Mohon tunggu...
Maggie Tiojakin
Maggie Tiojakin Mohon Tunggu... -

Maggie Tiojakin adalah seorang jurnalis dan penulis fiksi pendek. Karyanya telah dimuat di berbagai media massa baik lokal maupun internasional, seperti The Jakarta Post, Boston Globe, Writers' Journal, Eastown Fiction, Asia News Network (ANN), dan lain sebagainya. Saat ini dia berdomisili di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hiburan: Fiksi Lotus > Persinggahan Malam

21 April 2010   11:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ernest Hemingway

Saat itu larut malam dan semua orang beranjak meninggalkan café tersebut kecuali seorang pria tua yang duduk dalam bayang-bayang dedaunan pohon yang berdiri kokoh di samping sebuah lampu listrik. Di siang hari, jalanan di depan café sarat akan debu kotor, namun di malam hari embun yang terbentuk di udara serta-merta menyingkirkan serpihan debu dari permukaan jalan. Itulah sebabnya si pria tua senang duduk di café saat semua orang justru ingin pulang ke rumah, karena ia tuli dan di malam hari suasana di jalan tersebut berubah sunyi, seolah membawanya ke alam lain. Kedua pelayan cafe yang sedang berberes di dalam tahu benar bahwa si pria tua agak mabuk, dan meskipun dia seorang pelanggan setia, mereka juga tahu bahwa apabila pria itu minum lebih banyak lagi dan semakin mabuk, maka ada kemungkinan ia akan pergi tanpa membayar. Karena itu, mereka terus mengawasi pria tua tersebut. “Minggu lalu ia coba bunuh diri,” kata satu pelayan. “Kenapa?” “Katanya dia putus asa.” “Soal apa?” “Tak ada apa-apa.” “Kau tahu dari mana kalau dia tidak punya persoalan apa-apa?” “Uangnya banyak.” Kedua pelayan pun duduk berdampingan di sebuah meja yang letaknya merapat di dinding, tidak jauh dari pintu café, dan menghadap ke arah teras di mana semua meja telah kosong, kecuali meja di mana si pria tua sedang duduk di bawah rimbunnya dedaunan pohon yang kini bergemerisik tertiup angin. Seorang gadis dan prajurit melintas di jalan. Cahaya lampu jalan bersinar terang dan membuat rantai kuningan yang tersemat di kerah seragam sang prajurit terbias mengkilap. Sang gadis tak mengenakan penutup kepala dan berjalan terburu-buru di samping prajurit itu. “Petugas keamanan akan menahannya,” kata salah satu pelayan. “Dia lebih baik meninggalkan tempat ini. Petugas keamanan akan menahannya. Mereka baru saja lewat lima menit yang lalu.” Si pria tua yang tengah duduk dalam bayang-bayang dedaunan pohon mengetuk-ngetuk piringnya dengan bokong gelas, membuat kegaduhan. Pelayan yang usianya lebih muda pun segera menghampiri. “Apa yang Anda inginkan?” Si pria tua menatap ke arah si pelayan. “Segelas brandy lagi.” “Nanti Anda mabuk,” kata si pelayan. Si pria tua tak berkedip menatap lawan bicaranya hingga si pelayan pun tak punya pilihan kecuali pergi mengambilkan pesanan pelanggan. “Dia akan duduk di sana sepanjang malam,” si pelayan mengadu pada kawannya. “Sekarang saja aku sudah mengantuk. Aku tidak pernah tidur di atas jam 3 subuh. Seharusnya orangtua itu mencabut nyawanya sendiri minggu lalu.” Si pelayan mengambil sebotol brandy dan piring kecil dari atas konter di dalam café sebelum berjalan menghampiri meja si pria tua di teras. Kemudian, dia menuang isi botol ke dalam gelas kosong dan meletakkan piring kecil ke atas meja. “Seharusnya Anda bunuh diri minggu lalu,” kata si pelayan pada si orangtua yang tuli. Si pria tua justru menunjuk ke arah gelas dengan jarinya. “Sedikit lagi,” katanya. Si pelayan kembali menuang isi botol brandy ke dalam gelas, tapi kali ini hingga cairan beralkohol itu tumpah dan membasahi batang gelas serta tatakan piring kecil di bawahnya. “Terima kasih,” ujar si pria tua. Si pelayan melangkah masuk ke dalam café dan duduk di samping rekan kerjanya. “Sekarang dia sudah mabuk,” kata si pelayan. “Setiap malam juga dia mabuk.” “Kenapa dia berniat bunuh diri?” “Mana aku tahu.” “Apa yang dia lakukan untuk membunuh dirinya sendiri?” “Gantung diri dengan tali.” “Siapa yang memotong talinya?” “Keponakannya.” “Kenapa keponakannya melakukan itu?” “Takut jiwanya nanti terjebak dalam neraka.” “Berapa banyak uang yang dia miliki?” “Banyak.” “Usianya pasti sekitar 80an.” “Atau setidaknya 80.” “Aku harap dia cepat pulang. Aku tidak pernah tidur di atas jam 3 subuh. Itu bukan jam yang pantas untuk pergi tidur.” “Dia suka bergadang.” “Dia itu kesepian. Aku tidak kesepian. Aku punya istri yang menungguku di ranjang.” “Dia juga pernah punya istri.” “Sekarang ini istri tak ada gunanya untuk dia.” “Dari mana kamu tahu? Mungkin saja dia akan lebih baik jika didampingi seorang istri.” “Keponakannya yang mengurus dia. Kamu bilang keponakannya yang memutuskan tali saat ia mencoba gantung diri.” “Aku tahu itu.” “Aku tidak mau hidup setua itu. Orang kalau sudah tua seperti itu menjijikan.” “Tidak selalu begitu. Orangtua ini bersih. Dia minum tanpa pernah menumpahkan minumannya. Bahkan sekarang saat tengah mabuk. Coba lihat.” “Aku tidak mau melihatnya. Aku ingin dia pulang. Dia sama sekali tidak memikirkan orang lain yang harus kerja besok pagi.” Si pria tua mengangkat wajahnya dan menatap kosong ke arah persimpangan, lalu menoleh ke arah para pelayan yang sedang berbincang. “Segelas lagi,” kata si pria tua, menunjukkan jari ke gelas di tangan. Si pelayan yang terburu-buru segera menghampiri. “Sudah habis,” sahut si pelayan, seperti orang tolol yang sedang berbicara dengan orang mabuk atau orang asing. “Tak ada lagi brandy malam ini. Tutup.” “Segelas lagi,” kata si pria tua. “Tidak. Habis.” Si pelayan mengelap pinggiran meja dengan selembar handuk dan menggelengkan kepalanya. Si pria tua bangkit dari duduknya, pelan-pelan menghitung jumlah piring kecil yang tergeletak di atas meja, mengambil dompet koin berbahan kulit dari dalam saku celana dan membayar tagihannya, meninggalkan tips sebesar setengah peseta*. Si pelayan kemudian mengamati si pria tua berjalan menyusuri jalan, di usianya yang uzur berusaha keras untuk berjalan seimbang, dan ia melakukannya dengan penuh percaya diri. “Kenapa tidak kau biarkan dia minum lagi?” tanya si pelayan yang tidak terburu-buru ingin pulang. Mereka kini menurunkan tirai besi untuk menutup jendela. “Belum juga jam setengah tiga subuh.” “Aku mengantuk.” “Apa salahnya menunggu sejam lagi?” “Sejam pun berharga untukku.” “Tak ada bedanya menurutku.” “Gaya bicaramu sudah seperti orangtua saja. Dia ‘kan bisa beli sebotol brandy dan minum di rumah.” “Tapi itu beda rasanya.” “Memang beda,” sahut si pelayan yang telah beristri. Dia tidak mau jadi orang yang tidak adil. Hanya saja, dia sangat lelah dan ingin cepat pulang. “Bagaimana dengan kau sendiri? Kau tidak takut pulang lebih cepat dari biasa?” “Apa kau sedang menghinaku?” “Tidak, hombre**, aku hanya bercanda.” “Tidak,” kata si pelayan yang sedang terburu-buru, bangkit berdiri setelah menarik turun tirai hingga tertutup rapat. “Aku punya rasa percaya diri yang tinggi.” “Kau masih muda, congkak, dan untungnya punya pekerjaan,” kata pelayan yang lebih tua usianya. “Kau punya segalanya.” “Memangnya kau kekurangan apa?” “Semuanya, kecuali pekerjaan.” “Semua yang kupunya, kau pun punya.” “Kau salah. Aku tak pernah punya rasa percaya diri, dan aku sudah tidak muda lagi.” “Ah, sudahlah. Tidak perlu bicara macam-macam. Lebih baik kita mengunci café ini.” “Aku salah satu orang yang senang duduk di café sampai larut malam,” kata si pelayan yang lebih tua. “Bersama orang-orang yang tidak mau tidur, yang butuh cahaya di malam hari.” “Aku ingin cepat pulang dan tidur.” “Kau dan aku adalah dua manusia yang sangat berbeda,” kata si pelayan yang lebih tua. Ia telah melepaskan seragam kerjanya dan mengenakan pakaian pribadi sebelum pulang ke rumah. “Semua ini tidak terpaku pada masalah usia dan rasa percaya diri, meskipun keduanya memang sangat menggairahkan. Tapi setiap malam aku enggan menutup café lebih dini karena takut siapa tahu ada yang butuh menghabiskan waktu mereka di sini.” “Hombre, di sekitar sini banyak sekali bodega*** yang buka sepanjang malam.” “Kau tidak mengerti. Ini adalah café yang bersih dan nyaman. Tempatnya terang, dan hanya dibayang-bayangi oleh dedaunan pohon.” “Selamat malam,” kata si pelayan yang lebih muda. “Selamat malam,” kata pelayan yang lain. Sambil mematikan lampu listrik, si pelayan yang berusia lebih tua melanjutkan pembicaraan itu seorang diri. Memang daya tarik café ini adalah pencahayaannya yang terang, tapi faktor kebersihan dan kenyamanan juga tak kalah menarik. Lebih dari itu, di sini tak ada suara musik yang melantun, meraung, atau menggelegar. Tentunya tak ada pelanggan café yang datang kemari untuk mendengarkan musik. Orang yang pergi ke bar otomatis harga dirinya jatuh, meskipun harga diri adalah satu-satunya yang disediakan di tempat-tempat malam di sekitar sini. Apa sebenarnya yang ia takutkan? Ia sama sekali tak kenal rasa takut. Ia bahkan tak merasakan apa-apa – kekosongan yang sungguh familiar baginya. Seorang manusia juga sudah tak ada artinya lagi. Fungsi cahaya, kebersihan, dan kenyamanan amat besar bagi orang-orang berjiwa kosong. Beberapa orang hidup dalam tempat macam ini, namun tak pernah menghargainya, karena semua tak punya arti. Nada y pues nada y nada y pues nada****. Bapa nada***** yang ada di nada dimuliakanlah nama nada. Jadilah kehendak nadadi dalam nada seperti di dalam nada. Berilah kami nada pada hari nada dan ampunilah dosa nada seperti kamipun mengampuni nada yang bersalah padanada. Jangan masukkan kami ke dalam nada, tapi bebaskanlah kami nada y pues nada. Salam tanpa arti, tanpa rahmat, tanpa dampingan siapapun. Si pelayan yang usianya lebih tua kontan tersenyum, seraya berdiri di depan meja bar di mana uap panas mengepul dari dalam mesin pembuat kopi. “Apa pesananmu?” tanya si bartender. “Nada.” “Otro loco mas,” sahut si bartender sambil membalikkan badan. Dasar gila. “Sedikit saja, satu gelas kecil,” kata si pelayan. Si bartender menuangkan minuman pesanannya. “Cahaya di sini sangat terang dan menyenangkan, tapi meja barnya kotor,” ujar si pelayan blak-blakan. Si bartender menatap pelanggannya tanpa berkata apa-apa. Malam sudah terlalu larut baginya untuk bersosialisasi dengan pelanggan yang suka mengkritik. “Kamu mau segelas anggur?” tanya si bartender. “Tidak, terima kasih,” sahut si pelayan sebelum pergi dari sana. Ia tidak suka bar ataupun bodega. Café dengan pencayaan terang dan tampilan bersih adalah sesuatu yang sangat berbeda sifatnya dari tempat-tempat malam pada umumnya. Sekarang, tanpa pikir panjang, ia akan pulang ke kamarnya. Ia akan berbaring di atas ranjang dan perlahan-lahan terlelap saat matahari mulai naik, menebarkan cahaya terang. Lagipula, bukan tidak mungkin ia mengidap penyakit insomnia. Pasti banyak orang yang mengidap penyakit itu. ——————— Catatan: a) Kisah ini bertajuk “A Clean, Well-Lighted Place” karya Ernest Hemingway, diterbitkan tahun 1926. Kemudian diikutsertakan ke dalam seleksi kumpulan fiksi pendek karya Hemingway yang bertajuk “Winner Take Nothing.” b) Ernest Hemingway adalah seorang sastrawan ternama asal Amerika Serikat (1899-1961) yang di antara lain menulis enam buah koleksi fiksi pendek, serta tujuh novel, dan dua buku non-fiksi. Ia sering disebut sebagai Papa Hemingway. c) James Joyce, penulis novel dan fiksi pendek asal Irlandia, menyebut kisah ini sebagai salah satu masterpiece Ernest Hemingway. Keterangan: * peseta – mata uang Spanyol antara tahun 1869-2002 bernilai seperlima peso. ** hombre – bahasa Spanyol, berarti “kawan” atau “bung” *** bodega – bar di Spanyol yang khusus menyajikan minuman anggur. **** ‘nada y pues nada y nada y pues nada’ – dst., dst., dst. ***** ‘nada’ – bahasa Spanyol, berarti “nihil”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun