Salah satu tempat nongkrong yang cukup populer di Yogyakarta saat ini, yakni Filosofi Kopi. Merupakan suatu kedai kopi yang dibangun berdasarkan buku fiksi yang ditulis oleh Dewi "Dee" Lestari. Kemudian buku itu diangkat menjadi film pada tahun 2015 dan dinilai cukup sukses di kalangan pemuda. Melihat kesempatan emas ini, kedai ini kemudian direalisasikan di dunia nyata.
Kedai filosofi kopi pertama kali didirikan di Jakarta berdasarkan film pertamanya. Kemudian, dibangunlah kedai kedua yang mengikuti sekuelnya yang dirilis 2017. Kedai tersebut terletak di Yogyakarta, tepatnya di daerah Sariharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman. Popularitas flosofi kopi memicu masyarakat, terutama pecinta kopi dan 'korban' filmnya untuk datang kesana dan menghilangkan rasa penasarannya, juga menjadi pemikat tersendiri muda-mudi untuk datang dan berlama-lama nongkrong.
Kedai Filosofi kopi Yogya memiliki suasana tempat nyaman dengan nuansa jawa yang cukup kental, dengan kisaran harga produk yang masih terhitung murah dibanding dengan kedai kopi lainnya, memikat pengunjung untuk tidak ragu mendatangi kedai ini. dimana untuk satu cappuccino dengan ukuran standar memiliki harga Rp 39.000, sedangkan di filosofi kopi hanya Rp 30.000.
Selain itu, kedai ini mencoba membangun konsep nuansa kedai kopi modern ke tempat yang berkesan tradisional. Tak hanya secara visual, namun juga suasananya. Kedai yang berlokasi cukup jauh dari jalan raya, berhasil membangun suasana perdesaan, menjadikannya tempat pelarian yang tepat untuk melepas penat dari kebisingan kota. Banyak spot nongkrong yang berada di sana, dengan jenis kursi dan meja yang beragam. Desain interior dan ekterior dibuat berbeda menyesuaikan tempat dan kegunaannya yang sekaligus membuat suasana lebih nyaman.
Tidak tersedianya akses wifi dengan maksud agar pengunjung lebih menikmati momen yang ada dan tidak berfokus pada gadget ketika sedang berkumpul, juga salah satu keputusan yang dipilih kedai ini untuk membuat kegiatan nongkrong lebih berkualitas.
Sayangnya meski dengan konsep yang sudah dibangun filosofi kopi, permasalahan diantara generasi milenial masih saja menjadi kanker. Ibadah menyembah gadget tetap saja mendominasi disetiap meja di kedai ini.
Mulai dari selfie, update instagram, chatting-an, dan kegiatan virtual lainnya. Entah hanya sekadar update atau sebagai sarana untuk panjat sosial. Panjat sosial sendiri merupakan penyakit psikis bagi mereka yang gila kedudukan di media sosial. kebanyakan dari mereka, rela mengorbankan segalanya, hanya demi meningkatkan status sosialnya.
Terlepas dari segala fenomena nongkrong yang terjadi di filosofi kopi, satu hal yang patut diapresiasi adalah kesuksesan branding yang berhasil dibangun dan menjadi daya tarik tersendiri.
Mulai dari mematahkan standar logo yang dikenal kaku menjadi lebih santai dan bermain-main, penjualan merchandise yang unik dan khas, hingga merangkul seniman visual lokal untuk meningkatkan prestige filosofi kopi. Salah satunya ialah Farid Stevy Asta, yang merancang logo sedemikian rupa, untuk memberikan kesan sederhana dan bersahabat. hal ini memancing pengunjung yang tak hanya dari yogyakarta, bahkan dari luar yogyakarta-pun rela mengorbankan waktunya hanya untuk merasakan sensasi ngopi di filosofi kopi.
Kesimpulan
Nongkrong di jaman millenial seperti sekarang ini sudah mengalami pergeseran makna. Bukan hanya sekadar berkumpul dan mengobrol dengan teman-teman, melainkan juga untuk membangun eksistensi dalam lingkup pegaulan di dunia maya, dimana generasi milenial bersliweran di tempat nongkrong yang mewah untuk selfie, update, hingga sekadar untuk berfoto. Hal ini, menunjukan seolah-olah pengunjung disana merupakan kelompok masyarakat yang sepi dalam keramain.