Mohon tunggu...
Alexander Sugiarto
Alexander Sugiarto Mohon Tunggu... -

Lahir di kampung (daerah Klaten), sekolah SLA dan kuliah di kota (Solo), ngeburuh di Jakarta. Pernah jadi kolportir iklan di Majalah Trubus dan Teknologi. Reporter di Majalah Merpati Putih, Garuda Onboard, Merpati inflight, Koordinator Reporter Tablid VISI (Perdami), Redpel Majalah Ekoinfo, Pemred CBS Telkomsel, Data Controller proyek OHSAS dan ISO di PT Pertamina, Sangasanga (Kaltim), Penulis dan Editor Majalah Katiga, Copywriter di beberapa Perusahaan Periklanan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jenglot

2 September 2010   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak tahu dari mana rimbanya, manusia jenglot tiba-tiba saja sudah ada di rumah kami. Keluarga kami yang lain memandangnya dengan penuh takajub, karena selama ini mereka memang belum pernah melihatnya. “Wow seluruh badannya bertato, lho,” jerit adik saya. Dari hari ke hari, perbincangan kami selalu diwarnai dengan ulasan mengenai manusia jenglot ini. Hampir rata-rata anggota keluarga kami kurang menaruh respek padanya, hanya ada salah satu keluarga kami yang jadi tergila-gila padanya. Padahal ketika pertamakali tahu kehadirannya ia sangat tidak peduli dan terkesan memusuhi.

Minggu pertama setelah kedatangan manusia jenglot, baru saya tahu bahwa kedatangannya memang bukan atas inisiatif bapak dan ibu. Menurut sumber-sumber yang tak mau disebutkan namanya, ia sengaja didatangkan oleh pihak ke tiga, tepatnya keluarga jauh kami. “Anak-anak..,” suatu malam bapak yang didampingi ibu membuka pembicaraan di ruang makan. “Kamu tahu kan pakde Farid Kerpo yang paranormal di Pondok Gundah?” katanya di suatu malam. Selanjutnya secara panjang lebar bapak menguraikan latar belakang, tujuan dan goal attainment-nya (hasil akhir yang akan dicapai). Menurut bapak, kekayaan keluarga kami perlu dilindungi. Ini semua dilakukan agar kelak kami anak-anaknya dapat mewarisinya. Bapak meyakinkan bahwa dengan memelihara jenglot, usahanya jadi lancar dan kekayaannya akan bertambah ruah. “Kata pakdemu, jenglot itu sangat pintar nyari duit, lhe,” katanya kepada saya, saat berdua di beranda depan, suatu petang.

Saya hanya diam seribu bahasa, tak menanggapi ocehan bapak. Sementara di kepala saya sebenarnya telah tersedia banyak counter-attack yang bisa langsung menohok statemen bapak. Bagaimana mungkin manusia jenglot bisa menjaga kekayaan, wong dirinya sendiri kini lagi nyari kekayaan dan masih doyan makan nasi-bukan kembang menyan? Bagaimana mungkin ia pinter nyari duit, wong pengalaman dan kepintaranya juga masih di garis rata-rata? Bapak rupanya lupa bahwa lima orang anak-anaknya adalah lulusan perguruan tinggi dengan jam terbang kerja yang juga tinggi. Tapi susah memang mengubah mind state bapak yang sudah kadung haqulyakin. Sekedar berkompromi dengan kemauan bapak, akhirnya kami menurutinya. Ceritanya kami, dalam segala hal harus tunduk pada kemauan manusia yang didatangkan bapak itu. Sebulan dua bulan belum kelihatan, kami pun masih sabar menunggu. Waktu hampir berjalan satu tahun, kekayaan bapak tergerogoti namun tak menjadikan kesadarannya terusik. Kami semua hanya bisa mengelus dada dan prihatin menghadapi situasi ini. Secara pribadi saya menemukan, bahwa jenglot ini makin lama makin besar kepalanya. Ini karena bapak terus saja memperlakukannya dengan baik.

