Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Wartawan Tanpa Gaji Memadai Sulit Taat Kode Etik

9 November 2011   08:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:53 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tidak mungkin wartawan dapat dituntut taat terhadap Kode Etik Jurnalistik jika tidak digaji dengan baik oleh perusahaan pers tempatnya bekerja. Apalagi sampai saat ini banyak unsur luar yang tetap ingin memanfaatkan media, sedangkan nafas kehadiran media pers adalah untuk memperjuangkan kepentingan umum, bukan untuk pribadi atau kelompok. [caption id="attachment_141198" align="alignright" width="263" caption="ilustrasi/trawang.com/google"][/caption]

Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Muhammad Ridlo 'Eisy menandaskan itu ketika membuka acara Workshop Creative Advertising & Newsroom di Era Digital, 8 Nopember 2011 di lantai 5 Gedung Telkomsel Area Pamasuka yang dijuluki sebagai 'Gedung Miring' lantaran konstruksi tiang-tlang utama dari bangunan yang terletak di Jl. AP Pettarani Kota Makassar ini tidak vertikal tapi sengaja dibuat miring ke arah Selatan. Acara yang diselenggarakan oleh SPS Pusat kerjasama PT Telkomsel dan Kelompok Penerbit Tempo tersebut dimaksudkan untuk memberikan pencerahan dan penyegaran bagi kalangan praktisi media cetak menjadi media konvergen di era digitalisasi agar tetap memiliki harapan hidup yang panjang. Diikuti puluhan peserta level Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Redaksi Suratkabar Harian anggota SPS dari kawasan timur Indonesia (kecuali dari Papua, tidak hadir). Menampilkan narasumber/pembicara Toriq Hadad, Kabid Pendidikan SPS Pusat yang juga adalah Direktur Majalah Tempo yang berbagi pengetahuan mengenai Tren News Room dan Aplikasi Konten dalam Multiplatform di era digital. Sedangkan General Manager Corporate Communication PT Telkomsel, Ricardo Indra menyuguhkan materi mengenai Creatif Advertising in Print Media. Dan paling menarik perhatian peserta ketika Creative Director Euro RSCG, Ndang Sutisna memapar pengalaman dan pengetahuan mengenai cara Merancang Ide Kreatif Media kepada Pengiklan. Menurut Ridlo yang juga adalah Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers, agar media cetak dapat berumur panjang selain perusahaan-perusahaan pers diminta untuk meratifikasi aturan-aturan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers tahun 2007, juga dalam hal perekrutan tenaga wartawan harus memperhatikan Standarisasi Kompetensi Wartawan yang juga telah ditetapkan melalui SK Dewan Pers. Perusahaan Pers, antara lain, sebagaimana diatur dalam Standar Perusahaan Pers, harus memiliki modal minimal Rp 50 juta atau memiliki kemampuan keuangan yang mampu menyelenggarakan kegiatan perusahaan secara teratur sekurang-kurangnya selama 6 bulan. Perusahaan pers harus mampu menggaji wartawan dan karyawan sesuai Upah Minimum Provinsi minimal 13 kali setahun. Perusahaan pers yang sudah 6 bulan berturut tidak melakukan kegiatan usaha pers secara teratur, dinyatakan bukan lagi sebagai Perusahaan Pers dan Kartu Pers yang dikeluarkannya tidak berlaku lagi. Suatu hari, cerita Ridlo, dia menumpang taxi ke Bandara. Dalam dialog dengan sopir, Ridlo yang juga adalah anggota Dewan Redaksi Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Bandung, mengaku sebagai wartawan. Sang sopir taxi pun spontan menyalami sebagai sesama wartawan. Ridlo terperanjat. ''Saya baru saja dapat Kartu Pers dari sebuah suratkabar, jadi sekarang mulai belajar-belajar jadi wartawan. Sekalipun tanpa digaji, tapi Kartu Pers ini dapat membantu memperlancar pemeriksaan lalu-lintas di jalan raya,'' jelas sang sopir, seperti diceritakan ulang oleh Ridlo. Begitulah salah satu contoh, gambaran mengenai dunia wartawan di Indonesia sampai saat ini. Begitu mudahnya orang tanpa memiliki kompetensi untuk diangkat dan mengaku sebagai wartawan hanya dengan bekal sebuah Kartu Pers yang dikeluarkan penerbitan pers dari perusahaan pers yang tidak memenuhi standar perusahaan pers. ''Saat ini kita masih menganut pola rekruitmen kewartawanan model ke-Amerika-an, siapa saja bisa diterima menjadi wartawan. Dengan adanya standar kompetensi wartawan, kita mencontoh pola rekruitmen kewartawanan di Jerman, dimana seseorang untuk menjadi wartawan harus memiliki sertifikasi kewartawanan,'' jelas Ridlo. Mengenai standar kompetensi kewartawanan tersebut, saat ini Dewan Pers kerjasama dengan sejumlah organisasi dan lembaga pendidikan melakukan uji kompentensi wartawan di seluruh Indonesia. Nantinya aka ada semacam sertifikasi yang diberikan kepada seseorang sesuai kompetensinya, sebagai wartawan muda, wartawan madya atau wartawan utama. Bagi wartawan yang sudah mengabdi sebelum munculnya aturan standarisasi wartawan tersebut, juga diberi kesempatan untuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan sesuai tingkatan yang diinginkan tanpa melihat apakah yang bersangkutan berijazah SMP atau hanya berpendidikan setingkat SMA. ''Batas waktu uji kompetensi wartawan tahap awal hingga Pebruari 2012. Setelah itu penerimaan wartawan dipersyaratkan dengan ketentuan minimal berpendidikan setingkat S-1 dan memiliki sertifikasi uji kompetensi,'' jelas Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Uni Zulfiani Lubis ketika berceramah dihadapan sejumlah wartawan di Kota Makassar, beberapa waktu lalu. Ada 6 tujuan yang hendak dicapai, katanya, dari pelaksanaan Standar Kompetensi Wartawan ini. Yaitu, meningkatkan kualitas dan profesionalisme wartawan. Menjadi acuan system evaluasi kinerja wartawan dan perusahaan pers. Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Menghindari penyalahgunaan profesi kewartawanan. Dan, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Dengan pengelolaan perusahaan pers yang baik dan memiliki tenaga wartawan yang profesional, diharapkan media cetak dapat hidup menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, sebagai saluran informasi menyampaikan kebenaran, mendidik, menghibur, serta melakukan sosial kontrol bertanggung jawab untuk kepentingan umum. Meskipun dalam kenyataan, menurut Ridlo, ketika memasuki era digital sekarang, ada sebuah suratkabar terkenal di Jerman yang memiliki sekitar 13.000 wartawan yang bersertifikasi profesional toh harus tutup, dan beralih ke media on-line. Akan tetapi, lanjut Ridlo, dalam era digital kehadiran media on-line tidak perlu ditakuti mematikan media cetak. ''Yang penting di sini kan bagaimana dapat disinergikan, agar media cetak tetap survive. Itu antara lain tujuan SPS melakukan workshop bertajuk media cetak dalam era digital. Diupayakan perusahaan pers media cetak tetap mampu meraih keuntungan, menghasilkan uang di era digital,'' katanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun