Diresmikannya pemanfaatan Pusat Pelatihan Meditasi 'Arama Maha Buddha' di Jl. Danau Tanjung Bunga Kelurahan Maccini Sombala Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, 30 April 2011, memperkuat catatan sejarah bersinambungnya kehidupan pluralisme rakyat Indonesia khususnya di ibukota provinsi Sulawesi Selatan ini dari masa ke masa. Apalagi kehadiran pusat meditasi Buddha termegah di Kawasan Timur Indonesia saat ini, justru dibangun di wilayah bekas Pusat Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang pernah menetapkan Islam sebagai agama resmi bagi kedua kerajaan .
[caption id="attachment_105730" align="aligncenter" width="648" caption="Gerbang masuk kawasan'China Town' di Kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Dalam masa keemasan Kerajaan Gowa dan Tallo pada abad XVI - XVII, sejarah mencatat pihak kerajaan menikmati hidup damai dan bersahabat dalam transformasi ilmu pengetahuan serta jalinan perniagaan dengan berbagai suku bangsa nusantara dan dari berbagai belahan dunia lainnya. Di sekitar pusat Kerajaan Gowa, Benteng Somba Opu sebelum hancur dibombardir kolonial Belanda, pihak kerajaan mengijinkan berbagai etnis dari nusantara, serta berbagai suku bangsa seperti Portugis, Denmark, Inggris, Melayu dan Gujarat untuk mendirikan perwakilan-perwakilan dagang maupun perkampungan.
Bangsa etnik Tionghoa pun sudah masuk dan bermukim di Makassar pada abad XVI. Kehidupan harmonis dengan masyarakat pendatang dari daratan Tiongkok dengan pihak kerajaan Gowa masa itu, termasuk dirasakan dalam jalinan hidup beragama dan antaragama. Hal itu dibuktikan dengan adanya pemberian ijin bagi perantau etnik Tionghoa ke Makassar untuk membangun tempat ibadah mereka pada tahun 1737. Tempat ibadah yang saat ini dikenal dengan nama ‘Klenteng Ibu Agung Bahari’ di Jl. Sulawesi tersebut, awalnya dibangun sebagai persembahan kepada Dewi Ma Co yang dianggap sebagai pemberi berkah dan keselamatan perjalanan mereka hingga tiba di Makassar.
Namun begitu, ajaran Buddha baru masuk ke Kota Makassar tahun 1956, dan mulai berkembang melalui masyarakat etnik Tionghoa dari golongan Sam Kauw Hwee (perkumpulan tiga ajaran) – Buddhisme, Taoisme, dan Konfusionisme. Ajaran ini awalnya dikembangkan di Makassar oleh para pendeta yang telah menjalani latihan meditasi di Semarang (Jawa Tengah) tahun 1958. Pada tahun 1960 kemudian mulai dibangun sebuah tempat ibadah bagi umat Buddha Sam Kaum Bio di Jl. Salahutu, dan hingga sekarang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha bernama Vihara Girinaga di Kota Makassar.
Selain klenteng Ibu Agung Bahari, di Jl. Sulawesi telah terdapat sejumlah klenteng lainnya, seperti Klenteng Xian Ma dan Klenteng Kwang Kong.
[caption id="attachment_105732" align="alignleft" width="288" caption="Gereja Katedral tertua di Kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Sedangkan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo dahulu yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah Kota Makassar sekarang ini, sesungguhnya sudah menetapkan Agama Islam sebagai agama resmi kerajaan di tahun 1605. Namun kehidupan beragama berlangsung tak saling mengganggu, dengan prinsip ‘’Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.’’ Tak heran jika Kota Makassar yang warganya dominan muslim sekarang pun telah dikelilingi ratusan masjid -- tua dan modern. Termasuk ratusan mushallah yang tersebar di berbagai tempat, yang gema azannya terdengar seolah memenuhi langit Makassar setiap masuk saat Magrib, Isya, dan jelang waktu shalat di subuh hari.
Jauh sebelum ajaran Buddha masuk ke Makassar, di masa pemerintahan Raja Gowa Sultan Alauddin (1591 -1683) -- Raja Gowa pertama pemeluk Islam, pun telah memberikan kebebasan khususnya bagi orang-orang Portugis beragama Kristen (Katolik) yang bermukim di wilayah Kota Makassar dan sekitarnya untuk membangun gereja sebagai tempat menjalankan ibadah. Gereja dari berbagai jemaat kini pun bertebaran di semua penjuru Kota Makassar.
Salah satu rumah ibadah umat Kristiani tertua ‘Gereja Katedral’ dibangun tahun 1898, kini masih dapat disaksikan di Jalan Kajaolalido, Kota Makassar. Di tempat inilah sekarang berkedudukan Keuskupan Agung Makassar.
[caption id="attachment_105733" align="aligncenter" width="532" caption="Masjid Makmur Melayu, jejak orang Melayu di Makassar/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Keterbukaan warga Kota Makassar menerima kaum pendatang dari berbagai suku bangsa aliran kepercayaan, dan agama antardaerah di Nusantara, juga sudah berlangsung cukup lama dan secara terus menerus. Masjid ‘Makmur’ Melayu yang terletak di pojok Jl. Sangir dan Jl. Sulawesi, merupakan jejak peninggalan kehadiran orang-orang Melayu yang mulai diterima dengan tangan terbuka bermukim di Makassar tahun 1561, ketika itu berkuasa Raja Gowa X, Tunipalangga Ulaweng. Jejak lokasi bekas pemukiman orang-orang Melayu di Kota Makassar pun hingga kini, antara lain, masih terabadikan dalam nama Kelurahan Melayu di Kecamatan Wajo. Keturunan dari Intjik Melayu di Makassar kini sudah tersebar dan berbaur dengan warga di berbagai penjuru kota.
Masih dipertahankannya nama-nama lama untuk sejumlah lokasi dan bangunan di tengah perkembangan pesat Kota Metropolitan Makassar saat ini, juga merupakan bukti kuat jika warga Kota Makassar dari masa ke masa telah menerima kehidupan masyarakat yang plural (jamak). Masjid Arab dibangun tahun 1907 (di sekitar wilayah pecinaan Kota Makassar saat ini), merupakan bagian dari tempat mukim dari orang-orang Arab dan Pakistan di masa lampau. Di Bontoala sampai ada ‘Kuburan Arab’.
Pasar ‘Grosir’ Butung, sebagai pasar tertua di kota ini (dibangun tahun 1917), mengabadikan nama etnis suku pelaut dari Pulau Buton (Butung) Sulawesi Tenggara yang dahulu menjadikan daerah pesisir sebelah barat Pasar (Kampung) Butung Makassar sebagai tempat pangkalan armada perahu mereka. Kelurahan Sambung Jawa dan Pasar Sambung Jawa di arah selatan Jl. Cendrawasih, dahulu merupakan tempat bermukimnya orang-orang asal Pulau Jawa (kolonisasi). Kuliner khas Pulau Jawa seperti pecel, katto dan rempeyek awalnya diperkenalkan ke warga Makassar oleh etnis Jawa yang bermukim di Kampong Kawat sekitar Balang Boddong dahulu. Termasuk di tempat ini sering diadakan acara Pasar Malam yang menampilkan tarian Ronggeng. Ambon Kamp (Kampung Ambon) di Jl. Gunung Nona dan sekitarnya merupakan perkampungan orang-orang dari Pulau Ambon.
Ada Juga Kampung Maloku, Kampung Ende, Kampung Cina, Kampung Wajo (pemukiman etnis Bugis Wajo), Kampung Bontoala (dihuni etnis Bugis Bone), hingga lahirnya sejumlah pemukiman baru pascakemerdekaan seperti Barabaraya oleh etnis Massenrempulu (Enrekang). Demikian pula Kampung Rama bagi etnis Toraja, latar riwayatnya semua sebagai tempat bermukim kaum pendatang yang kini sudah beranak pinak sebagai warga Kota Makassar.
Sekarang, hampir semua warga di Kawasan Timur dan bahkan di Indonesia punya komunitas maupun semacam base camp, apakah berupa perwakilan atau asrama mahasiswa, kini berbaur dalam suasana kehidupan dan dinamika Kota Makassar sebagai kota metropolitan yang terus bergeliat dengan desakan pengembangan fisik serta berbagai problemnya. Kehidupan plural dengan masyarakat multikultural yang sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan dari masa ke masa terasa makin kental saja. Wilayah pecinaan di Kota Makassar, sejak beberapa tahun terakhir telah diproklamirkan sebagai kawasan ‘China Town’ dengan kebebasan ritual keagamaannya serta kehidupan budaya Barongsai dan lainnya.
Makassar dari masa ke masa sejatinya bukan kota yang menakutkan seperti yang tercitra dengan sering berlangsungnya demo-demo jalanan oleh kalangan mahasiswa beberapa waktu lalu di kota ini. Sejarah menitip pesan tersurat maupun tersirat, bahwa ketika dicapai puncak kejayaan Kerajaan Gowa dan Tallo ditandai terbinanya kehidupan masyarakat multikultural yang damai bersahabat di Kota Makassar dan sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H