Seperti biasa, aku turun dari kereta yang selalu penuh sesak. Langkahku menjejak peron panjang yang berdenyut dengan hiruk-pikuk manusia. Pagi yang seharusnya membawa kedamaian berubah menjadi bising, suara obrolan orang-orang menyerupai riak air yang tak kunjung reda. Tapi, di tengah keramaian ini, aku justru merasa hampa. Hatiku, seperti kerupuk yang tersimpan di kaleng besar, dingin dan rapuh. Terhimpit di antara banyaknya jiwa, namun sepi—seolah aku tak benar-benar ada.
Aku melirik jam yang tergantung di atas sana, waktu masih tersisa sebelum aku bertemu teman-temanku. Namun, daripada menunggu dalam kehebohan yang tak berbelas kasih, kakiku membawa tubuhku ke ujung peron, sudut paling sunyi di stasiun itu. Seakan hatiku, yang sudah membeku dan kosong, perlu dipertemukan dengan keheningan yang setara. Aku hanya ingin duduk di sana, tanpa harapan, tanpa keinginan. Aku ingin dingin meresap hingga ke tulang, seolah dengan begitu, rasa sunyi ini akan mati perlahan.
Entah kapan perasaan ini mulai mencabik diriku. Apakah sejak pertemuan tak terduga kita setelah sekian lama? Atau saat dirimu hadir di ingatanku ketika kereta melaju pulang dari pertemuan itu? Atau mungkin ketika aku, bodoh sekali, mulai berharap untuk bertemu denganmu lagi, meski tahu harapan itu sia-sia. Saat kau membagi rahasia-rahasia yang hanya aku yang tahu, aku merasa terpilih, istimewa. Namun, mungkin juga itulah yang akhirnya memisahkan kita, menjauhkan kita bagaikan kutub utara dan selatan, tak pernah bisa bersentuhan lagi.
Tapi, sungguh, tak mungkin yang terakhir. Karena meski kau menodongkan pisau tepat ke dadaku, melukai hati yang sudah terlalu sering terluka, aku akan tetap memaafkan mu. Bukankah kita sudah 'baik-baik saja' sekarang?
Aku sudah tenggelam dalam banyak buku selama sebulan terakhir, berharap menemukan jawaban atas teka-teki perasaan ini. Tapi, setiap halaman selalu kembali pada kata sakti itu—cinta. Tapi, bukan cinta, kan? Tidak mungkin sesederhana itu.
Di tengah kekacauan dalam pikiranku, aku melangkah keluar dari peron. Pura-pura melihat ke sekeliling, padahal hatiku hanya mencari sosokmu. Seperti orang gila, berharap semesta berbaik hati dan mempertemukan kita. Bahkan sekedar sapaan singkat saja, sudah cukup. Aku berdoa dalam hati, berharap radar hidupmu menangkap sinyal rinduku di keramaian ini. Tapi, tak ada tanda-tanda mu. Tidak ada.
Sore harinya, di stasiun yang sama, aku menaiki kereta untuk pulang. Di luar, hujan deras turun, seperti memantulkan badai yang bergemuruh di dalam hatiku. Aku memilih duduk di tepi jendela, menatap keluar ke langit kelabu, sementara musik yang kukira bisa menenangkan batin justru berputar menjadi suara-suara yang paling ingin ku hindari—suaramu. Suara tawa kita, obrolan yang hanya kita yang mengerti, kembali menggema. Aku ingat betul momen ketika kita tertawa bersama, momen ketika petikan gitarmu menyanyikan lagu yang diam-diam menjadi favoritku hanya karena kamu yang membawakannya.
Aku merasa sekarat. Ini tidak mungkin cinta, kan? Tapi semakin aku menyangkal, semakin perasaan itu menancap dalam. Mungkin aku memang gila. Gila karena mu.
Malamnya, aku terbaring di sudut kasurku, tenggelam dalam pikiran yang tak pernah mau berhenti menggangguku. Aku membaca komik cinta yang tragis. Dan bodohnya, aku membayangkan kita adalah tokoh-tokoh itu. Terutama dirimu, begitu cocok dengan peran utama yang jauh, tak terjangkau, tapi sangat dirindukan. Jika saja kita masih dekat seperti dulu, aku pasti sudah mengirim tangkapan layar komik itu padamu. Kita akan tertawa, bercanda sampai larut malam. Kau akan bercerita panjang lebar tentang hidupmu yang sibuk, dan aku akan mendengarkan dengan sabar, menanggapinya dengan nasihat yang kuberikan sebagai seorang teman.
Tapi, apakah kita benar-benar masih teman?
Malam itu, air mataku mengalir tanpa bisa aku hentikan. Ada rasa sesak yang semakin sulit aku tanggung. Aku tak tahu bagaimana lagi cara mengungkapkan semuanya dengan lebih jelas. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti—aku merindukanmu. Terlalu merindukanmu, hingga rasanya seperti sesak yang tak akan pernah hilang.