Mohon tunggu...
Maftuhin
Maftuhin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis berpikir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Suara Rakyat; Dinamika Populisme dan Gerakan Islam

3 November 2024   13:27 Diperbarui: 3 November 2024   13:27 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.aa.com.tr/id/pg/Galeri-Foto/reuni-aksi-212-

Suara Rakyat : Dinamika Populisme Dalam Gerakan Islam

 

Di Indonesia sulit untuk dipisahkan hubungan antara Islam dan politik, kondisi ini diperkuat oleh komposisi demografi Indonesia yang merupakan negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia sehingga tidak jarang terjadi populisme. Secara sederhana populisme adalah suatu pemahaman yang menghadapkan politik rakyat banyak dengan politik elite yang digambarkan sebagai tamak dan jahat. Populisme berkembang dalam berbagai bentuk ekspresi politis yang tergantung pada konteks dan konten politik kontemporer, yang melatar belakanginya populisme terbagi menjadi tiga ranah yaitu populasi ideologi, populasi sebagai komunikasi politik  maupun populisme sebagai gaya politik.

 Populisme sebagai komunikasi politik lebih diutamakan dalam konstruksi adanya figur pemimpin karismatik. Hal itulah yang mengkonstruksi pemimpin populis adalah dari rakyat. Istilah populis Islam dipopulerkan oleh Vedi R Hadiz, sebagi salah satu varian populisme dalam menganalisis fenomena di negara dengan mayoritas muslim . Perbedaan populisme Islam dengan populisme secara umum adalah konsep rakyat . Dalam populisme secara umum, perbedaan di masyarakat di homogenisasi menjadi rakyat . Sementara homogenisasi dalam populisme Islam bukan lewat rakyat tapi umat . Dalam pandangan populasi Islam, setiap individu memiliki karakteristik yang beragam. Umat merupakan terminologi yang diperlukan untuk memobilisasi basis dukungan massa, di tengah kenyataan bahwa di dalam aliansi keberagaman yang kompleks di era masyarakat modern.

Sebagai contoh pilkada DKI Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017 lalu yang dilakukan secara periodik untuk menentukan Pemimpin DKI Jakarta periode 2017-2022. Pilkada tersebut memancing masalah nasional dengan isu identitas yang pekat di dalamnya pada masa kampanye calon. Tersandungnya salah satu calon gubernur DKI Jakarta atas kasus penistaan agama yang mengundang aksi dan opini tersendiri dari berbagai kalangan.

Berawal dari postingan Facebook seorang pengguna yang menyebarkan video Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang berpidato di depan masyarakat Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 dan mengundang perhatian banyak orang termasuk beberapa Ormas Islam yang menuntut agar Basuki Tjahja Purnama dipidanakan atas kasus penistaan agama. Aksi inilah yang menarik perhatian publik. Tahun 2016 adalah sebuah momen bersejarah lagi penting bagi pergerakan Islam politik di Indonesia. Pasalnya gerakan yang digadang-gadangkan sebagai manifestasi dari populisme Islam ini meledak dan memutihkan Monas.

Gerakan ini disebut dengan gerakan Aksi Bela Islam 212 (ABI 212), terjadi menjelang pemilihan gubernur untuk DKI Jakarta yang mana Ahok alias Basuki Tjahja Purnama, muncul sebagai kandidat calon gubernur DKI Jakarta. Ahok tersandung kasus penistaan agama ketika berpidato di depan masyarakat Kepulauan Seribu dan diberi label oleh kalangan tertentu sebagai "penista agama". Bersamaan dengan bergulirnya kasus penistaan agama oleh Ahok, hegemoni diskursus akhirnya memunculkan momen populis yang dikenal dengan Aksi Bela Islam 212.  Dari momentum tersandungnya Ahok dengan kasus penistaan agama, lebih jauh lagi artikulasi yang muncul melebar hingga mencapai ranah politik praktis, ekonomi dan sosial budaya.

 Momentum ini menjadi sangat berarti bagi kalangan Islam politik yang sebelumnya bertentangan dengan Ahok untuk memanifestasikan gerakan-gerakan yang ada sebelumnya untuk menjadi lebih besar dengan mengumpulkan umat untuk memperkuat barisan melawan penindasan yang dilakukan oleh penguasa yang mesra dengan kalangan borjuasi yang bukan berasal dari pribumi. Adanya sentimen anti-Ahok, wacana ini digulirkan oleh berbagai pihak, khususnya ormas Islam. Bentuk sentimen yang muncul adalah sentimen nativisme karena Ahok non-muslim dan berasal dari etnis Tionghoa ditambah lagi dengan karakter Ahok yang dinilai buruk serta kebijakan yang dinilai merugikan banyak pihak kususnya muslim di Jakarta. Penolakan tersebut diperkuat dengan penggunaan dalil Alquran dan Hadis tentang haramnya memilih pemimpin kafir sebagai pemimpin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun