Proyek Raksasa Reklamasi Jakarta (merdeka.com)
Suhu politik Jakarta kembali menghangat meskipun musim banjir melanda kota, namun tak juga mampu mendinginkan suasana.Begitukah hebatnya pilkada DKI 2017 bagai genderang bertalu ,mengubah wacana kita menjadi subyektif,dan serba politis. Semua akan dimaknai dengan kacamata politik yang berbeda beda .
Mungkin ini resiko bagi sang petahana Basuki Cahaya Purnama alias Ahok yang pada pilkada DKI 2017 ini, menurut istilah Syahrini, apapun yang diperbuatnya akan “ Cethar membahana ke seluruh alam semesta” . Termasuk Reklamasi diantaranya telah menjadi isu yang menasional, bahkan menutup isu lain yang mestinya sedang hangat misalnya semaraknya pilkada DKI kali ini yang akan melibatkan para jenderal yang akan ikut bertarung merebutkan DKI 1,yang tentunya akan menjadi pesaing Ahok juga.
Kalau kita menilik potensial problemnya isu reklamasi sebenarnya sudah kadaluwarsa,karena sekarang ini justru tahapannya adalah operasional bukan lagi berpolemik mengotak - atik kembali dasar hukumnya, atau masih menganalisis test benefit ratio-nya , karena semua sudah dilakukan,semua sudah diatur dalam perundang undangan yang ada. Bahkan wacana isu bencana pada proyek reklamasi yang ditiupkan oleh Wahana Lingkungan Hidup ( Walhi) pun, bisa dianggap usang karena tak relevan lagi . Simak perdebatan amdal juga pernah dilakukan pada kasus serupa oleh Menteri KLH Emil Salim tempo dulu dan hasilnya,proyek Ancol ,Pantai Indah Kapuk kini tidak bermasalah, normal adanya .
Soal keberatan nelayan,kenapa dari dulu tidak bersuara ? Kalaupun sekarang baru meributkan ,solusinya kini mendesak ,agar nelayan sekitar lokasi segera diagendakan menjadi subyek yang harus diperlakukan dengan baik, diupayakan untuk memiliki rumah di blok reklamasi,mereka dikaryakan sebagai pekerja untuk mengganti aktifitasnya sebagai mata pencaharian nelayan sebelumnya, langkah bijak ini untuk membedakan era baru adanya revolusi mental aplikasinya bahwa pembangunan proyek reklamasi tetap peduli “ wong cilik “ bahkan menempatkan pada posisi yang dimuliakan diuntungkan, mencontoh seperti model Singapura ,tidak seperti yang kerap terjadi di ibukota selama ini .
Sekarang ini yang penting ialah, langkah untuk solusi kedepannya karena menurut Prinsipal Li Realty, Ali Hanafia mengatakan "Pasalnya, reklamasi ini sudah dilakukan sejak tahun 1990-an. Jadi sangat tidak masuk akal kalau sampai sekarang yang dipermasalahkan perizinan," tuntas Ali.Kompas.com, Selasa (19/4/2016). Menurut Ali "Yang dibutuhkan pasar adalah kepastian. Sementara selama ini, terkait reklamasi sangat tidak jelas. Terlalu banyak kepentingan yang bermain. Yang dirugikan akhirnya pengembang yang bersangkutan.. Ali mengaku, dengan kejadian "gonjang-ganjing" seperti saat ini, ada banyak investor dan calon konsumen yang menunda pembelian untuk produk-produk mereka di luar proyek reklamasi."Ini tidak sehat untuk bisnis properti. Selain terhadap kedua pengembang, kepercayaan pasar terhadap pemerintah juga makin turun.
Kalau masalah dasar hukum,kan sudah jelas,kenapa dibilang tumpang tindih? Ini tidak beralasan karena kalaupun yang dipakai Keputusan presiden (Keppres) tahun 1995 , dan begitu terbit Peraturan presiden (Perpres) Nomor 122 tahun 2012 asas-asas hukum itu ada bahwa hukum yang baru secara otomatis akan menggantikan peraturan lama kalau mengatur yang sama.Hal ini sudah jelas,seperti yang dikemukakan oleh Erwin kallo Ketua Lembaga Hukum Properti Indonesia, Kompas (19/4/2016). Keppres yang dimaksud Erwin adalah Keppres nomor 52 tahun 1995. Isinya mengatur tentang kewenangan Gubernur DKI Jakarta dalam melakukan reklamasi dan aturan tentang tata ruang Pantai utara (Pantura) Jakarta.Tahun 2008, keluar Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang Tata Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) yang membatalkan tata ruang di Keppres nomor 52 tahun 1995.Namun kewenangan izin reklamasi Pantura Jakarta tetap ada di Gubernur DKI Jakarta.
Begitu keluar Perpres 2008 itu akan secara otomatis membatalkan tata ruang 1995 tapi kewenangan tetap pada Gubernur DKI Jakarta. Lalu pada 2012 keluar lagi Perpres nomor 122 tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU pesisir 2007 yang mengatur bahwa kewenangan izin reklamasi untuk kawasan strategis nasional tertentu adalah dari Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP). Setelah itu muncul Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan yang merupakan turunan dari Perpres nomor 122 tahun 2012.
Setelah itu muncul Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan yang merupakan turunan dari Perpres nomor 122 tahun 2012.Permen itu mengatur izin lokasi reklamasi dengan luas di atas 25 hektar dan izin pelaksanaan reklamasi di atas 500 hektar membutuhkan rekomendasi dari MKP.Menurut Erwin, Nah sejak saat itu berarti ,Keppres tahun 1995 sudah tak berlaku lagi karena ketika Ahok mengeluarkan izin reklamasi pada 2014 dan 2015 itu sudah ada Undang Undang (UU) baru.
Problemnya , Ahok memang mengeluarkan lima izin pada 2014 dan 2015 sementara pada saat itu sudah berlaku UU nomor 1 tahun 2014. Menurut Erwin mestinya Ahok, harus ngikutin yang ini dong biar nggak tumpang tindih," tambahnya" . Bagimanapun Reklamasi itu halal dan biasa saja, seluruh dunia juga melakukan reklamasi, tetapi di negara-negara lain reklamasi itu dilakukan oleh negara. Itu yang harus menjadi dasar kajiannya.Demikian pandangan Erwin, namun jika ini dikaitkan dengan pelaksanaan sekarang ini mungkin bisa kita perlu pertajam masalahnya yakni:
Reklamasi harus berprinsip pada UUD 45,dimana lebih mengutamakan kemanfaatan pada hajat hidup orang banyak . Sebagai bukti era baru “ Revolusi mental ”,semua pihak diminta senantiasa mengedepankan sikap kejujuran selain itu lebih berpihak kepada “ wong cilik “ yang selama ini selalu dipinggirkan.