Oleh: Lia Sholicha Amien
Menjadi sangat menarik ketika kita membaca pidato Ki Hajar Dewantara dalam bentuk monolog. Dirinya sebagai penulis menuangkan segala kegelisahan psikologisdengan mengambil posisi (pada awal tulisannya) sebagai bagian dari Belanda untuk memasukkan kritik-kritik sosial politik terhadap pemerintah Belanda dengan beragam pengandaian yang diciptakan. Setelah pengandaian-pengandaian tersebut mencapai kulminasi kebuntuan, Ia lantas memutar posisinya dalam kedudukannya yang nyata sebagai seorang pribumi. Secara garis besar pidato ini berkutat pada negasinya atas keberadaan Belanda. Negasi itu di awal bagian (yakni ketika dirinya seolah menjadi Belanda) banyak dibuat dalam bentuk negasi implisit, yakni afirmasi dengan gaya sindiran. Dan pada bagian yang lain dengan gamblang menyatakan perih hatinya tanpa satir. Baiklah, agar sedikit menyenangkan, mari kita berbincang dengan lebih sistematis dari mula hingga akhir.
Belanda datang ke Indonesia pastinya tidaklah cukup dengan visi “refhesing” hendak mengunjungi Borobudur, atau Pantai Selatan atau pula Pulau Bali. Kedatangan mereka ke negeri jajahan bukan dengan tangan kosong, melainkan membawa sketsa kolonialisme-imperialisme yang akan diaplikasikan di setiap negeri jajahan. Kedua istilah tersebut secara jelas dibentang pengertiannya dalam Jurnal Postcolonial Theory: Meaning and significance oleh Dr. Shrikant B. Sawant dari S. R. M College, Kudal sebagai berikut: The Term Colonialism is important in defining specific form of cultural exploitation that developed with the expansion of Europe over the last 400 years. Elleke Bochmer defines colonialism in her book Colonial and Postcolonial Literature as a settlement of territory, the exploitation or development of resources, and the attempt to govern the indigineous inhabitants of occupied land-istilah kolonialism penting dalam mendefinisikan wujud khusus eksploitasi budaya yang berkembang seiring ekspansi Eropa yang berkembang selama 400 tahun terakhir, (sedang) Elleke Bochmer dalam bukunya Sastra Kolonial dan Poskolonial mendefinisikan Kolonialisme sebagai pendudukan wilayah, eksploitasi atau pemanfaatan Sumber daya (alam maupun manusia) dan usaha untuk menguasai penduduk asli dari tanah yang diduduki. Kolonialisme umumnya dipakai berdampingan dengan imperialisme. Akan tetapi ada sedikit perbedaan seperti yang dipaparkan dalam jurnal yang sama sebagai berikut: in most general sense, imperialism refers to the formation of Empire, and, as such, has been an aspect of all periods in which one nation has extended its domination over several neighbouring nations. Edward Said uses imperialism in this general sense to mean “the practice, and the attitude of a domination metropolitan centre ruling a distant territory”-dalam pengertian yang umum, imperialisme merujuk pada pembentukan kerajaan (kekuasaan), dan, pada hakikatnya, menjadi sisi sepanjang masa ketika sebuah negara memperluas dominasinya pada negara-negara tetangga. Edward Said menggunakan kata imperialisme dalam pengertian umum yang berarti, praktik, (atau) tingkah laku penguasaan (yang dilakukan oleh subjek di) pusat kota besar terhadap daerah terpencil.
Singkat kata, kolonialisme adalah tahap selanjutnya setelah imperialisme. Jika dunia idenya adalah imperialisme, maka dunia bendanya adalah kolonialisme. Jika jiwanya adalah imperialisme, maka jasadnya adalah kolonialisme. Tidak seperti keberadaan ayam dan telurnya yang saling berselisih siapa yang menjadi eksis pertama kali. Imperialisme jelaslah gagasan yang terlebih dulu hadir lalu dituang dalam sketsa yang berisi sasaran jajahan, metode penjajahan dan keuntungan yang diperoleh dari penjajahan. Sedang realisasinya, ketika penjajah menapakkan kaki di daerah jajahan, saat itulah praktik kolonialisme beroprasi.
Sebab yang mengerikan, kedua istilah tersebut jika kita padankan dengan kriminalitas sehari-hari sejajar dengan perampokan atau maling. Bukankah rumus pencuri sama halnya dengan praktik imperialisme dan kolonialisme? Pencuri datang ke rumah sasaran dalam kondisi yang menurut pandangannya memungkinkan, kemudian diambillah harta benda yang diinginkan, lalu dibawanya pergi. Pastilah pemilik akan merasa sangat kehilangan. Bisa jadi karena harta benda itu akan dipakai untuk menyekolahkan anak, berobat, mantu, dan meski tidak dipakai apa-apa, bukankah harta benda itu miliknya?. Tak pelak jika dari rasa kehilangan itu muncul rasa benci dan seribu sumpah serapah diwirid dari bibir siempunya, berkali-kali, berhari-hari dan bahkan bertahun-tahun.
Rasa benci itu juga muncul pada diri Ki Hajar Dewantara. Intelektual pribumi ini risih melihat ulah Belanda seperti diungkapkan dalam pidatonya. Jika kita telisik sebab musabab munculnya pidato tersebut dalam perbincangan ilmiah, akan menjadi seperti berikut ini.
Tiap manusia pastilah menapak pada bumi yang padanya melekat nama sebuah negara/ nation. Adapun makna negara/ nation yang (menurut saya) cukup menarik, saya temukan dalam kumpulan artikel berjudul Nation and Narration yang diedit oleh Homi K. Babha. –seorang postkolonialis dunia yang masyhur dengan ide hibriditasnya. Salah satu artikel dalam buku itu berjudul What is a Nation ditulis oleh Ernest Renan. Ia mengatakan bahwa a nation is therefore a large-scale of solidarity constituted by the feeling of the sacrifices that one has made in the past and of those that one is prepared to make in the future (page 20)-sebuah bangsa adalah solidaritas dalam skala yang besar dibangun oleh rasa pengorbanan yang telah dilakukan pada masa lampau dan dari situ sebuah bangsa disiapkan untuk (berkorban) di masa mendatang. Dari pengertiannya, implisit makna kepemilikan penduduk atas sebuah bangsa. Tidaklah seseorang akan berkorban jika tanpa merasa memiliki. Dan pengorbanan itu terjalin dalam rantai diakronik yang dimulai oleh pendahulu dan akan dilanjutkan oleh penerusnya. Disini agen masa lalu dan masa sekarang sama penting kedudukannya dalam menjaga Negara tempat mereka tinggal. Bukankah yang sekarang akan menjadi lampau dan yang lampau pernah merasa menjadi sekarang dimasanya?. Adapun perasaan penduduk suatu bangsa yang didedikasikan terhadap kemerdekaan, serta pengisian kemerdekaan seperti yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara ini adalah satu wujud nasionalisme (patriotisme dalam arti luas) dan bukanlah contoh patriotisme sempit/chauvinisme yang membahayakan.
Mari kita telisik bukti-bukti nasionalisme Ki Hajar Dewantara dalam pidato tersebut. Karena tulisan ini begitu padat dengan luapan psikologis dan ungkapanungkapan ironis berkepanjangan, disini saya akan mencuplik bagian-bagian tertentu dari sekian poin tulisan Ki Hajar Dewantara yang menurut saya sudah cukup mewakili. Kemudian akan saya lihat dari kaca mata psikoanalis seperti Sigmund Freud dengan Defense Mechanisme-nya, Jacques Lacan dengan Mirror Stagenya, dan sedikit saya tambahkan pandangan Carl Gustave Jung mengenai Archetype dan Ketidaksadaran Kolektif.
