Mohon tunggu...
Yudha Saraswati
Yudha Saraswati Mohon Tunggu... -

Saya adalah wartawati lepas suku Arab Betawi generasi ke 10 Yaman Hadra, setia pada NKRI dan ingin perubahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Liarnya Parkir (Tanpa Karcis) di Kota Solo

4 Agustus 2013   14:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:38 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liarnya Parkir (Tanpa Karcis) di Kota Solo

Area Parkir fungsinya adalah untuk meletakkan kendaraan beroda baik berdaya motor atau tidak supaya aman. Dalam hal ini dapat sepeda, becak atau sepeda motor dan mobil serta kendaraan motor berat lainnya misalnya truk, bis dan lain-lain. Ketika kita memiliki aktivitas yang mengharuskan kita menempatkan kendaraan di area parkir, disitulah transaksi dengan tukang parkir bermula. Bisa bayar dulu atau bayar belakangan. Saya kira wajar dan semua orangpun membenarkan apabila dalam hal kita parkir akan dikenakan bea untuk itu, akan tetapi yang menjadi masalah adalah sangat aneh kalau kita tidak mendapatkan bukti transaksi berupa karcis parkir atas jasa dari tukang parkir tersebut. Di kota Solo sangatlah biasa hal ini dan lama kelamaan masyarakatpun enggan menanyakannya. Besarannyapun bervariasi antara Rp. 1000,- hingga Rp. 2000,- untuk motor dan mobil. Sangat disayangkan karena sejak saya menginjakkan kaki di kota ini pada tahun 2003 saya mendapati kota ini nyaman tetapi diusik oleh para tukang parkir liar tersebut. Saya sendiri tidak berdomisili di kota ini, tinggal di Jakarta sedang suami saya bekerja di Solo dan sering mengeluhkan hal ini. Ambil contoh begini, ketika saya makan di warung dengan berkendara sepeda motor yang seharusnya tidak perlu mendapatkan pengamanan ekstra, toh motor tersebut di depan ujung hidung saya saat makan. Tetapi ketika saya selesai membayar semangkuk soto yang hanya berharga Rp. 6000,- saya harus merogoh kocek lagi Rp. 2000,-. Tentu ini sangat berat dan berakibat mengurangi ketertarikan konsumen untuk berkunjung lagi ke warung tersebut. Yang lebih parah lagi ketika kita ingin makan di warung tersebut dengan hemat akhirnya menjadi boros dengan logika sederhana “sekalian menghabiskan sampai kisaran Rp. 15.000,- agar sebanding dengan bea parkir liar yang Rp. 2000,- tersebut.” Yang harusnya cukup makan semangkuk soto menjadi nambah tahu, perkedel dan lain-lain. Dari sini saya berasumsi mungkinkah ada persekongkolan antara pemilik warung dengan tukang parkir liar tersebut dengan tujuan menaikkan laba penjualan?

Sepanjang trotoar jalan di daerah pusat bisnis kota semisal Singosaren dan Nonongan terdapat banyak tukang parkir berseragam oranye menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Pola mereka hampir seragam yaitu setelah menerima uang dari penikmat jasa parkir tidak pernah mereka memberikan karcis parkir. Bahkan beberapa tukang parkir berbuat tidak senonoh seperti melotot ke arah pengguna jasa yang kadang tidak punya uang receh atau tidak menemukan produk yang dicari di tempat tersebut. Pelayanan merekapun asal-asalan kepada pengguna jasa terutama pemakai motor. Si tukang parkir enggan mengatur lalu lintas untuk keselamatan pengguna motor, mereka sering tak acuh. Saya melihat ini sebagai kemerosotan moral. Bandingkan dengan kesigapan tukang parkir era tahun 80 hingga 90an!

Saya tidak menuduh bahwa bisnis perpakiran di kota Solo banyak illegal, tetapi saya ragu walau para tukang parkir memakai seragam oranye untuk menunjukkan legalitas, tapi sangat jelas SDM mereka tidak dikelola dengan baik. Ini harusnya menjadi evaluasi dan teguran serta jeweran bagi pemkot Solo agar di kemudian hari dapat menata perpakiran lebih baik. Dalam tulisan saya ini, saya tidak akan secara spesifik memberikan data-data tentang hal-hal perpakiran karena tujuan saya dalam opini ini agar dapat dibaca semua golongan mulai dari akar rumput sampai puncak pemerintahan. Kita dukung Pemkot Solo untuk menertibkan parkir liar.Yang jelas kalau parkir liar ini dibiarkan maka aliran uang (Cash in Flow) yang seharusnya masuk ke Pemkothanya dapat dinikmati oleh sekelompok golongan bahkan oknum-oknum aparat tertentu. Secara sederhana dalam sehari tukang parkir liar di warung makan bisa beromzet hingga Rp. 200.000,-. Kalau yang warung ala kadarnya atau toko-toko di pinggiran kota mencapai Rp. 50.000,- hingga Rp. 100.000,-. Ini hanyalah salah satu dari perparkiran liar di kota Solo. Kalau diandaikan sedikitnya ada seratus stand parkir liar di wilayah kecamatan dikalikan dengan asumsi nilai omzet rata-rata Rp. 75.000,- (100 x 75.000 = 7.500.000) sungguh fantastis bukan? Kemana perputaran uang itu? Tentu saja perhitungan saya adalah batas paling bawah dengan dasar survey dan tanya jawab langsung pada mereka. Tidak mungkin di solo parkir liar hanya seratus stand dan tidak mungkin secara acak nilai omzet rata-rata hanya Rp. 75.000,-. Yang jelas bisa beberapa kali lipat kebocoran uang parkir kalau kita mau mengadakan metode penelitian dan observasi tentang parkir liar di wilayah pemkot Solo. Belum lagi pada saat event-event tertentu di beberapa tempat-tempat hiburan atau keramaian banyak tukang parkir liar tersebut mematok harga parkir untuk motor sampai Rp. 5000,- sedang mobil hingga Rp. 15.000,-. Sudah tidak berseragam, tampang seram dan bergerombol. Tukang parkir liar dadakan ini biasanya dari warga setempat. Tak jarang mereka didukung oleh perangkat kampung yang terendah yaitu tingkat ketua RT dan RW. Kemana uang hasil parkir liar ini?Dan parkir liar ini juga merambah pada pinggiran kampung seperti pada saat acara pernikahan atau tontonan desa. Sungguh miris kita melihatnya. Bolehkah perangkat kampung atau warga memberlakukan parkir? Dasar pijakan hukumnya apa?

Sebelumnya Pemkot telah membidik kenaikan tarif untuk menggenjot kenaikan pendapatan asli daerah (PAD). Targetnya, kenaikan tarif parkir bisa memacu kenaikan PAD senilai Rp3,125 miliar atau naik Rp100 juta dari tahun 2012. Pemkot mencari pembenaran bahwa kenaikan tarif parkir untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi di Solo. Sampai saat ini target parkir sudah mencapai 95 persen. Terdapat zona C, D dan E yang besaran tiap tarif berbeda. Disinilah parkir liar mematok tarif yang paling tinggi dan dengan seenaknya tidak mematuhi salah satu zona. Kepala UPTD Perparkiran Anindita Prayoga menegaskan, pihaknya belum mengubah (menaikkan) tarif parkir danmengacu pada Perda Retribusi nomor 9 tahun 2011. Besaran tarif parkir sesuai dengan zona-zonanya. Menarik tarif melebihi ketentuan itu termasuk dalam pemerasan, terlebih petugas tidak memberikan karcis parkir. Itu tindakan kriminal dan masuk ranah kepolisian.

Tarif parkir sesuai dengan Perda no. 9/2011

Zona C

Zona D

Zona E

Sepeda

Rp. 500

Rp. 500

Rp. 500

Andong/dokar/becak

Rp. 500

Rp. 500

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun