Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Batu David Bersinar Merah Terang jika Menyentuh Air

6 Maret 2015   03:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:06 7030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_354127" align="aligncenter" width="480" caption="Inilah potongaan Batu Ereke yang sedang laris di pasaran batu mulia kota Kendari/Ft:Mahaji Noesa"][/caption]

Jauh sebelum demam batu mulia melanda warga di Indonesia seperti sekarang, saya sudah berkenalan dengan banyak pecinta dan kolektor cincin berpermata batu mulia. Termasuk bersahabat dengan Andi Makkulawu di Kota Makassar, pemilik ratusan bongkahan batu-batu alam yang dikoleksi sesuai dengan keunikan motif dan bentuk batu ketika ditemukan di hamparan alam.

Banyak cerita menarik dari pengalaman para kolektor dan pecinta batu-batu mulia. Tak hanya menyangkut kisah perburuan batu-batu alam di berbagai tempat atau cerita tentang sejumlah jenis batu permata yang berharga jual tinggi. Tapi juga tak sedikit kisah batu mulia dikaitkan dengan berbagai khasiat dijadikan sebagai obat penyembuh penyakit, keunikan motif, warna maupun bentuk, serta dikaitkan dengan halmagis yang kadang paparannya sulit diterima akal sehat.

Di kawasan bekas kampung-kampung purba Kaluppini Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, sejak lama penduduk setempat mengenal batu alam yang dalam sebutan lokal dinamai Pana Batu alias Batu Jahe. Batu berwarna hitam dengan motif diliputi bintik-bintik kilap-kilap putih bagai taburan garam tersebut berbau jahe. Aroma jahenya tidak luntur sekalipun batunya telah berkali-kali dibilas air. Orang-orang sekitar menyebut pula Pana Batu sebagai Batu Hidup lantaran Pana Batu yang disimpan seseorang seiring dengan perjalanan waktu akan bertambah besar dari ukuran awalnya.

Cerita hidupnya batu alam Pana Batu hampir serupa dengan kisah yang pernah melekat terhadap batu-batu Allakkuang di Kecamatan Panca Lautang Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Batu-batu yang berasal dari gunung-gunung batu sekitar Allakkuang yang keras tapi mudah diukir tersebut sejak lama akrab dengan warga Sulawesi Selatan karena menjadi pilihan utama untuk dijadikan batu kuburan atau batu nisan. Kian lama nisan terbuat dari batu Allakkuang tertanam, terkena terik dan guyuran hujan akan tampak semakin segar seolah hidup.

Hanya saja saat ini selain dibuat nisan, batu-batu Allakkuang juga menjadi sumber usaha penyediaan material batu untuk timbunan pembuatan jalan atau untuk pembuatan pondasi bangunan, tak hanya di Kabupaten Sidrap tapi juga disuplai ke kabupaten tetangganya – Kabupaten Pinrang, Soppeng, dan Wajo. Kisah hidupnya batu-batu Allakuang belakangan mulai pupus dengan rontoknya satu per satu julangan barisan gunung batu Allakkuang digaruk armada eskavator milik pengusaha batu.

[caption id="attachment_354128" align="aligncenter" width="480" caption="Bursa penjualan batu-batu mulia di pelataran barat lapangan bekas MTQ kota Kendari/Ft: Mahaji Noesa"]

14255600572109139927
14255600572109139927
[/caption]

1425560192578104328
1425560192578104328

Ketika suatu saat berkesempatan mengikuti pesta adat Maccera Manurung yang dilaksanakan warga sekali dalam 8 tahun di kawasan wilayah kampung-kampung tua Kaluppini Enrekang, bertemu banyak orang yang datang dari berbagai kabupaten/kota di Sulawesi Selatan plus yang datang dari luar provinsi seperti Kaltim, Sultra, Sulteng, dan Papua.

Banyak di antaranya hadir di pesta adat Maccera Manurung mengagendakan untuk memperoleh batu hidup Pana Batu. Di antaranya ada yang menyakini sebagai batu penguat kulit, daging dan tulang tubuh manusia dari benturan benda keras termasuk hantaman benda tajam. Ada juga yang menginginkan batu hidup tersebut untuk ditempatkan sebagai alat bantu pelaris di ruang-ruang usaha. Wallahualam….

Di mana lokasi Pana Batu yang berbau jahe tersebut umum tidak tahu, hanya orang-orang tertentu para tetua adat di Kaluppini yang mengetahuinya. Dari mereka itulah dapat dipesan potongan-potongan Pana Batu dalam ukuran paling besar seperti telur puyuh.

Pecahan Pana Batu sebesar biji asam yang saya peroleh lebih 10 tahun lalu di Kaluppini kini ukurannya sudah dua kali lebih besar. Suatu kali saya melanggar larangan untuk tidak membawa Pana Batu tersebut berhujan-hujan, ternyata dalam beberapa saat memang seluruh tubuh terasa dirayapi gatal. Dilihat dari warna dan urat-uratnya, Pana Batu juga terasa indah untuk dijadikan sebagai batu permata cincin.

Andi Makkulawu, mantan Kepala Satpol PP kota Makassar pengolektor batu-batu alam dalam bentuk alami yang dalam cabang seni batu alami di Jepang disebut Suiseki tersebut, juga mengaku pernah menemukan penampakan sosok misteri dari sebuah batu alam koleksinya yang diperoleh dari Jawa Barat. (Simak tulisan Kompasiana terdahulu: Merangkai Keindahan di Balik Misteri Batu-batu Mulia).

Putra Jaya, juga seorang pecinta batu mulia di Kota Makassar pernah memperlihatkan sebuah batu koleksinya berwarnaputih keruh. Batu sebesar biji jagung tersebut apabila diletakkan dalam mangkuk berisi air, secara perlahan akan lenyap dari pandangan. Wujudnya seolah menyatu dengan warna bening air karena jika diraba ke dalam mangkuk batu tersebut tetap ada.

[caption id="attachment_354130" align="aligncenter" width="480" caption="David Loginda (kiri) berpose bersama Yusri pemerhati batu mulia/Ft: Mahaji Noesa"]

14255603131163253622
14255603131163253622
[/caption]

Masih banyak cerita unik dan bahkan terasa aneh-aneh selain menyangkut keindahan warna dan motif tentang batu-batu alam Indonesia yang selama ini dikejar para pecinta batu-batu mulia. Di tengah banyak pengujung pengolah dan penjual batu-batu mulia di teras pelataran barat lapangan bekas MTQ kota Kendari, Kamis (5/3/2015) siang, David Loginda (75) memperlihatkan sebuah cincin yang digunakan, batu permatanya setelah beberapa detik dipanasi dengan colokan api korek gas lantas mengeluarkan sinar merah keras. Demikian pula saat cincin dimasukkan dalam air aqua gelas serta merta menyemburkan cahaya merah yang sangat terang, menarik perhatian pengunjung dan para penjual batu-batu mulia.

Menurut David yang Wakil Ketua Departemen Pembinaan dan Pelestarian Benda-benda Sejarah dan Warisan Tolaki di Dewan Pengurus Daerah Lembaga Kerapatan Adat Tolaki (Ampuno Mokole) yang dibentuk tahun 2014 kemarin, cincin berpermata merah tersebut diperoleh dari seseorang di kabupaten Konawe.

Tidak diketahui jenis batu tersebut. Tapi pastinya, menurut David, bukan batu tapi mustika atau kulau. Batu Mulia itu dibedakan dengan ciri memiliki urat, motif dan warna-warna yang menarik. Sedangkan batu mustika atau kulau selain motif dan warnanya indah punya keunikan tersendiri, seperti mengeluarkan sinar jika tersentuh air, batu yang ketika diguncang seolah memiliki biji di dalamnya, suhu badan seseorang menjadi hangat saat menggenggam batunya, dan berbagai keunikan lainnya.

David pun tidak tahu apakah batu permata cincinnya yang menyemburkan cahaya merah terang ketika dipanasi atau disentuh air masuk jenis batu mirah delima, mustika lipan atau mustika ular. Belum ada seseorang yang dapat menebak jenis batu permatanya tersebut. Pastinya, katanya, pemberi batu itu mengaku memperoleh setelah menyaksikan dua ekor ular berkelahi di hutan, dan kedua ularnya mati.

14255612691509916675
14255612691509916675
Batu alam mentah seperti ini juga laris terjual/Ft: Mahaji Noesa

1425561378670321628
1425561378670321628
Cantik menawannya sejumlah batu alam Indonesia yang telah diolah menjadi permata cincin/Ft: Mahaji Noesa

Maraknya bermunculan penggemar batu mulia sekaligus memunculkan kekayaan batu-batu mulia jenis baru yang selama ini hanya terpendam di berbagai daerah di Indonesia. Di pasaran batu-batu mulia kota Kendari kini sedang digemari jenis Batu Ereke asal kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Batu mulia berwarna hitam dengan urat bergaris putih kilap timah garis tersebut setelah diolah menjadi permata cincin atau liontin kini dijual antara Rp 500 ribu hingga Rp 800 ribu per buah.

Pengolahan batu-batu alam yang diubah dalam berbagai bentuk, seperti dijadikan batu permata cincin dan perhiasan lainnya sudah lama dikenal di Jepang sebagai cabang seni batu alam Biseki. Episode cerita batu mulia kemungkinan, dalam waktu tak lama akan berlanjut dengan akan munculnya penggemar Seni Batu Alami yang dikenal sebagai seni Suiseki di Jepang.

Banyaknya potensi berbagai jenis batu mulia di berbagai daerah di Indonesia ke depan sangat memungkinkan pengembangan SeniBatu Alami seperti telah lama ditekuni Andi Makkulawu di kota Makassar.

Video Batu David bersinar terang ketika dicelupkan dalam gelas berair
https://www.youtube.com/watch?v=zKl85PiAH3I

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun