Pandemi Covid-19 menyerang secara global, tak pandang negara maju atau berkembang, tak peduli si kaya dan si miskin, tak melihat usia, semua orang di manapun bisa terpapar. Covid-19 menjadi pekerjaan rumah untuk semua negara. Berbagai klaster pun bermunculan: klaster rumah makan, klaster pasar, klaster keluarga, klaster perkantoran, klaster pondok pesantren hingga klaster lapas.
Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar kondisi Lapas di Indonesia overkapasitas. Klaster lapas menjadi momok karena jika ada satu warga binaan yang terinfeksi, maka virus dengan mudahnya akan menular kepada warga binaan lain. Memakai masker? Menjaga jarak? Menjauhi kerumunan? Protokol kesehatan akan sangat sulit dilakukan di dalam blok hunian. Bahkan berdiam diri di kamar saja sudah menjadi kerumunan.
Pencegahan Covid-19 di dalam Lapas jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penanganannya jika sudah ada satu orang warga binaan yang terinfeksi. Mengapa? Karena sesungguhnya lingkungan ini adalah lingkungan terbatas, tidak semua orang dapat mengaksesnya. Kuncinya satu: jangan biarkan petugas/tamu/pengunjung yang kemungkinan positif Covid berinteraksi dengan warga binaan.
Kebijakan Selama Pandemi
Semenjak pandemi melanda, Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM beberapa kali mengeluarkan surat edaran terkait penanganan pandemi di dalam lapas/rutan seluruh Indonesia. Mulai dari anjuran protokol kesehatan, penghentian sementara kunjungan langsung dan digantikan dengan video call, penggantian absensi finger print dengan absensi mandiri via simpeg, anjuran penyemprotan desinfektan di dalam lingkungan lapas, penerimaan/pemindahan warga binaan disertai dengan hasil rapid test, hingga pengurangan penghuni lapas dengan program asimilasi Covid-19. Beberapa langkah tersebut dilakukan dalam upaya pencegahan penyebaran virus di dalam lapas.
Kurangnya Kesadaran Petugas
Meskipun di luar sana pemerintah sudah gencar untuk menyerukan protokol kesehatan dari mulai 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) hingga menjadi 6M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, menjaga pola makan sehat, dan menjauhi kerumunan), namun petugas lapas yang notabene orang-orang berisiko (hilir mudik dari luar ke dalam lapas) tak semuanya paham dan mau tahu tentang protokol kesehatan.
Petugas bisa saja terinfeksi dengan status OTG (Orang Tanpa Gejala) lalu abai tidak menerapkan protokol kesehatan saat bekerja. Kelalaian ini yang menjadi bumerang jika petugas tersebut berinteraksi langsung dengan warga binaan di dalam Lapas. Adanya klaster-klaster baru penyebaran covid di lapas seperti yang muncul di daerah Lampung, Kendal, dan Yogyakarta menjadi warning bagi lapas-lapas lain agar lebih memperketat protokol kesehatan di dalam lapas. Peran kepala lapas sebagai pimpinan tertinggi lapas begitu besar dalam hal ini.
Vaksinasi Covid-19
Meskipun vaksinasi tidak dapat mencegah seseorang untuk terbebas dari Covid, namun vaksinasi dapat memperingan gejala yang timbul. "Meski terpapar, tidak terkapar" begitulah istilah yang bermunculan di media sosial terkait vaksinasi Covid-19 ini.
Jika petugas lapas yang berstatus sebagai pemberi pelayanan publik sudah mendapatkan jatah vaksin di awal program vaksinasi dari pemerintah, namun hal berbeda terjadi pada warga binaan. Warga binaan banyak yang bermasalah dengan status kependudukannya, bukan karena mereka warga ilegal, namun KTP yang menyimpan data kependudukan mereka banyak yang hilang saat proses penyidikan. Banyak dari mereka yang mengatakan KTP disita pihak berwajib dan tidak dikembalikan saat proses hukum selesai. Alhasil, petugas tidak bisa mendata Nomor Induk Kependudukan (NIK) saat dibutuhkan.