Sering saya pergoki, bapak berdua dengannya minum kopi sambil mengintip gadis-gadis kampung yang sedang mandi di kali. Pernah pula tetangga kami beberapa kali menemukan mereka sedang bersenang-senang di diskotik, panti pijat dan arena lokalisasi kota karesidenan yang letaknya 30 km dari kampung kami. Kami anak-anaknya tak bisa mengubah tabiat bapak untuk tidak melakukan maksiat, karena konon itu menurun dari kakek bapak. Untung kami berlima tidak otomatis terjangkiti tabiat yang memuakkan itu. Secara genetis biologis kami memang anaknya tetapi secara skeptis ideologis kami tak lain adalah musuhnya. Setelah berjalan dua tahun, segenap anggota dewan kehormatan yang terdiri dari anak-anak, tetua, dan para profesional yang disewa bapak, mengadakan evaluasi. Diperoleh kesimpulan bahwa sejak bapak memelihara jenglot, harta kekayaan bapak berkurang lebih dari 400 milyar. Mengetahui hal itu, bapak tampak sok, hatinya hancur, segala rencana ke depan di bidang investasi jadi kandas. Yang tak kalah ketiban apes adalah kami.

Dua tahun tak menerima bonus. Kami hanya saling pandang ketika tanpa tahu dari mana masuknya, si jenglot itu sudah berada di tengah-tengah kami. Hampir saja kami membantainya bareng-bareng dan membuangnya ke laut namun dari arah belakang terdengar suara bapak, “Namanya juga manusia, nggak ada sempurnanya,” katanya, coba mendinginkan suasana panas dari bara api di kepala dan hati kami. “Sudah tahu bikin ancur, kenapa pula bapak masih memeliharanya, sih?” sergap adik saya, sedikit kasar.

Bapak tampak diam dan dalam hati sebenarnya tersembul rasa kasihan tapi tak kami perlihatkan. “Dulu sebelum bapak memelihara jenglot, usaha kita lancar. Kami semua lebih kompak, suasana persaudaraan kami sangat menyenangkan dan adem ayem. Kenapa bapak lebih percaya jenglot daripada anak sendiri untuk memimpin armada rumah tangga ini?” hardik adik yang lain, tak kalah sengitnya. Lagi-lagi bapak tampak terpojok di sudut ruangan tempat kami berkumpul. Mendengar percakapan yang panas ini si jenglot kemudian urung ke belakang. Kami kemudian dikejutkan oleh suara tangis sesenggukan seseorang. Kami mengira itu tangis ibu tapi setelah mendekat barulah kami tahu bahwa si jenglot tengah berjalan sambil membawa surat pengunduran diri dan lalu menyerahkannya kepada bapak di hadapan kami. “Iya, kamu memang pantas mengundurkan diri karena sejak kamu di sini kami terus merugi,” kata bapak, tak semanis seperti dulu lagi.

Pagi hari-bulan ke dua puluh enam, bapak dan ibu memanggil kami ke ruangan tengah. “Maafkan bapak, anak-anakku, selama ini bapak salah pilih,” katanya, datar sekali.”Ini semua gara-gara bujukan pakdemu Farid Kerpo itu,” katanya memberi alasan. Bapak tidak benci dan tidak akan memperkarakan si jenglot meski bapak tahu, hartanya telah berkurang drastis dan banyak aset-aset yang diselewengkan selama ia di rumah kami. Sebelum rapat keluarga ini bubar ibu dengan tulus mewanti-wanti agar kami selalu baldatun thoyyibatun wa robbun gofur. (berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya,-red.) Baru tiga langkah kaki saya beranjak dari ruangan, ibu tiba-tiba menggamit tangan saya sambil membisikkan sesuatu yang menyejukkan hati. “Sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate mesti bakal mulih marang mula-mulanira lan sirna.” (Kalau sudah sampai waktunya, segala sesuatu di dunia ini akan kembali ke asalnya dan sirna). “Saya tahu pasti bu, jenglot juga manusia dan ia akan kembali ke asalnya, sirna ditelan bumi!”, kata saya, tak kalah filosofis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun