Mohon tunggu...
Agus Maulana
Agus Maulana Mohon Tunggu... -

Untuk Indonesia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Pemimpin Antitesa

5 Juli 2014   10:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:24 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagian rakyat Indonesia yang peduli dengan negaranya sudah bosan dengan sosok pemimpin model lama (status quo), cuma bisa janji tapi ternyata sama saja, korup dan tidak mensejahterakan rakyatnya. Kekayaan tetap menjadi milik sebagian kecil kelompok masyarakat dan para pejabat. Indonesia yang kaya raya tetap kalah oleh negara-negara yang sumber daya alamnya jauh lebih terbatas, bahkan oleh negara yang jauh lebih kecil.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka menjadi tidak mengherankan saat seorang Jokowi tampil di berbagai media nasional dan luar negeri dalam bentuk sosok yang lain atau antitesa dari sosok-2 pemimpin status quo, jujur (lugu), merakyat, dapat dipercaya, ditambah dengan segudang prestasinya saat menjadi walikota Solo, Jokowi benar-benar tampil sebagai sosok antitesa, sosok pemberi harapan baru bagi Indonesia.

Sebaliknya, sosok Prabowo yang lekat dengan orde baru, militer, serta isu penculikan dan kerusuhan Mei 1998, menjadi sosok yang dianggap sosok status quo atau sama saja dengan pemimpin-2 sebelumnya, otoriter dan korup.

Persepsi atas kedua sosok Jokowi dan Prabowo itupun tercermin dari hasil survey popularitas atau elektabilitas keduanya sebelum masa pemilu legislatif (pileg). Elektabilitas Jokowi jauh di atas elektabilitas Prabowo, 68% berbanding 15 %, sebagaimana dipresentasikan pada bulan September 2013 oleh Stan Greenberg, konsultan politik kelas dunia yang pernah menjadi konsultannya Bill Clinton, Al Gore, Kanselir Jerman, dan beberapa pemimpin dunia lainnya. (http://www.suarapembaruan.com/home/stan-greenberg-konsultan-politik-bill-clinton-teliti-elektabilitas-jokowi-61-persen/42639)

Seiring berjalannya waktu elektabilitas Prabowo meningkat pesat sementara elektabilitas Jokowi justru menurun dan hingga dua minggu menjelang pencoblosan pilpres, elektabilitas Prabowo mulai menyalip elektabilitas Jokowi, kenapa bisa begitu? Apakah rakyat Indonesia tidak lagi peduli dengan masa depan Indonesia atau tidak ingin ada perubahan hingga lebih memilih sosok yang “sama saja” dengan sosok-sosok pemimpin sebelumnya?

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dijelaskan oleh beberapa faktor:

Faktor pertama adalah beredarnya isu agama Jokowi yang sempat diisukan sebagai non muslim, bahkan sempat diisukan pula kalau Jokowi adalah warga keturunan Tiongkok. Isu ini telah beredar sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu yang hasilnya adalah Jokowi memenangkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017. Dengan kemenangan Jokowi dalam pilgub DKI Jakarta tersebut menunjukkan bahwa isu SARA ini, kalaupun berpengaruh, tidaklah terlalu signifikan dalam menurunkan elektabilitas Jokowi, apalagi saat pilgub DKI tersebut Jokowi berpasangan dengan Ahok yang merupakan warga keturunan Tiongkok dan non muslim.

Dalam periode Pilpres, penulis beranggapan bahwa timses Jokowi melakukan kesalahan yang justru membuat isu SARA ini menjadi faktor yang lebih menurunkan elektabilitas Jokowi, walaupun masih belum terlalu banyak. Timses Jokowi telah gagal mengantisipasi calon pemilih yang belum mementukan pilhannya (swing voters), yang umumnya rasional. Dengan tetap berusaha menampik isu SARA tersebut, timses Jokowi menjadi kurang menggarap isu-isu yang lebih penting bagi swing voters. Ditambah lagi, upaya menangkal isu SARA tersebut dilakukan dengan cara-cara yang kontra produktif, seperti menunjukkan Jokowi sedang shalat, bahkan menjadi imam shalat. Cara-cara ini malah menjadi pertanyaan bagi swing voters, apa iya harus sebegitunya untuk menunjukkan bahwa Jokowi itu muslim, bisa shalat dan bahkan layak menjadi imam shalat, sementara bacaan shalatnya masih bermasalah. Di sisi Prabowo, yang juga tidak luput dari isu agama, karena dari empat bersaudara, hanya Prabowo yang beragama Islam, justru timses Prabowo tidak berusaha menangkal isu tersebut. Tidak ada upaya menunjukkan Prabowo sedang shalat, apalagi menjadi imam shalat. Kalaupun ada pemberitaan Prabowo sedang shalat, dia selalu menjadi makmum. Timses Prabowo telah berhasil menunjukkan bahwa Prabowo muslim dan dia memang tidak/belum layak menjadi imam di lingkungannya yang lebih Islami. Lebih elegan, apa adanya.

Masih berkaitan dengan isu agama, timses Jokowi beberapa kali mengklaim dukungan dari beberapa ulama besar di Indonesia yang belakangan dibantah oleh para ulama-ulama tersebut. Pada kenyataannya, justru Prabowolah yang lebih banyak mendapat dukungan ulama-ulama besar di Indonesia. Timses Jokowi disadari atau tidak telah mempertontonkan ketidakjujuran pada masyarakat, padahal kejujuran adalah salah satu “kelebihan” Jokowi. Dalam hal ini, timses Jokowipun masih beranggapan hal tersebut diakibatkan oleh isu agama yang menurut mereka terus dihembuskan oleh simpatisan Prabowo yang mempengaruhi para ulama-ulama besar tersebut dalam memberi dukungannya. Sebuah pandangan yang merendahkan kredibilitas dan martabat ulama-ulama besar di Indonesia. Apakah ulama-ulama besar akan begitu mudahnya percaya pada isu-isu murahan? Apakah mereka tidak bisa menilainya sendiri saat Jokowi berkunjung ke kediaman para ulama-ulama tersebut? Sebuah pandangan yang kontra produktif, karena menyinggung perasaan ulama dan santri-santrinya. Timses Jokowi juga luput atau pura-pura mengabaikan fakta, bahwa Prabowo telah berinteraksi dengan banyak ulama sejak lama, sementara Jokowi baru memulainya. Prabowo bahkan mengenal cukup dekat beberapa ulama besar Timur Tengah, yang sebagiannya merupakan “guru” bagi beberapa ulama di Indonesia.

Sejarah PDIP dan beberapa pendukungnya, serta beberapa pernyataan timses yang berkaitan dengan agama, yang dinilai anti Islam juga berperan penting dalam menurunkan dukungan pada Jokowi dari kelompok masyarakat yang mengutamakan agama dalam menentukan calon pilihan mereka. Sulit bagi Jokowi untuk tampil prima atas nama agama, karena hal-hal tersebut.

Kubu Jokowi seharusnya bersikap low profile dalam isu agama dan lebih berkonsentrasi menggarap “kelebihan-kelebihan” Jokowi yang sudah terbukti berhasil mengangkat elektabilitasnya. Mencoba menyaingi Prabowo dalam hal kedekatan dengan ulama merupakan kemubaziran waktu dan tenaga. Seperti telah dituliskan di atas, timses dan pendukung Jokowi terlalu banyak menghabiskan waktu dan tenaga mengurusi isu agama ini, yang menurut penulis justru tidak terlalu banyak berpengaruh lagi dalam pilpres, khususnya bagi swing voters, sebaliknya usaha mereka justru mengakibatkan kontra produktif dalam mengusung isu “kejujuran”.

Faktor kedua adalah sikap dan cara capres-cawapres, timses serta simpatisannya. Kubu Jokowi, sejak pilgub sudah dikenal dengan pernyataan-pernyataannya yang kurang simpatik, khususnya di media sosial. Seringkali menggunakan kata-kata kasar serta menafikan argumen-argumen yang logis secara universal. Seolah-olah mereka menganggap tidak ada swing voters. Swing voters mencari alasan logis yang sederhana, konsisten dengan nilai-nilai yang dibawa oleh para capres-cawapres, bukan argumen “pokoke”, serta mereka ingin merasa “comfortable”, bukan justru merasa risih melihat sikap-sikap yang kurang simpatik. Di sisi lain, pendukung Prabowo umumnya adalah kelompok yang menghindari diskusi yang tidak produktif, sehingga lebih banyak diam. Diamnya pendukung Prabowo dinilai seolah-olah sedikitnya pendukung Prabowo oleh kubu Jokowi. Merekapun beranggapan cara-cara mereka berkampanye sudah tepat, yang justru menimbulkan antipati tidak hanya dari pendukung Prabowo tapi juga dari swing voters. Sikap negatif lainnya yang ditunjukkan oleh kubu Jokowi adalah mereka berkonsentrasi menyerang atau mencari-cari kelemahan Prabowo, mereka kurang atau tidak berhasil mengangkat keunggulan-keunggulan Jokowi yang selalu mereka agung-agungkan. Bahkan Jokowi dan JK sendiripun beberapa kali melakukan hal-hal atau mengucapkan hal-hal yang kurang simpatik dalam kampanye mereka. Merasa didukung oleh capres dan cawapresnya, para pendukung Jokowipun semakin menggila menyampaikan hal-hal yang negatif dengan cara-cara yang kurang simpatik di sosial media. Di sisi lain, Prabowo selalu meminta timses dan pendukungnya untuk bersikap santun, tidak membalas setiap cacian atau fitnah, sebuah sikap yang simpatik, ditambah denganterkuaknya sedikit demi sedikit beberapa hal positif tentang Prabowo yang tidak pernah diketahui selama ini, citra kasar dan otoriter Prabowopun “terbantahkan”.

Faktor ketiga adalah konsistensi citra. Faktor ketiga ini seyogyanya menjadi konsentrasi kampanye kedua kubu. Sayangnya, kubu Jokowi terlalu berkonsentarsi mengurusi faktor pertama dan gagal mengatasi faktor kedua di atas. Akibatnya mempengaruhi konsistensi citra yang selama ini menjadi key succes factors elektabilitas Jokowi. Karakter jujur dan santun mulai terkikis akibat faktor pertama dan kedua di atas.

Originalitas karakter Jokowi yang menjadi kekuatan utama Jokowi mulai dipertanyakan. Kasus mobil esemka yang dibantah oleh Habibie dan beberapa pakar otomotif, serta isu telah dilaporankannya kasus bus Trans Jakarta ke KPK yang dibantah oleh KPK sendiri adalah contoh dari beberapa isu yang menambah turunnya nilai “kejujuran Jokowi”. Beberapa kasus hukum yang mulai disampaikan ke penegak hukumpun tak pelak mempengaruhi persepsi swing voters terhadap karakter “bersih” Jokowi. Kesan keberpihakan Kejaksaan Agung dan KPK semakin menggerus citra bersih Jokowi.

Demikian pula dengan laporan-laporan BPK, serta keluhan masyarakat menggerus persepsi “kesuksesan” Jokowi mengelola Solo dan Jakarta.

Terkuaknya bahwa Jokowi ternyata cucu seorang Lurah dan anak seorang pengusaha mebel yang cukup sukses mematahkan klaim Jokowi bahwa dia pernah hidup susah. Demikian pula dengan terkuaknya bahwa selama menjadi walikota Solo ternyata Jokowi sering menggunakan jas lengkap dengan dasinya membantah “kesederhanaan” dan karakter “merakyat”-nya Jokowi.

Debat capres dan cawapres menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan elektabilitas. Secara umum Jokowi dinilai belum memiliki visi seorang pemimpin negara disamping kekurangpahamannya atas permasalahan utama Indonesia. Dalam debat inipun, Jokowi mempertontonkan kepongahannya, bertolak belakang dengan Prabowo yang tampil jujur dan mau menghargai rivalnya.

Kasus penyerangan ke TV One yang didorong oleh pernyataan elit PDIP, setelah sebelumnya simpatisan PDIP membuat rusuh di Yogya, menjadi mimpi buruk bagi kubu PDIP. Hal ini diperburuk oleh sikap membela diri dari Jokowi dan simpatisannya. Tidak ada pernyataan penyesalan sama sekali dari kubu Jokowi membuat karakter otoriter berpindah dari Prabowo ke Jokowi. Sebaliknya kubu Prabowo tidak mau membalas dan melarang adanya pembalasan, serta menyerahkannya ke penegak hukum.

Originalitas “kelebihan” Jokowi yang jujur, sederhana, bersih dan berhasil semakin tergerus deras. Citra Prabowo yang otoriter, kasar dan korup tidak terbukti bahkan berpindah ke Jokowi. Sebaliknya, karakter jujur dan santun Jokowi berpindah ke Prabowo.

Mungkin karena menyadari bahwa sebagian swing voters ada yang tertarik dengan karakter tegas dan berani, yang melekat pada Prabowo, maka kubu Jokowi berupaya melekatkan karakter tersebut juga ke Jokowi. Usaha yang bukan hanya sia-sia, tapi justru mengurangi usaha mereka menjaga karakter “kelebihan” Jokowi.

Menurunnya keyakinan masyarakat atas “originalitas” karakter Jokowi yang jujur, merakyat dan bersih juga didukung oleh inkonsistensi yang ditunjukkan oleh “tokoh-tokoh besar” di belakang Jokowi, seperti:

·JK yang pernah tidak percaya kemampuan Jokowi jika menjadi presiden akhirnya merapat dan menjadi wakilnya

·Anies Basweldan yang pernah mengatakan bahwa blusukan Jokowi hanya pencitraan merapat menjadi tim suksesnya

·Dahlan Iskan membiayai tabloid Obor Rahmatan Lil Alamin yang menyampaikan berita bohong terkait dukungan ulama-ulama besar pada Jokowi

·Wiranto yang sudah divonis sebagai dalang kerusuhan Mei 98 oleh pengadilan internasional dan namanya tercatat di interpol

·Hendropriyono yang menjabat Ka BIN saat terbunuhnya tokoh HAM, Munir, oleh agen BIN di masa pemerintahan Mega

·LSM Kontras yang didirikan oleh Munir justru berada di kubu Jokowi

Faktor keempat adalah kesalahan mendefiniskan antitesa yang sebenarnya. Seperti telah disampaikan pada aline pertama di atas, antitesa pemimpin nasional didefinisikan secara “sembarang” oleh banyak orang sebagai tampilan luar atau kasat mata, yaitu sosok yang jujur, sederhana, dan bersih. Apakah benar itu yang dimaksud dengan sosok antitesa, yang dapat memajukan Indonesia sesuai dengan potensinya?

Untuk bisa memajukan Indonesia sesuai potensinya, maka kita perlu mengetahui potensi-potensi apa saja yang dimiliki Indonesia dan sumber permasalahannya. Banyak orang yang berpendapat bahwa sumber permasalahan Indonesia adalah korupsi. Jika benar, mengapa begitu sulitnya KPK memberantas korupsi hingga hari ini, bahkan lembaga KPK pun tidak luput dari tuduhan tebang pilih.

Sumber permasalahan Indonesia, yang mengakibatkan korupsi tumbuh subur dan sulit diberantas adalah apa yang selalu dan sering disampaikan oleh Prabowo, yaitu kebocoran kekayaan nasional oleh kekuatan asing dan konglomerat hitam. Merekalah yang “sebenarnya mengelola” negara Indonesia dan membiarkan korupsi terus berlangsung, agar mereka tetap bisa mengontrol para penyelenggara negara untuk membuat kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan yang menguntungkan mereka. Keadilan dan pemerataan kemakmuran hanya tinggal di atas kertas.

Bagi swing voters, pernyataan tersebut membuat mereka tersadar, bahwa itulah antitesa yang sebenarnya. Pengetahuan, pemikiran dan tekad untuk menutup kebocoran, yang mau tidak mau akan mengurangi keleluasaan negara-negara asing dan konglomerat hitam, yang selanjutnya akan membuat Indonesia berubah, mampu menjadi negara yang kaya raya, mandiri dan terhormat.

Pernyataan Prabowo tersebut, yang justru menjadi olok-olok oleh kubu Jokowi, menunjukkan bahwa Jokowi tidak atau pura-pura tidak mengetahui sumber permasalahan Indonesia, sehingga akan sulit baginya memberantas korupsi dan memajukan Indonesia. Ditambah lagi, dibelakang Jokowi penuh dengan konglomerat hitam dan dukungan negara-negara asing, yang terindikasikan oleh dukungan media-media nasional dan internasional, maupun pernyataan-pernyataan langsung.

Konsistensi Prabowo menyampaikan isu “kebocoran” itu, walaupun terus diolok-olok, menujukkan konsistensi dan originalitas pemikiran dan tekadnya. Sebaliknya, olok-olok oleh kubu Jokowi terkesan sengaja untuk menutupi isu kebocoran yang memang ingin mereka pertahankan.

Ternyata Prabowolah sosok antitesa yang dicari-cari selama ini, yang ingin menghilangkan sumber permasalahan Indonesia, yaitu penguasaan negara oleh negara-negara asing dan konglomerat hitam. Sebaliknya, Jokowi justru sosok yang mewakili status quo, walaupun secara lahiriah tampak lain.

Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa upaya menghambat Prabowo memenangkan Pilpres sangat kuat, baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai cara diupayakan, demi menjaga eksistensi mereka menguasai Indonesia yang sangat potensial, baik dari sisi ekonomi maupun geopolitik.

Jadi, apakah anda akan memilih pemimpin yang status quo atau yang antitesa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun