan,’’ katanya.

Isteri dari Dg Nyonri (45 Tahun), warga Jl. Dahlia Lorong 312, RW 1/RT 2 Kelurahan Bontorannu Kecamatan Mariso Kota Makassar ini mengaku, jika tak sakit,mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 5 sore setiap hari bersama anaknya Ira, berkeliling ke tempat-tempat penampungan sampah untuk memungut berbagai jenis sampah plastik buangan warga.

Dengan membawa sebuah becak open kap yang didorong dan dikayuh silih berganti bersama Ira anaknya, Dg Te’ne mengeliling tempat-tempat penampungan sampah warga yang ada di Kelurahan Mariso dan sekitarnya. Dia sudah menghafal lokasi-lokasi penampungan sampah warga yang ada di Jl. Dahlia, Jl. Cendrawasih, Jl. Nuri, Pasar Mattoanging, Jl. Rajawali, Jl Kakatua yang kini telah berganti nama menjadi Jl Pajonga Dg Ngalle, Jl.Garuda, Jl.Belibis, dan sejumlah jalan lain di wilayah Kecamatan Mariso.

Bahkan, katanya, sesekali ia menyusur hingga Jl. Penghibur serta jalan-jalan lainnya di sekitar Pantai Losari Makassar yang berjarak 3 hingga 4 km dari tempat mukimnya.

Berbagai jenis sampah plastik yang dikais tersebut kemudian dijual ke suatu tempat pembelian barang bekas yang ada di Kecamatan Mariso dengan harga bervariasi sesuai jenis plastiknya, antara Rp 1.500 hingga Rp 3.000 per kilogram. ‘’Penghasilan dari penjualan hasil pungutan sampah plastik tersebut sekitar Rp 30.000 sampai Rp 50.000 setiap hari,’’ jelas Dg Te’ne.

Sejak menikah dengan Dg Nyonri, suaminya, tahun 1989, Dg Te’ne mengaku selalu mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarganya.

‘’Maklum, suami yang sebelumnya punya penghasilan tetap sebagai penjaga empang, tapi kemudian berhenti karena empang-empang tersebut dijadikan lokasi pemukiman. Ia kemudian menjadi buruh tukang batu sampai sekarang dengan penghasilannya tidak menentu. Bahkan sering nganggur berhari-hari karena tak ada yang memakai tenaganya sebagai tukang batu,’’ katanya.

Sebelum memilih pekerjaan menarik becak sebagai Payabo, Dg Te’ne mengaku membantu mencari pendapatan untuk keluarga dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah-rumah warga yang membutuhkannya.

Lantaran kemudian merasa tak kuat lagi sebagai tukang cuci, ia memilih meminjam uang dari ‘Tukang Kredit’ membuka ‘Usaha Timbangan’ – yaitu membeli sampah bekas seperti kertas, plastik dan besi untuk dijual kembali kepada pengusaha pembeli barang bekas.

Akan tetapi pekerjaan tersebut kemudian ditinggalkan lantaran hasil yang diperoleh tak cukup untuk membayar pinjaman modal dari Tukang Kredit. ‘’Terlalu tinggi bunganya. Jika kita pinjam Rp 500.000 dikembalikan Rp 750.000 untuk jangka pinjaman satu bulan. Terlalu berat, itulah sebabnya saya lalu memilih untuk menekuni pekerjaan sebagai Payabo dengan modal sebuah becak bekas yang saya pakai sebagai alat pengangkut dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah lainnya,’’ katanya.

[caption id="attachment_178560" align="alignleft" width="300" caption="Dg Tene, perempuan tegar tak meratap dalam kemiskinan/Ft: Mahaji Noesa"]

1337781845882348269
1337781845882348269
[/caption]

Dg Te’ne mengaku seperti juga suaminya tidak memiliki satupun pendidikan formal. Justru dia menyatakan tidak perlu merasa malu bekerja apa saja yang dapat menghasilkan uang yang halal, terutama untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama anak-anaknya.

Mulanya, diceritakan, dari pekerjaan yang ditekuni seperti itu, Dg Te’ne masih dapat menyekolahkan beberapa orang anaknya ke Sekolah Dasar. Tapi kemudian karena biaya hidup untuk makan sehari-hari saja susah, sekarang sembilan orang anaknya yang semuanya perempuan, tidak ada yang sekolah.

Putrinya Ira yang telah menemaninya selama dua tahun sebagai Payabo, hanya sekolah sampai kelas 4 SD kemudian berhenti. ‘’Banyak yang menawarkan agar anak-anak saya disekolahkan dengan gratis. Tapi itu tidak bisa dilakukan karena kita juga butuh biaya transpor dan kebutuhan lainnya yang tidak bisa dicukupi dari penghasilan untuk anak-anak bersekolah, sehingga mereka tidak kami sekolahkan. Anak-anak pun mengerti,’’ jelas Dg Te’ne.

Anak perempuan tertuanya kini berusia 22 tahun (terganggu ingatan) dan yang terbungsu berusia 5 tahun. ‘’Dua orang anak perempuan saya, Ippang, 21 tahun, dan Irna, 19 tahun sekarang menjadi buruh tukang batu mengkuti pekerjaan yang ditekuni ayahnya sehari-hari,’’ jelas Dg. Te’ne.

Hidup di kota, katanya, jika tanpa pendidikan atau keterampilan untuk memperoleh penghasilan tidak perlu malu bekerja apa saja yang dapat dilakukan. ‘’Yang penting halal,’’ tandas Dg Ten’ne.

Dg Te’ne mengaku mendapat jatah Raskin 10 liter sebulan dari kelurahannya yang ditebus dengan harga Rp 18.000. Punya kartu Jamkesda untuk berobat dan memeriksakan kesehatan secara gratis di Puskermas dan rumahsakit di Kota Makassar. Rumah kediaman yang ditempati sekarang, seperti sejumlah rumah milik warga di lingkungannya di Bontorannu, dibangun di atas tanah milik orang lain yang saat ini disewa Rp 200.000 setahun.

Cerita keluarga Dg Te’ne ini, tentunya, merupakan salah satukisah pahit perjuangan hidup dari sekitar 78.000 warga Kota Makassar yang dicatat (data BPS 2010) masih tergolong penduduk miskin.

Namun, dari pengakuan jujur Dg Te’ne, tersebut dia boleh jadi termasuk salah satu dari sedikit perempuan penduduk perkotaan Indonesia yang kini tegar membantu suami menurut kemampuannya untuk menghidupi keluarga, tidak meratap meniti nasib sebagai orang miskin.

''Kalau masuk lorong 312 Jalan Dahlia, Bontorannu, tanya Dg Te'ne yang Payabo, semua orang tahu,'' tutur Dg Te'ne.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun