Twitter itu medium, medium tidak pernah salah, tapi bisa disalahgunakan, [jadi] bukan Socmed yang diatur tapi perilaku pengguna terutama melalui hukum yang ada.
Nukman - online strategist & founder Virtual Consulting-
Kemarin dan hari ini beberapa media online sempat memberitakan pernyataan Menhan Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan bahwa Twitter sebagai salah satu bentuk ancaman non-militer, dan hal ini langsung santer menjadi pembicaraan oleh para pengguna twitter yang mayoritas sudah pasti menolak keras anggapan dan pernyataan tersebut. Banyak ungkapan, mulai dari kupernya sang menteri yang tidak punya akun twitter, hambatan dan pengingkaran terhadap keterbukaan akses informasi, dan pertanyaan apa bentuk riil ancaman yang dilakukan oleh twitter.
Dalam situs Wikipedia,dijelaskan Ancaman non-militer atau nirmiliter memiliki karakteristik yang berbeda dengan ancaman militer, yaitu tidak bersifat fisik serta bentuknya tidak terlihat seperti ancaman militer. Ancaman Non-Militer dikatakan memiliki beberapa dimensi, yaitu: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, dan keselamatan umum. Jika menilik pada pernyataan pak Menhan, maka Twitter bisa saja dikategorikan sebagai ancaman berdimensi politik melihat potensinya untuk menumbangkan suatu rezim di negara lain. Tentu ini tidak/belum terjadi di Indonesia, tapi tidak menutup kemungkinan untuk hal-hal tersebut.
Twitter sebagai sebuah layanan sosial media jika ditelusuri dari sejarahnya tidak dibangun untuk memiliki kepentingan politis/militer.
Tidak tepat jika beranggapan twitter yang ditujukan sebagai media sharing information sebagai sebuah ancaman, sementara apa isi informasi yang ingin disampaikan adalah tergantung si pengguna. Namun, apa yang dikatakan pak Menhan tentu ada perspektif dan kejadian yang menyebabkan beliau berkata demikian.
Sejarah sosial media (baca: twitter) yang dimanfaatkan sebagai media pergerakan sosial politik mulai dikenal sejak Revolusi 2007 di Moldova. Layanan sosial media terutama yang berbasis micro blog, sering digunakan untuk Penolakan Sosial (Social Resistence) maupun Civic Investigation (mirip Citizen Journalism), dan pergerakan yang di"komando"i oleh twitter dikatakan sebagai Twitvolution, tulis Andy Lee. Dinamika politik mikro yang berubah tiap hari ini selalu menjadi topik bahasan yang tiada habisnya, terutama di publik twitter indonesia, sehingga bisa saja dan wajar jika ada kekhawatiran pemerintah sebagai penguasa, meskipun tak cukup beralasan.
Di beberapa pemerintahan negara otoriter di dunia seperti Cina, mereka memberlakukan pembatasan akses dan blokir terhadap layanan sosial media di negaranya. Dalam beberapa hari terakhir, kita juga disuguhkan berita tentang "hebat"nya sebuah layanan sosial media dalam memobilisasi massa anti pemerintah di Tunisia maupun Mesir. Bahkan Mesir memberlakukan pemblokiran terhadap sejumlah akses layanan sosial media tidak hanya pada twitter saja tapi juga Facebook, Youtube, dll.
Apakah pemblokiran sendiri efektif dalam membendung gerakan massa sosial-politik? Tentu tidak. Tidak ada yang benar-benar bisa memblokir internet. Dari sebuah diskusi dengan rekan di China, mereka masih bisa mengakses twitter dengan sedikit modifikasi menggunakan VPN/SSH, sementara informasi yang saya dapatkan bagaimana orang-orang di Mesir mengakali pemblokiran twitter, karena pemerintah disana hanya memblock DNS, yaitu dengan menggunakan http://128.242.245.148 untuk twitter dan http://69.63.189.11 untuk facebook.
Tanpa menghakimi pengetahuan pak Menhan tentang twitter, apakah beliau tahu, memahami dan menggunakan, ternyata ada 3 aliran pendekatan dalam upaya memahami perkembangan teknologi komunikasi, yaitu Dystopian, Neo-Futuris dan Tekno-Realis. Heru Nugroho, Direktur CCSS, dalam tulisannya "Teknologi Informasi dan Kemerdekaan Ruang Publik" mendeskripsikan secara singkat 3 pendekatan tersebut. Dystopian memiliki kehati-hatian dan bersikap kritis terhadap penerapan teknologi komunikasi, sebab dampak yang ditimbulkan adalah pengacauan kehidupan sosial politik (dan ini tampaknya yang menjadi pemahaman pak Menhan). Neo-Futuris lebih mudah dalam penerimaan hal-hal baru, menganggap teknologi dengan kecepatan tinggi mampu meletakkan dasar kerja untuk masa depan yang penuh harapan, dan mereka menegaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi berpengaruh secara baik terhadap proses politik. Sementara Tekno-Realis menggabungkan dua pendekatan sebelumnya, dan mengambil jalan tengah dalam penerapan teknologi komunikasi dan dampaknya dalam masyarakat, namun satu hal yang mereka tekankan adalah: Teknologi tidak netral, ada kontrol dan kepentingan dibalik penggunaan media. Dengan penjabaran di atas kita bisa mengetahui pendekatan mana yang kira-kira digunakan beliau dalam memahami perkembangan teknologi komunikasi, terutama sosial media, twitter.
Twitter sebagai sebuah layanan sosial media jika ditelusuri dari sejarahnya tidak dibangun untuk memiliki kepentingan politis/militer. Tidak tepat jika beranggapan twitter yang ditujukan sebagai media sharing information sebagai sebuah ancaman, sementara apa isi informasi yang ingin disampaikan adalah tergantung si pengguna. Atur penggunaannya dan yang paling penting, seperti yang dikatakan Budiman Sudjatmiko, "Jangan sampai kena Husni Mubarok Syndrome"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H