Tulisan ini dibuka dengan sensitivitas Ki Hajar Dewantara dalam melihat kondisi di sekitarnya seperti dalam bagian “Dalam makalah-makalah harian sekarang banyak sekali dipropaganda gagasan untuk mengadakan suatu pesta besar di Hindia, pesta satu abad kemerdekaan Belanda…Bagi penduduk di daerah ini tidak boleh dilewatkan begitu saja bahwa pada bulan November yang akan datang tepat seratus tahun yang lalu negeri Belanda menjadi kerajaan dan merupakan suatu bangsa yang merdeka, walaupun dalam kedudukan tersebut negeri ini mendapat tempat yang paling akhir dalam barisan negaranegar yang berkuasa”.
Dua bagian ini mengisyaratkan watak bijak yang dimiliki Ki Hajar Dewantara yakni dengan menilik ahistoris (menelisik sebab musabab sesuatu) kedatangan penjajah Belanda di Indonesia. Bukan tidak mungkin bahwa Belanda yang pernah menjadi koloni bangsa lain merasa perlu untuk melakukan (dalam istilah Freud) Defense Mechanism atau Mekanisme Pertahanan Diri khususnya dengan cara Displacement, istilah ini berarti shifting id impulses from a threatening or unavailable object to an object that is available; for example, replacing hostility toward one’s boss with hostility toward one’s child. (a history of modern psychology page 434)-mengubah dorongan id dari obyek yang mengancam atau obyek yang tidak ada menjadi obyek yang ada: contohnya, mengubah permusuhan terhadap bos (yang secara materi tidak ada waktu itu) dengan permusuhan terhadap anak kecil (yang ditemui saat itu). Belanda yang pernah dijajah lantas mencari daerah jajahan lain yang bisa digunakan sebagai tempat pelampiasan kekesalan terhadap penjajah yang menduduki bangsa mereka.
Masalah ini juga dapat dilihat dari gagasan Jacques Lacan mengenai Mirror Stage. Pada sebuah overview Mirror Stage dalam Criticalink dijelaskan bahwa Lacan proposes that human infants pass through a stage in which an external image of the body (reflected in a mirror, or represented to the infant through the mother or primary caregiver) produces a psychic response that gives rise to the mental representation of an "I". The infant identifies with the image, which serves as a gestalt of the infant's emerging perceptions of selfhood, but because the image of a unified body does not correspond with the underdeveloped infant's physical vulnerability and weakness, this imago is established as an Ideal-I toward which the subject will perpetually strive throughout his or her life.-Lacan mengusulkan bahwa seorang anak kecil pasti melalui fase dimana image diluar tubuh (dicerminkan dalam kaca, atau ditampakkan pada anak dalam wujud ibu atau pemberi perhatian utama) dapat menyebabkan respon kejiwaan yang menggambarkan mental dari seorang “Aku”. Seorang anak kecil mengenali image yang membentuk persepsi seorang anak kecil tentang keakuan. Tetapi karena image tersebut belum sesuai dengan kerentanan dan kelemahan fisik seorang anak kecil dalam proses perkembangan, image tersebut ditetapkan sebagai “Aku yang ideal” kepadanya seorang anak kecil akan terus-menerus berjuang (menjadi seperti image tersebut) di sepanjang hidupnya. Bisa kita bayangkan jika penduduk Belanda yang terjajah saat itu memposisikan penjajah sebagai “aku yang ideal”. Terang saja, “aku yang ideal” akan disimpan dalam Psikis penduduk Belanda. Ketika datang kesempatan untuk mengaktualisasikan diri seperti “aku yang ideal” menjajah bangsanya, mulailah terealisasi keinginan Belanda untuk menjadi image yang diidolakannya.
Dalam kutipan lain, “Karena sayapun seorang patriot, dan seperti orang Belanda yang beraliran nasional murni yang mencintai Tanah airnya, Sayapun mencintai Tanah Air saya lebih dari apa yang dapat saya katakan…betapa saya akan bersuka cita bila hari yang didamba-dambakan dalam bulan Desember yang akan datang ini tiba, hari pesta pora kemerdekaan,..Saya akan turut menyayikan lagu Wilhelmus (lagu kebangsaan Belanda) dan Wien Neerland Bloed sampai suaraku parau, bila nanti music dilagukan orang. Dst”. Dalam kutipan-kutipan ini Ki Hadjar Dewantara melakukan Defense Mechanism dalam bentuk Projection yaitu attributing a disturbing impulse to someone else: for example, saying you don’t really hate your professor-he or she hates you-menjadikan orang lain sebagai sasaran atas sesuatu yang mengganggu pada diri kita: contoh, Perkataan bahwa kamu tidak benar-benar membenci professor-(akan tetapi) professor itu membencimu.
Ki Hadjar Dewantara tidaklah akan mengungkapkan empati yang luar biasa terhadap negara yang menjadi musuh bangsanya, apalagi sampai bersuka cita, merayakan dan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda. Ini hanyalah satu trik untuk membuat negasi yang manis. Daripada melulu menggunakan kalimat negatif dan kurang berseni untuk mengungkap sikap anti koloni dan imperialis. Satu kecerdasan retorika yang luar biasa. Satire berhamburan dimana-dimana.
Mengutip pendapat Jung mengenai Archetypes yaitu inherited tendencies within the collective unconscious that dispose a person to behave similarly to ancestor who confronted similar situations( a history of modern psychology page 457)-kecenderungan turun menurun dalam ketidaksadaran kolektif yang mengatur seseorang untuk bertingkah laku sama dengan nenek moyang yang menentang situasi yang sama. Archetype ini bisa kita temui ketika Ki Hadjar Dewantara secara implisit memberi wejangan pada Belanda “Nampaknya, seperti kurang sopan, menurut perasaan saya, seolah-olah kami, sudah tidak tahu malu, sungguh tidak pantas bila kami- saya masih tetap orang Belanda pada angan-angan saya-menyuruh orang pribumi turut bersorak-sorai pada peringatan kemerdekaan kami…Sungguh saya akan mengadakan protes dengan segala kekuatanku” Disini, Ki Hadjar Dewantara secara tidak langsung mengatakan archetype yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu tidaklah pantas “menari-nari diatas penderitaan orang lain”, apalagi orang lain itu adalah tuan rumah yang kediamannya dipakai untuk hura-hura dan perilaku tidak semestinya. Pastilah tidak etis. Apalagi mengajak tuan rumah berpesta atasapa yang tidak mereka kehendaki. Setelah memposisikan diri sebagai bagian dari Belanda. Ki Hadjar Dewantara lantas memposisikan dirinya sebagai pribumi. Dengan banyak sekali tekanan sebagai kawulo.
Seperti dalam kutipan : “…Lagipula mungkin orang akan mengatakan bahwa saya ini kurang ajar terhadap Seri Ratu yang kita muliakan, dan merupakan dosa yang tidak dapat dimaafkan karena saya adalah kawulanya yang senantiasa harus setia padanya…dst”. Tekanan-tekanan fisik dan psikis yang dialami pribumi atas penjajahan inilah yang merupakan core issue (masalah kronis kejiwaan) rakyat pribumi. Akan menjadi sangat berbahaya jika masalah tersebut tidak dicarikan jalan keluar. Dari sini muncullah kesadaran kolektif untuk mencari jalan keluar yang sesuai, yakni “Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru setelah itu kita memperingati kemerdekaan kita sendiri”.
References:
1. Jurnal postcolonial theory: Meaning and Significance oleh Dr. Shrikant B. Sawant S.R.M. College, Kudal.
2. A history of Modern Psychology ninth edition.Duane P. Schultz. Thomson Higher Education. USA.2008
3. Nation and Narration. Edited by Homi K. Bhaba. Routledge. USA. 2000
4. Three Psychologies sixth edition. Robert D. Nye. Madworth Thompson Learning. USA. 2000
5. The mirror stage as formative of the function of the I as revealed in psychoanalytic experience, delivered at the 16th International Congress of Psychoanalysis, Zurich, July 17, 1949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H