Usaha pertanian tanaman pangan padi di Sulawesi Selatan (Sulsel) sudah dikenal jauh sebelum masa pendudukan Belanda di Indonesia. Tidak mengherankan jika sejak jaman dulu penduduk di wilayah ini memiliki banyak sekali penganan atau kuliner yang dibuat menggunakan bahan baku beras.
[caption id="attachment_163321" align="aligncenter" width="648" caption="Penjual Putu subuh hari di emperan toko Kota Sengkang, Kabupaten Wajo/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Hampir setiap daerah pertanian di Provinsi Sulsel memiliki kuliner tradisional yang terbuat dari beras, namun memiliki bentuk, nama, dancara pembuatan yang berbeda satu dengan yang lain.
Menariknya, karena kuliner-kuliner berbahan baku beras tersebut ada yang dibuat khusus hanya untuk disuguhkan dalam acara-acara tertentu. Namun tidak sedikit juga dibuat untuk diperjualbelikan di tempat-tempat umum, meskipun ada yang dipasarkan hanya dalam daerah atau kabupaten tertentu saja.
Songkolo adalah salah satu penganan yang terbuat dari beras ketan yang bisa dijumpai pada hampir semua tempat di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Di Kota Makassar saat ini, penjualan ketan putih dan ketan hitam kukus ini dapat dijumpai di banyak titik K-5 terutama malam hari yang dikenal sebutan sebagai Songkolo Bagadang.
Songkolo umumnya nyaman disantap menggunakan taburan kelapa parut plus sambel cabe. Lauk peneman kenyamanan Songkolo lainnya, biasanya menggunakan gorengan ikan (teri) kering.
Doko-doko (Bahasa Bugis) atau Roko-roko Unti (sebutan dalam Bahasa Makassar) merupakan salah satu kuliner tradisional berbahan baku tepung beras yang dibungkus daun pisang dan ditengahnya diberi pisang yang sampai sekarang pun masih bertahan. Bahkan juga dapat menjadi kuliner pilihan di antara kuliner modern yang disuguhkan di warung-warung kopi atau toko-toko penjual kuliner ternama yang ada di wilayah Provinsi Sulsel.
[caption id="attachment_163323" align="alignleft" width="300" caption="Penjual Putu, kuliner tradisional Sulsel kian langka/Ft: Mahaji Noesa"]
Penyuguhan kuliner umba-umba ini sejak dulu hingga saat ini kehadirannya kebayakan dikaitkan dengan simbol keberhasilan usaha, seperti ketika umba-umba direbus saat matang kemudian mengapung untuk disantap.
Jika Anda suatu saat melakukan perjalanan darat dari Kota Makassar ke Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Dalam lintas poros jalan negara tersebut, tepatnya di Mandalle, Kabupaten Pangkep akan ditemui puluhan kios dan rumah makan di kanan-kiri jalanan yang secara khusus menjual kuliner yang bernama Dange. Meriah sekali, karena setiap warung memampang tulisan ‘Tersedia Dange.’
Dange juga merupakan kuliner tradisional Sulawesi Selatan yang terbuat dari beras ketan hitam yang dicampur kelapa dan gula aren lalu dibakar dalam suatu cetakan yang bermodel bulan sabit. Selain dapat dinikmati di tempat penjualan, tersedia dange dalam kemasan yang dapat dibawa pulang sebagai ole-ole perjalanan. Dalam perkembangan hari ini, dange yang dijual di Mandalle, terlihat sudah ditawarkan dengan beragam rasa, termasuk ada dange rasa keju.
Ketika berkunjung ke Kota ‘Kelelawar’ Watansoppeng, ibukota Kabupaten Soppeng (Sulsel) bulan lalu, seorang rekan di sana menyuguhkan kuliner yang bernama Rober. Penyebutan singkatan dari nama Roti Berre (Bahasa Bugis, artinya Roti Beras). Rober memang terbuat dari tepung beras putih dicampur parutan kelapa yang direjang menggunakan ragi. Lezat, karena ketika disantap ditirisi cairan gula aren.
Rober juga merupakan kuliner yang dijual di tempat-tempat umum. Hanya saja wilayah penjualannya di seputar Kota Watansoppeng dan sekitarnya.
Masih banyak jenis kuliner tradisional Sulawesi Selatan yang dibuat dengan bahan baku beras. Ada yang bernama bolu peca, songkolo pipi, taripang, beppa pute, dan gogoso.
Di wilayah Kupa, Kabupaten Barru dalam lintas jalan darat Kota Makassar – Kota Parepare (155 km), juga terdapat puluhan warung yang sepanjang siang dan malam hari tak berhenti menyemburkan asap pembakaran kuliner gogos yang terbuat dari beras ketan putih dan ketan hitam dibalut daun pisang. Warung kuliner yang bentuknya bulat berdiameter 3 cm dan panjang 25 cm tersebut sepanjang hari tampak ramai disinggahi pembeli, menyantap di tempat maupun membeli untuk ole-ole.
Di awal tahun 2000 lalu, pada subuh hari masih dijumpai banyak ibu-ibu menjual Putu di emper-emper pertokoan di Pusat Kota Watansoppeng maupun di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo. Putu merupakan salah satu kuliner tradisional Sulsel yang bahan bakunya dari campuran beras biasa dan beras ketan putih (ada juga menggunakan ketan hitam).
Kuliner ini, enaknya disantap pagi hari dengan ulekan parutan kelapa dan sambal cabe. Yang unik, cara pembuatan putu yang dimatangkan menggunakan kekuatan uap air yang dididihkan. Menggunakan model pemanfaatan tenaga air semacam sistem ketel uap jaman dulu. Menariknya, pembeli kuliner ini selalu melihat langsung proses pembuatannya, karena kenikmatan putu jika disantap dalam kondisi yang lagi hangat. Putu yang dingin akan mengeras.
Ketika berada di Kota Sengkang, minggu lalu, hanya terdapat seorang ibu yang menjual putu subuh hari di emperan toko tak jauh dari Masjid Raya Kota Sengkang. ‘’Beruntung bapak masih dapat, karena sekarang seringkali sudah tidak ada lagi orang yang menjual putu pada subuh hari di Kota Sengkang ini,’’ jelas seorang pengemudi Bentor yang juga antre subuh itu untuk membeli putu. Putu yang ukurannya seperti baterai ukuran kecil itu, setiap tiga potong setelah ditaburi parutan kelapa dibungkus daun pisang. Ketika akan disantap, sebelum dibuka daun pisang diajurkan untuk diremas agar parutan kelapa lengket menyatu dengan putu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H