Aku sadar bahwa aku dilahirkan untuk diinjak-injak. Setidaknya itulah pengertianku tentang diriku. Sebagai bagian dari fasilitas kota, jelas aku layak disebut anak kota, sebab yang aku tahu, tak ada kata trotoar yang hidup di kampung-kampung. Hanya saja kini aku mulai gerah lebih tepatnya geram dan geregetan. Meski aku telah menerima kodratku sebagai pihak yang diinjak-injak, aku sering menerima perlakuan yang lebih dari itu. Kalau diinjak kaki, itu mah pekerjaanku tapi di luar itu kini aku harus ditimpa injakan roda motor yang di atasnya bertengger seorang atau dua orang manusia yang menggilasku tak kira-kira. Kalau itu dilakukan oleh orang-orang awam yang bukan penertib lalu lintas, sementara aku masih bisa memaklumi.
Aku sering sedih mengalami itu, sebab tak jarang seseorang yang dengan gagah pakai seragam polisi lalu lintas dengan seenak udelnya sendiri menerjangku dan itu juga menimpa saudaraku si jembatan penyeberangan. Aku sering berteriak keras, namun tak pernah ada yang mendengarnya. Ini hanyalah salah satu sisi yang bisa aku paparkan di sini. Sisi-sisi yang lain selama aku memangku jabatan sebagai trotoar begitu banyak dan bahkan tak terbilang jumlahnya.
Suatu kali aku yang memiliki area jalan utama ibukota, memanggil rekan-rekan trotoar lain yang berada di wilayah jabodetabek untuk sekedar kumpul temu kangen karena sudah sekian lama kami tak pernah bisa berkomunikasi. Dari beberapa yang datang ada tercetus ide untuk mengusulkan sebuah peraturan kepada pejabat daerah setempat agar diberlakukan ketentuan baru. Mereka merasakan kegetiran yang sama seperti yang kualami. Kami telah diperlakukan di luar ketentuan yang seharusnya dibebankan kepada kami. Sekedar contoh saja, kami tak hanya menerima beban dari para pejalan kaki. Fungsi kami telah diperlebar menjadi teba obyek yang makin luas, mulai dari tempat melintas kendaraan roda dua, tempat pacaran, tempat penyusunan rencana jahat, transaksi narkoba, petak umpet para polisi menarik uang damai, mejengnya para psk dan kaum waria, mangkalnya para korlap demonstrasi, dan seuabreg urusan lain di luar pekerjaan kami. Dengan bahasa kami, beberapa kali kami sampaikan keluhan ini kepada para petinggi kota, namun suara kami bagai gaung yang ditelan gurun sahara. Dari hari ke hari, bulan ke bulan , tahun ke tahun, dari rejim lama ke rejim baru, sama saja, kami tetap diperlakukan tidak adil.
Dalam pandangan kami, seharusnyalah yang memakai kami di luar pekerjaan kami dijerat dengan pasal undang-undang sehingga mereka tak akan melakukannya lagi. Namun rupanya, itu tak tersentuh sedikit pun. Yang jelas, setiap kali ada kesempatan kami dibongkar pasang tanpa disertai dengan penegakan peraturan tentang peruntukan bagi kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H