[caption caption="Maroef Sjamsoedin ,Presdir PT Freeport Indonesia"][/caption]Kini seperti menyusul, Setelah bos James R. Moffett, mundur dari Ketua Dewan, co-founder, dan eksekutif FCX, kini giliran Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin pun juga menyusul mengundurkan diri. Dari sumber resmi di Freeport melalui Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, menuturkan Maroef Sjamsoeddin memang sudah mengajukan surat pengunduran diri dari dewan direksi saat ini.
Maroef mundur, di tengah polemik divestasi oleh Freeport. Diapun juga mengiyakan tentang pengunduran Maroef sjamsoedin,"Benar beliau resign. Per hari ini," katanya kepada Okezone lewat pesan singkatnya, Senin (18/1/2016). Prosesi pengunduran diri Maroef Sjamsoeddin agak unik, karena menurut informasi sebelum itu pimpinan PT Freeport McMoran sempat berkirim surat dan memintanya bertahan ,bermakna dia merasa keberatan atas pengunduran diri Maroef . "(sempat ada)
Tawaran perpanjangan dari pimpinan Freeport McMoran (untuk bertahan), (tapi) saya telah berkirim surat pengajuan pengunduran diri sebagai presiden direktur PT Freeport Indonesia," ujar Maroef dalam Interoffice Memorandum PT Freeport Indonesia Management, Senin (18/1/2016).
Memang kesannya terasa agak aneh karena belum lama ,sebelumnya, James Robert Moffett (Jim Bob) juga telah mengundurkan diri dari PT Freeport McMoran. Dengan berakhirnya masa kontrak Maroef, maka dirinya menjabat selama setahun sebagai Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia. “Saya telah berkirim surat pengajuan pengunduran diri sebagai presiden direktur PT Freeport Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, perkembangan proses perpanjangan kontrak kerjasama yang kini sudah sampai kepada pengajuan penawaran saham dengan kondisi sebagai berikut, Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2014,dimana Freeport diminta melepaskan sahamnya sebesar 10,64 persen.
Maka PT Freeport Indonesia mengajukan menawarkan sahamnya sebesar 10,64 persen ke pemerintah Indonesia dengan ketentuan nilai USD1,7 miliar atau setara Rp23,5 triliun (dengan kurs Rp13.800 per USD). Namun,Jika dicermti besaran angka ini dinilai masih terlalu mahal oleh banyak pihak. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Working Group Kebijakan Publik Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso mengungkapkan pada 2014, aset Freeport Indonesia mencapai USD9,1 miliar dengan keuntungan bersih hanya mencapai USD500 juta per tahun.
Ada hal yang menarik dimana terdapat perbedaan persepsi antara PT Freeport Indonesia sebagai pihak yang menawarkan saham dan pemerintah RI yang akan berlaku sebagai pembeli dimana jika kita cermati terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangannya antara lain Keuntungan bersih Freeport terjadi penurunan jika dibandingkan 2013 yang mencapai sebesar USD784 juta. Atas dasar kenyataan tersebut prospek kedepan dengan melihat perhitungan tersebut, maka portfolio saham Freeport hingga berakhirnya kontrak karya pada 2021 tidak sampai USD16,2 miliar seperti yang dikatakan Freeport Indonesia. Inilah beda tafsir yang harus dikaji ulang dengan lebih seksama,jika ini tidak disiasati dengan meminta penurunan harga maka bisa disebut kemahalan.
Jika dihitung, harga 100 persen saham Freeport diperkirakan hanya sekira USD11,6 miliar. Jika 10,64 persen nilainya USD1,7 miliar maka itu sebesar USD16,2 miliar. Tapi jika asetnya USD9,1 miliar, ditambahkan keuntungannya USD500 di kali lima akan menjadi USD2,5 miliar.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah fenomena apa yang berlaku dibalik beberapa aksi pengunduran pejabat penting di sana sini yang seperti rentetan bergulir , meskipun ini hanya secara kebetulan terjadi tapi apakah juga seratus persen tidak ada kaitan sama sekali dengan pengunduran Ketua DPR RI Setya Novanto yang fenomenal ini?
Bagaimanapun kita hanya bisa prihatin,dinamika politik yang menghangat belakangan ini di tanah air berkat gegeran Freeport ini juga yang telah sampai bisa menumbangkan tahta kepemimpinan demokrasi tertinggi di republik ini yakni sang ketua DPRRI Setya Novanto yang harus turun tahta. Kita berharap dinamika politik ini tidak sampai menjadi pengaruh signifikan bagi sebuah kebijakan bisnis masa depan.