Mohon tunggu...
Maghfira RizqiTazkia
Maghfira RizqiTazkia Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Untuk Memenuhi Tugas UTS dan KKN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehidupan Kalijambe Tempo Doeloe Melalui Tuturan Tradisi Lisan

8 Agustus 2023   16:15 Diperbarui: 8 Agustus 2023   16:21 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalijambe merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Konon, desa ini memiliki kehidupan tempo dulu yang menarik untuk diulas. Kehidupan ini digambarkan oleh salah satu warga Desa Kalijambe melalui tuturan tradisi lisan. Beliau bernama Ahmad Subnyo yang menjabat sebagai Ketua RW di Dusun Sorogenen, Desa Kalijambe. Ahmad Subnyo menjadi narasumber untuk menggali informasi terkait bagaimana warga Kalijambe menjalani hidup pada masa kolonial.

Ahmad Subnyo menggambarkan, seorang lurah tidak menjabat pada suatu periode tertentu. lurah dapat menjabat hingga masa tuanya. Setelah berusia senja, baru lah dilaksanakan pemilihan lurah yang baru. Penyelenggaraan pemilihan lurah menggunakan lidi dan disediakan beberapa wadah menyesuaikan jumlah calon lurah. Setiap satu pemilih akan mendapatkan satu buah lidi. Pemilihan dilakukan dengan cara memasukkan lidi ke dalam wadah yang telah disediakan. Lidi terbanyak menentukan lurah yang baru. Akan tetapi, terdapat orang-orang yang telah membawa banyak lidi dari rumah agar calon lurah pilihannya mendapatkan lidi paling banyak.

Masa itu, terdapat seorang pemimpin beberapa desa sekaligus yang disebut gelondong. Pak Gelondong memimpin Desa Mayungsari, Desa Jati, Desa Medono, Desa Wetanwijoro, dan Desa Kalijambe. Selama menjabat, gelondong ini banyak mengalami masa sulit. Ketika malam tiba, ia tidak berani untuk berada di rumah dan memilih untuk bersembunyi di pendopo kelurahan. Gelondong memilih tempat persembunyian yang dianggap aman dari jangkauan Belanda. Setiap pagi, gelondong pulang ke rumahnya sekadar untuk makan dan minum. Dalam perjalanannya ke rumah, ia berpura-pura memikul kayu atau membawa banyak untuk menutupi identitasnya sebagai kepala desa. Mereka melakukan hal tersebut agar tidak ditangkap oleh Belanda.

Kala itu, jumlah penduduk desa masih terbilang sedikit. Hanya beberapa rumah yang memiliki tanah, tetapi secara keseluruhan penduduk Desa Kalijambe masih kesulitan untuk makan. Mereka menanam padi hanya satu kali dalam setahun, terkadang pada-padi tersebut dimakan hewan atau gagal panen. Dalam sehari, warga hanya makan sekali sepulang dari musholla. Jika tidak ada padi, mereka mengonsumsi singkong yang direbus. Pakaian mereka tidak terlalu layak, baju terbuat dari bagor dan celana terbuat dari kulit kambing yang kalau diletakkan bisa berdiri dengan tegak. Selain itu, baju-baju serta rambut mereka penuh dengan kutu. Jika rambut mereka diurai, maka kutunya pun akan berjatuhan. Kutu-kutu itu sulit dibasmi karena belum ada obat pembasmi kutu. Banyak juga warga yang terserang gudik, tetapi mereka tidak dapat berobat karena fasilitas kesehatan masa itu masih jarang dan sulit diakses. Jika terkena luka, mereka akan menumbuk daun petai cina kemudian mengoleskannya di atas luka lalu ditutup dengan kain.

Dalam proses pernikahan, mereka akan menikah dengan calon pasangan pilihan orang tuanya. Mereka menikahi orang tanpa tahu bagaimana latar belakangnya. Kebalikan dengan sekarang, mereka merasakan pacarana ketika sudah menikah. Saat menikah, warga desa ramai-ramai mengantar calon pengantin menuju Kantor Urusan Agama (KUA). Mereka berangkat dari desa dini hari agar sampai di KUA pada pagi harinya kemudian melaksanakan akad nikah. Setelah resmi menjadi sepasang suami istri, mereka diantar ke rumah gelondong lalu diria dan rambutnya dipotong sedikit. Mitosnya, jika rambut pengantin baru tidak dipotong, maka akan melahirkan anak yang nakal dan tidak patuh pada orang tua. Setelah dirias, pengantin baru akan diarak oleh warga keliling mengendarai kuda.

Sementara itu, di Desa Kalijambe belum ada sekolah, sehingga anak-anak sekolah di Desa Jati yang disebut Sekolah Rakyat. Setelah kondisi keamanan di Desa Kalijambe membaik, baru lah didirikan Sekolah Rakyat yang bersifat gratis. Guru-guru yang mengajar mengenakan pakaian formal, misalnya memakai jas. Para guru didatangkan dari luar desa, ada juga yang berangkat sekolah dengan naik kuda. Guru agama ada yang didatangkan dari wilayah Sendangsari.

 Untuk masuk Sekolah Rakyat hanya di tes dengan memanjangkan tangan kanan hingga dapat menyentuh telinga kiri. Hal ini tentu berbeda dengan zaman sekarang untuk mendaftar sekolah yang berdasarakan umur. Jika belum bisa menyentuh, maka dianggap belum layak untuk sekolah. Seragam pun hanya ada untuk sampai kelas 3 saja, baju seragam itu hanya dapat dicuci sekali dalam seminggu karena dipakai dari hari senin hingga sabtu. Alat tulisnya masih terbilang sederhana, hanya menggunakan sabak sebagai buku dan grip untuk menulisnya. Para murid diajari cara berhitung, membaca, bahasa daerah, agama, maupun sejarah kerajaan. Selain itu, diajari juga cara menulis yang baik dan belajar menggambar. Sekolah ini menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia, meskipun terkadang masih menggunakan bahasa Jawa.

Inilah sedikit gambaran tentang Desa Kalijambe yang disampaikan oleh Ahmad Subnyo melalui tradisi lisan. Tentunya desa ini sudah mengalami banyak perubahan. Fasilitas umum sudah semakin banyak, misalnya tempat ibadah, sekolah, pasar, dan lainnya. Banyak warga yang menjalankan usaha, seperti pengrajin bambu maupun pengrajin tahu. Hingga kini, kerajinan bambu Desa Kalijambe sudah banyak diekspor ke wilayah-wilayah lain. Warga Desa Kalijambe berharap agar desa mereka dapat terus berkembang dan memiliki perekonomian yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun