Mohon tunggu...
Magriza Apriansyah
Magriza Apriansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penggerak

Bergerak sebagai pemerhati beberapa kebijakan dan fenomena dilihat dari sisi filsafat, hukum, sosial dan antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Barang Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pembuktian Pidana

16 Maret 2024   04:03 Diperbarui: 16 Maret 2024   04:19 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum pidana di Indonesia mengenal hukum acara pembuktian dimana hal tersebut
merupakan hukum formil yang menjelaskan bagaimana sebuah tindak pidana tersebut dapat dibuktikan secara hukum dan seorang hakim di bawah hukum yang ada dapat menjatuhkan sanksi pada terdakwa. Dimana Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disingkat KUHAP berbunyi "bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dengan ini menjelaskan bahwa dasar hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan kepastian
hukum dalam rangka acara pembuktian di dalam hukum acara pidana. 

Hukum acara pidana sebagai hukum formil yang menjelaskan bahwa dalam acara
pembuktian memiliki persyaratan diluar dari dua alat bukti, yaitu persyaratan di dalamnya yaitu alat bukti yang sah di dalam hukum acara pidana hal tersebut di jelaskan di dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP yang berbunyi "alat bukti yang sah ialah ; a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat, d. petunjuk, e. keterangan terdakwa." Lalu Ayat 2 menjelaskan tentang "hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan". Dijelaskan pula barang bukti Pasal 39 Ayat 1 yang menjelaskan "yang dapat dikenakan penyitaan adalah : a. benda atau tagihan atau terdakwa seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana, b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya, c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana, d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak
pidana, e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan."

Namun pada jaman serba kemajuan ini seluruh hal berhubungan dengan elektronik, maka
alat pembuktian di dalam hukum acara pidana Di Indonesia pula dapat dibbuktikan dengan alat bukti elektronik. Sebab hukum tidak boleh berlaku surut dimana hukum tidak boleh ketinggalan dalam sebuah peristiwa atau kejadian, sehingga sebuah peristiwa atau kejadian yang terjadi yang dapat memenuhi unsur pidana dapat ditindak lanjuti karena di dalam hukum pidana memiliki suatu azas yang menjelaskan bahwa suatu tindak pidana dapat dijatuhi hukum pidana bilamana memiliki dasar hukum yang kuat. Dan terlebih lagi di dalam hukum acara pidana dalam acara
pembuktian dengan alat bukti elektronik apakah dapat dikatan sebagai dasar pembuktian ?.
Bahwa di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) menjelaskan yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah :
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjelaskan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar
melalui computer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sebab di dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengelompokkan menjadi dua bagian yaitu "informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik. Kedua, hasil cetak dari informasi dan/ atau dokumen eletronik" .
Menurut Josua Sitompul (2012) dalam bukunya Cyberspace, cybercrime, cyberlaw :
Tinjauan aspek hukum pidana menjelaskan bahwa informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi alat bukti elektronik "Digital Evidence". Sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik akan menjadi alat bukti surat. Lalu
menurut sitompul (2012) pula menjelaskan bahwa perlu adanya perluasan yang memiliki maksud yaitu ; a. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia yaitu memperluas cakupan dalam acara pembuktian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mungkin belum diatur di dalamnya.
b. Memperluas cakupan alat bukti yang mungkin sudah dijelaskan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Piadana, dengan suatu misal hasil cetak informasi elektronik dan
dokumen elektronik yang merupakan alat bukti surat .
Namun perlu dijadikan catatan di Indonesia bahwa Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mungkin berlawanan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/ PUU-XIV/2016 menjelaskan yaitu informasi elektronik dan dokumen elektronik bertentangan dengan Konstitusi negara Indonesia dan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai khusus frasa "informasi elektronik dan dokumen elektronik" sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan peraturan yang dijelaskan dalam Pasal 31 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) maka secara tidak langsung maka Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut menjelaskan adanya intersepsi harus dilakukan secara sah dalam rangka penegakan
hukum. Syarat materil diatur di dalam Pasal 6, Passal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjelaskan bahwa suatu alat bukti elektronik "Digital Evidence" dimana alat bukti tersebut dapat menampilkan informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin otentiknya, keutuhannya, dan ketersediannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. Namun Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjelaskan bahwa alat bukti elektronik yang berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik dimana alat bukti tersebut dapat dibuktikan bilamana dapat dipahami oleh orang yang dapat dipahaminya. Dimana dasar hukum tersebut menjelaskan bahwa informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik memiliki ketimpangan yang tinggi di dalamnya, hal tersebut rentan
sekali dengan manipulasi data yang tinggi sehingga alat bukti tersebut harus dapat dibuktikan dalam acara pembuktian di hukum acara pembuktian dengan cara dijelaskan atau dipahami oleh orang yang dapat memahaminya. Dengan secara tidak langsung profesi yang dapat menggerti dan memahaminya merupakan bagian yang penting dalam acara pembuktian hal tersebut
mungkin masuk di dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP dimana keterangan ahli dapat pula menjadi alat bukti.
Hukum acara pidana mengenal postulat "in criminalibus probantiones bedent esse luce
clariores" yang artinya alat bukti tersebut harus lebih terang daripada cahaya dimana hukum tidak dapat ditegakkan dengan cara melawan hukum. Hal tersebut dimana fungsi hukum dipertanyakan yaitu tentang keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, dimana acara pembuktian harus memberikan kepastian hukum dimana alat bukti tersebut apakah dapat
menjadi petunjuk terdakwa melakukan tindak pidana ujaran kebencian.
Dalam Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwa"keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan" lalu dijelaskan pula di dalam Pasal 1 Angka 28 menjelaskan "keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna pemeriksaan", sebab di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menjelaskan secara rinci yaitu keterangan ahli atau saksi ahli tentang syarat dan ketentuan di dalamnya.
Menurut Yahya Harahap kriteria atau syarat untuk menjadi saksi ahli setidaknya harus memiliki
hal berikut :
a. Seseorang yang memiliki pengetahuan khusus di dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang tersebut memiliki kompeten di bidang ilmu pengetahuan tersebut.
b. Seseorang dikatan memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu tertentu bisa dalam bentuk
keterampilan karena hasil latihan dan pengalaman.
c. Keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli dapat membantu
menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa yang tentunya
disesuaikan dengan spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan serta pengaman.
Misal dalam suatu kasus tindak pidana, seseorang telah di dakwa telah melakukan suatu tindak pidana ujaran kebencian dengan memenuhi unsur hate speech atau ujaran kebencian melalui sosial media dengan menghadirkan alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik untuk dapat menjelaskan alat bukti tersebut apakah menunjukan tindak pidana
tersebut atau tidak maka menghadirkan saksi ahli Ilmu Teknologi (IT) mungkin dapat
menjelaskan sebab munculnya alat bukti tersebut. Namun bilamana orang yang didakwa hanya menjadi atas nama di dalam sosial media tersebut bahwa terdakwa memang tidak benar melakukan tindak pidana (seseorang yang membuat status menggunakan sosial media orang lainnya dalam rangka ujaran kebencian atau hate speech, tanpa adanya saksi. Yang menghasilkan
orang lain tersebut menjadi terdakwa) tersebut apakah dapat membuktikan terdakwa melakukan tindak pidana tersebut dengan menghadirkan alat bukti informasi elektronik dan dokumen
elektronik.

Bilamana hal tersebut dilakukan pula dapat melawan azas hukum acara pidana yaitu azas
cepat dan biaya ringan dimana hukum acara dapat terbelit-belit. Dan ketentuan hakim di dalam
acara pembuktian menjadi kekuatan yang paling kuat di dalam hukum acara pidana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun