Fiksi Lotus mempersembahkan salah satu cerpen karya Shirley Jackson yang telah disadur ke dalam Bahasa Indonesia. Lucu dan mempesona, cerpen bertajuk "Charles" ini diterbitkan di tahun 1948. Untuk cerpen-cerpen klasik lainnya, silakan kunjungi FIKSI LOTUS di http://fiksilotus.wordpress.com Selamat membaca!
* * * * * * * * * * * * * * * * * *
Shirley Jackson
Di hari pertama Laurie, putraku, masuk sekolah TK, ia menolak untuk mengenakan celana korduroy dan bib (untuk menadah air liur) yang dulu menjadi seragam utamanya. Pilihannya sekarang: celana jeans dan sabuk. Aku mengantar Laurie sampai pintu depan dan mengamatinya melangkah pergi ke sekolah ditemani oleh seorang anak perempuan tetangga rumah. Entah kenapa, sejumput rasa sedih mendadak tumbuh di dadaku. Putraku yang manja dan menggemaskan kini telah berubah menjadi pemuda cilik bercelana jeans. Ia bahkan tidak ingat untuk berbalik dan melambai ke arahku dari sudut jalan seperti yang biasa ia lakukan. Pulang sekolah, Laurie masih bersikap sama. Pintu depan didorong dengan kasar, topinya dibiarkan jatuh tergeletak di lantai, dan teriakannya yang memekakkan telinga menggema ke seisi rumah: “Ada orang nggak sih?” Sementara itu, saat jam makan siang tiba, di mana kami sekeluarga menyempatkan untuk makan bersama, ia ogah-ogahan menjawab pertanyaan ayahnya, menumpahkan susu adiknya yang masih balita, dan mengumumkan pesan dari gurunya bahwa kami sebagai orangtua dilarang menyumpah atau mencoreng nama Tuhan dalam pembicaraan sehari-hari. “Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyaku, berusaha untuk tampak biasa. “Baik-baik saja,” ujarnya. “Apa kamu mempelajari sesuatu?” tanya ayahnya. Laurie melempar tatapan dingin ke arah ayahnya. “Aku tidak belajar apa saja,” gumamnya. “Apapun,” aku membenarkan ucapan Laurie. “Tidak belajar apapun.” “Tapi tadi Bu Guru memukul bokong seorang murid,” kata Laurie, menatap potongan roti yang sudah diolesi mentega. “Gara-gara salah bicara,” ia menambahkan, mulutnya kini penuh dengan roti. “Apa yang dilakukan anak itu?” aku bertanya. “Siapa namanya?” Laurie terdiam sesaat, berpikir. “Namanya Charles,” katanya. “Dia salah bicara. Bu Guru memukulnya dan menyetrapnya di sudut kelas. Dia benar-benar salah bicara.” “Apa yang dilakukan Charles?” aku bertanya lebih jauh, tapi Laurie malah beranjak dari kursinya, mengambil sekeping kue kering dan lantas pergi dari ruang makan. Keesokan harinya, Laurie mulai bercerita saat kami sekeluarga tengah menyantap makan siang. “Charles kena hukum lagi hari ini.” Ia mengerutkan dahi dan melanjutkan, “Hari ini Charles memukuli Bu Guru.” “Ya ampun,” aku berseru, hati-hati untuk tidak menyebut nama Tuhan. “Coba Mama tebak, pasti dia balas dipukul lagi oleh Bu Guru.” “Iya, itu pasti,” kata Laurie. “Lihat ke atas,” ia berkata kepada ayahnya. “Ada apa?” tanya ayahnya, menengadahkan kepala ke arah langit-langit. “Lihat ke bawah,” ujar Laurie memberi instruksi. “Lihat jempolku. Wah, Papa benar-benar tolol.” Laurie tertawa terbahak-bahak. “Kenapa Charles memukuli Bu Guru?” aku bertanya secepat mungkin untuk mengalihkan pembicaraan. “Karena Bu Guru memaksa dia untuk mewarnai dengan krayon warna merah,” jawab putraku. “Charles maunya mewarnai dengan krayon warna hijau, jadi dia memukul Bu Guru dan Bu Guru balas memukulnya serta mengancam agar semua murid-murid di kelas tidak bermain dengan Charles. Tapi mereka tetap bermain dengan Charles.” Di hari ke-tiga—hari Rabu—Charles dikisahkan melambungkan batang kayu permainan ungkat-ungkit ke atas kepala seorang siswi hingga berdarah. Bu Guru akhirnya melarang Charles untuk keluar dari kelas selama jam istirahat. Hari Kamis, Charles disetrap di sudut kelas selama jam pelajaran karena ia tidak mau berhenti menghentakkan kakinya ke atas lantai. Hari Jumat, Charles dilarang menyentuh papan tulis kelas karena ia melempar sebatang kapur. Hari Sabtu, aku berkata kepada suamiku, “Apa menurutmu sekolah TK ini baik untuk Laurie? Sepertinya anak-anak di sana kasar sekali, bahasanya juga tidak karuan. Dan bocah itu, Charles, sepertinya membawa pengaruh buruk saja.” “Tidak apa lah,” kata suamiku meyakinkan. “Di dunia ini pasti ada seseorang yang memiliki tabiat seperti Charles. Lebih baik Laurie sadar sekarang daripada nanti.” Di hari Senin, minggu ke-dua sejak sekolah dimulai, Laurie telat sampai di rumah. Ia membawa banyak berita. “Charles,” teriaknya sambil mendaki jalanan berbukit; aku menunggu dengan cemas di depan rumah. “Charles,” Laurie berteriak lagi begitu ia tiba di atas bukit, “Charles berlaku buruk lagi hari ini.” “Ayo, masuk,” kataku, tepat saat Laurie berada dalam jangkauanku. “Makan siang sudah siap.” “Mama tahu apa yang dilakukan Charles?” tuntut Laurie seraya mengikuti langkahku melewati pintu depan. “Charles berteriak lantang dan seorang bocah kelas satu dikirim untuk melaporkannya ke Bu Guru, maka Bu Guru harus mendiamkan Charles, lalu Charles dihukum sepulang sekolah. Jadi semua anak-anak tinggal di kelas untuk mengawasi Charles.” “Apa yang dilakukan Charles?” tanyaku. “Dia duduk saja di dalam kelas,” kata Laurie sambil duduk rapi di meja makan. “Halo, Pak Tua,” ia menyapa ayahnya. “Charles dihukum setelah jam sekolah hari ini,” aku memberitahu suamiku. “Semua murid diminta untuk tinggal di kelas.” “Seperti apa sih rupa Charles?” tanya suamiku kepada Laurie. “Siapa nama belakangnya?” “Dia lebih besar dariku,” kata Laurie. “Ia tidak punya jas hujan, dan bahkan tidak pernah pakai jaket.” Senin malam berikutnya, sekolah mengadakan pertemuan antara guru dan orangtua murid, tapi karena putraku yang masih balita mendadak terserang flu, aku tidak bisa pergi. Padahal aku ingin sekali bertemu dengan orangtua Charles. Di hari Selasa, Laurie tiba-tiba berkata, “Bu Guru kedatangan seorang teman hari ini.” “Ibu Charles?” aku dan suamiku bertanya pada saat bersamaan. “Buuukkkaaan,” celetuk Laurie, kesal. “Temannya itu seorang pria yang membuat kami harus melakukan latihan fisik. Kami diminta menyentuh jari kaki kami. Lihat.” Laurie beranjak dari kursinya, berjongkok, dan menyentuh jari-jari kakinya. “Seperti ini,” katanya. Ia kembali duduk di kursinya dan berkata, sambil mengangkat garpu, “Charles tidak melakukan apapun.” “Itu tidak apa,” kataku menghibur. “Apa Charles tidak mau melakukan latihan fisik?” “Buuukkkaaan begitu,” kata Laurie, tidak sabar. “Charles salah bicara kepada teman Bu Guru sehingga ia tidak diijinkan berlatih.” “Salah bicara lagi,” gumamku. “Charles menendang teman Bu Guru,” kata Laurie. “Teman Bu Guru meminta Charles untuk menyentuh jemari kakinya seperti yang aku lakukan barusan, dan Charles malah menendangnya.” “Menurutmu apa yang akan dilakukan sekolah terhadap Charles?” suamiku bertanya kepada Laurie. Laurie mengedikkan pundaknya, menjawab: “Mengeluarkan dia dari sekolah.” Setiap hari Rabu dan Kamis, secara rutin, Charles berteriak selama jam pelajaran dan memukul seorang siswa di perut hingga menangis. Di hari Jumat, Charles dihukum setelah jam sekolah dan begitu juga semua siswa-siswi lainnya. Di minggu ke-tiga, nama Charles sudah jadi bagian dari kosa kata baru di keluarga kami. Setiap kali putra balitaku mengisi mainan keretanya dengan lumpur dan menggiringnya ke dalam dapur, aku selalu mengatakan dia sedang meniru Charles; bahkan suamiku sendiri, saat tidak sengaja nyaris menjatuhkan vas bunga atau asbak dari atas meja, ia akan berkata, “Seperti Charles saja.” Selama minggu ke-tiga dan ke-empat sejak sekolah dimulai, terlihat adanya perubahan dalam diri Charles. Laurie melaporkan dengan lesu di hari Kamis saat kami sedang makan siang bersama bahwa, “Charles berlaku sangat baik hingga Bu Guru menghadiahkan sebuah apel kepadanya.” “Apa?” aku berteriak heran. Suamiku ikut menambahkan, “Maksudmu Charles?” “Charles,” kata Laurie. “Dia membagikan krayon ke anak-anak di kelas, mengumpulkan buku latihan teman-teman, dan Bu Guru menyebutnya sebagai asisten guru.” “Kok bisa?” tanyaku aneh. “Charles jadi asisten guru, itu saja,” kata Laurie, mengangkat pundaknya. “Apa mungkin?” aku bertanya kepada suamiku malam harinya. “Apa mungkin dia berubah secepat ini?” “Kita lihat saja,” kata suamiku dengan sinis. “Mengingat perilaku Charles sebelumnya, bisa jadi dia hanya menyusun strategi.” Tapi suamiku salah. Selama lebih dari seminggu, Charles benar-benar mendedikasikan waktunya untuk menolong Bu Guru kelas. Setiap hari ia membagikan bahan pelajaran ke teman-temannya, kemudian mengumpulkan hasil pekerjaan rumah. Tidak ada siswa yang dihukum sehabis jam pelajaran. “Minggu depan ada pertemuan orangtua murid dan guru lagi,” aku berkata pada suamiku suatu malam. “Aku akan mencari ibu Charles di sana.” “Coba tanyakan padanya apa yang terjadi pada Charles,” kata suamiku. “Aku penasaran.” “Aku juga penasaran,” ujarku. Di hari Jumat berikutnya semua kembali normal. “Kalian tahu apa yang dilakukan Charles hari ini?” Laurie bertanya antusias di meja makan siang itu, suaranya agak ditinggikan. “Dia menyuruh seorang anak perempuan untuk mengucapkan satu kata dan anak perempuan itu mengatakannya dan Bu Guru mencuci mulut anak perempuan itu dengan sabun dan Charles tertawa.” “Kata apa?” tanya ayahnya ingin tahu. Aku menggeleng. Laurie menjawab, “Aku harus membisikkannya pada Papa, karena kata itu buruk sekali.” Putraku beranjak dari kursinya dan menghampiri ayahnya. Suamiku membungkuk agar Laurie bisa berbisik di telinganya. Tidak lama, kedua mata suamiku terbuka lebar. “Charles meminta anak perempuan tadi untuk mengatakan itu?” tanya suamiku sesopan mungkin. “Anak perempuan itu mengucapkannya dua kali,” kata Laurie. “Charles yang menyuruh.” “Apa yang terjadi pada Charles?” tanya suamiku. “Tidak ada,” kata Laurie. “Dia membagi-bagikan krayon ke seisi kelas.” Hari Senin pagi, Charles melupakan anak perempuan itu dan mengucapkan kata buruk tersebut sebanyak tiga atau empat kali, hingga Bu Guru mencuci mulutnya berkali-kali. Ia juga melempar kapur. Ketika malam pertemuan tiba, suamiku mengikutiku sampai ke depan pintu rumah. “Undang ibunya kemari untuk minum teh setelah pertemuan selesai,” kata suamiku. “Aku ingin melihatnya.” “Mudah-mudahan dia ada di pertemuan ini,” kataku berharap. “Pasti ada,” ujar suamiku. “Mana mungkin sekolah itu mengadakan pertemuan orangtua murid dan guru tanpa kehadiran ibu Charles?” Di ruang pertemuan, aku resah, mencari-cari di setiap wajah wanita suatu petunjuk yang menentukan bahwa ialah yang mengetahui semua rahasia Charles. Namun, tidak ada dari ibu-ibu itu yang tampak memiliki kesamaan dengan Charles yang aku dengar selama ini dari cerita-cerita Laurie. Tidak ada seorang pun yang berdiri di tengah-tengah pertemuan untuk meminta maaf atas kelakuan anaknya. Bahkan tidak ada yang menyebut nama Charles. Setelah pertemuan berakhir, aku mencari dan menemukan guru kelas Laurie. Dia sedang membawa sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong kue coklat; sementara aku membawa sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong kuemarshmallow. Kami bertukar sapa sambil tersenyum. “Saya sudah lama ingin bertemu dengan Anda,” ujarku. “Saya ibunya Laurie.” “Kami semua tertarik dengan Laurie,” katanya. “Putraku senang sekali berada di sekolah TK ini,” cetusku. “Dia selalu membicarakannya setiap waktu.” “Kami ada sedikit masalah menyesuaikannya di sekolah selama beberapa minggu pertama,” kata si Bu Guru dengan tenang. “Tapi sekarang dia sudah banyak membantu saya. Meski kadang-kadang masih suka nakal.” “Biasanya putra saya cepat sekali menyesuaikan diri,” kilahku. “Mungkin ini disebabkan oleh pengaruh buruk Charles.” “Charles?” “Ya,” kataku sembari tertawa. “Anda pasti sulit sekali menertibkan anak yang satu itu.” “Charles?” tanya si Bu Guru sekali lagi. “Di TK kami tidak ada siswa bernama Charles.” -------------- Keterangan: * Shirley Jackson adalah seorang cerpenis, novelis dan penulis esai berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1916 di San Francisco, California. Cerpennya yang bertajuk ‘Lotere’ atau The Lottery diterbitkan di majalah bergengsiThe New Yorker di tahun 1948 dan membuatnya salah satu cerpenis terbaik di Amerika Utara. Charles diterbitkan di tahun yang sama di majalah Mademoiselle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H