Â
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman di bidang Agama, Etnis, Suku dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang multikultural dan sangat beragam. Banyaknya Agama, Etnis, suku dan lain sebagainya sering menjadi patokan oknum-oknum tertentu untuk membatasi atau memisahkan diri dari kelompok lainnya, dengan  memandang bagian tertentu dari sebuah agama, suku ataupun lainnya. Secara khusus di Indonesia, isu perbedaan agama merupakan sesuatu yang hangat untuk di perbincangkan terkait dengan pengkhususan terhadap salah satu agama.  Hal-hal semacam ini sesungguhnya rentan dalam memicu konflik dan tindakan-tindakan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat.[1]
Â
Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama belum sepenuhnya dihargai, terbukti masih ada kekerasan atas nama agama yang digunakan untuk melarang kelompok (agama) yang lain, baik yang ada dalam salah satu agama tertentu maupun agama lain. Banyak pendapat yang bermunculan yang melihat bahwa kurangnya campurtangan dan dukungan dari negara dalam mengatasi masalah ini justru semakin memperkeruh hal tersebut. Hal ini menjadi kompleks dimana persoalan ini juga menjadi salah satu isu "dagangan" Â yang selalu di gunakan dalam percaturan politik di daerah yang rawan konflik yang disebabkan oleh diskriminasi agama. [2]
Â
Untuk menjawab permasalahan ini, kaum Humanis, yang berakar pada pemikiran rasional, menyuarakan kesadaran  akan kemanusiaan yang di dorong oleh kepentingan moral semua manusia yang bersifat kolektif. Kaum Humanis juga menolak kekuasaan/otoritas mutlak (absolut)  dan berusaha mengungkap kebijaksanaan dengan mengedepankan pencarian kebenaran secara bebas. Kaum Humanis berkomitmen terhadap kebebasan berpikir dan bertindak yang bertanggung jawab dan terhadap hukum yang beradab. Dengan memusatkan perhatian pada manusia, kaum humanis mengemukakan bahwa tujuan hidup adalah apa yang tiap-tiap manusia berikan untuk hidup itu sendiri dan juga bagi manusia lainnya.[3]
Â
- Para filsuf Yunani kuno seperti Plato dan muridnya Aristoteles menyebutkan istilah itu dengan kata paideia. Secara sederhana paideia diartikan sebagai "pendidikan" atau "pelajaran". Dalam perjalanan waktu, istilah ini kemudian oleh para filsuf Romawi di populerkan pada masa Cicero dan Varro pada abad 1 SM yang kemudian disebut dengan humanitas yang secara sederhana diartikan dengan "pembelajaran manusiawi" atau  " sopan".[4]Â
- Â
- Dikemudian hari, munculnya gerakan humanis modern yang berpusat kepada kemanusiaan dan rasionalitas sesungguhnya berasal dari kritik terhadap agama dan kesadaran akan kebebasan yang dibungkam sejak lama oleh Gereja pada masa abad Pertengahan (abad kegelapan).  Gerakan humanisme pertama sekali lahir di Italia dan menyebar ke seluruh Eropa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan munculnya Renaisance yang juga di dukung dengan sistem pendidikan di Italia pada waktu itu yang menggunakan mata pelajaran "kesenian-kesenian bebas" yang terdiri dari seni kata (sastra, logika, dan retorika) serta seni benda (ilmu ukur, ilmu astronomi, dan musik) membuat gerakan ini  mendapat tempat dalam studi akademis maupun lainya.[5]
- Â
- Humanisme sendiri memiliki sejarah yang panjang yang digalakkan oleh beberapa orang di dunia ini tergantung periode dan konteksnya masing-masing. Desiderius Erasmus merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam pandangan dan gerakan humanisme. Â Erasmus berpendapat bahwa Hakikat manusia secara humanisme adalah dimana manusia mempunyai kebebasan penuh dalam memilih dan berkehendak serta terkait dengan manusia lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa manusia seharusnya bebas dalam melakukan tindakannya baik itu tindakan sosialnya, akademis dan bahkan peribadatannya pada agama tertentu yang perlu untuk dihargai.
Â
Secara historis, cita-cita kemanusiaan universal baru berkembang sesudah keruntuhan masyarakat agamis abad pertengahan yang membuka diri pada Humanisme.[6] Secara luas, dalam bidang kebebasan beragama atau berkeyakinan, kaum Humanis tertantang untuk mencari kebenaran secara bebas untuk membangun suatu lingkungan yang toleran melalui pandangan hidup sekuler, atau religius dengan cara damai. Humanisme tidak hanya merupakan reaksi terhadap agama regresif, struktur dan hierarki sosial primitif. Humanisme juga berupaya menciptakan filsafat hidup yang positif untuk manusia, dan usaha membuat kebebasan menjadi nyata untuk semua manusia.[7]
Â
Agama sendiri pada dasarnya diperuntukkan untuk manusia di dalam kehidupan bersosial. Agama didayagunakan dalam kehidupan untuk mengantarkannya kedalam dunia akhiratnya dengan memahami ajaran dan nilai di dalamnya. Hal ini membuktikan bahwa manusia bukanlah dibelenggu dalam kefanatikan agama yang sempit dan ekstrim, sebenarnya makna agama malahan membawa manusia ke dalam kebebasan baik pada agamanya sendiri maupun pada dunia material. Dengan kata lain agama dipakai untuk manusia bukan untuk agama itu sendiri.[8] Secara umum agama juga memiliki konten idealnya yang terkait dengan ajaran dan juga nilai yang baik yang ditanamkan didalamnya. Namun pengaruh subjektifisme melalui oknum-oknum agamis itu membuat hal tersebut menjadi kabur bahkan menjadi bias.Â