“Mak, aku ingin sepeda mini.”
“Tapi Emak gak punya uang, Nak.”
“Pokoknya aku minta sepeda, Mak.”
“Tidurlah dulu, Nak. Esok pagi sepeda itu akan menyambut bangunmu.”
***
Kedua sorot matanya mengalihkan pandangan dan tertuju pada sebuah foto usang bergambarkan seorang anak dan sepeda mini.
Di sudut kamar berukuran 3x4 m2, sosok berkulit sawo matang dengan pipi beruris-uris tengah duduk di depan kisi-kisi jendela. Kedua bola mata yang mulai sayu menatap nuansa cakrawala penuh syahdu. Telinga mendengar alunan gerimis dengan seksama. Tutur bahasa yang semakin pelo lirihkan kidung tasbih berseling sholawat. Perempuan berkepala enam itu biasa dipanggil Mak Ipah. Seorang janda yang hidup seorang diri di rumah beratap genting tua, beralas tanah, dan berdinding gedek. Seperti hidup sebatang kara. Sendi-sendi tulangnya tak mampu lagi bekerja. Stroke telah melumpuhkan tubuh yang senja. Hanya mengandalkan kiriman bulanan dari anak satu-satunya.
“Nak, apa kabarmu? Sedang apa kau sekarang?”
Mak Ipah menatap lama foto anak semata wayangnya. Ia pun teringat kenangan tiga puluh tahun silam.
“Nak, aku rindu senyum dan tawa bahagiamu, seperti saat kau mendapatkan sepeda impianmu dulu. Walaupun itu adalah buah dari hutang. Tapi kau tak perlu mengetahuinya. Asal kau bergelinjang riang, aku pun senang.”
Mak Ipah tersenyum-senyum sendiri.
“Mak, kok senyum-senyum sendiri? Lagi keinget Mas Bagus, ya..” Ucap Zulaikha sambil membawa semangkuk bubur dan segelas teh hangat untuk Mak Ipah.
Dialah yang selama ini merawat emak sejak Bagus ke Jakarta dua puluh tahun yang lalu. Sebenarnya Zulaikha bukan bagian dari keluarga emak, dia hanya tetangga yang tinggal di samping rumah tua – rumah Mak Ipah – yang hampir berumur satu abad itu.
“Iya, Zul. Aku kangen anakku.”
“Apa perlu Zul telfonkan, biar emak bisa ngobrol dan kangen-kangenan sama Mas Bagus?”
“Nggak usah, dia pasti sibuk sekarang. Mak nggak mau mengganggunya.”
“Ya sudah kalau begitu mak makan aja dulu ya..” Kata Zul sambil menyuapi Mak Ipah.
“Sepurane yo, nduk. Aku ngerepotno awakmu terus.”
“Kenapa mak tiba-tiba ngomong kayak gitu? Zul ndak pernah merasa repot. Mak ini sudah Zul anggap seperti keluarga sendiri.” Kata Zulaikha sambil memandang kedua mata Mak Ipah yang mendung.
“Mak nggak enak aja sama Zul dan keluarganya Zul.”
“Sudahlah, Mak. Ndak usah lagi mikir yang macam-macam, ya. Ini makanannya dihabiskan dulu, ya.”
“Sudah, Zul. Mak kenyang. Mak mau tidur, mungkin nanti ketemu Bagus dalam mimpi.” Baru tiga kali suapan Mak Ipah sudah berhenti makan.
“Ya sudah kalau gitu Zul nyapu dulu ya, Mak.” Zulaikha membantu membaringkan badan Mak Ipah di tempat tidur yang terbuat dari kayu tua.
Andai saja dulu cah bagusku mau dinikahkan dengan Zulaikha, pasti sekarang aku berada di sampingnya sepanjang waktu. Tidak harus menahan rindu seperti ini. Ah.
Gumam Mak Ipah dalam hati kendati memandang punggung perempuan berjilbab merah bata berlalu meninggalkannya. Sepuluh tahun lalu, mereka memang dijodohkan satu sama lain. Kedua orang tua sudah setuju, hari H pun sudah ditentukan. Namun, rupanya Bagus memilih wanita lain. Walau begitu, Zul justru menganggapnya sebagai saudara sendiri saat ini. Yang lalu biarlah berlalu. Zul tak pernah mengungkitnya demi sebuah ikatan sillaturrahim.
***
Kriiiiiiingg… Kriiiiiiiiingg… Kriiiiiiiingg…
“Ya, haloo..”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Zul?”
“Kapan Mas Bagus pulang? Mak Ipah sudah sangat merindukanmu. Kasihan dia.”
“Sebenarnya aku juga, Zul. Tapi aku belum bisa pulang. Aku sibuk banget di sini. “
“Tapi, Mas…” Zul mencoba menyanggah.
Paa..Papa… Mama, Pa.
Iya, sayang. Sebentar. Terdengar Bagus menjawab panggilan yang cukup keras namun entah siapa.
“Emm, maaf, Zul. Kapan-kapan saja ya telponnya. Titip salam rindu buat emakku.
“O, baik. Assalamu’alaikum.”
Tuuuut… Tuuuut…. Tuuuut….
Tanpa menjawab salam, Bagus menutup teleponnya.
Apa sebegitu sibuknya sehingga Mas Bagus… tapi suara tadi seperti ada sesuatu. Suara sedikit teriakan memanggilnya. Apa itu istrinya? Atau anaknya? Ah, mungkin dia memang sedang sibuk!
Perasaan dan pikiran Zul saling beradu argumen.
***
Bapak dan anak tengah sibuk memapah tubuh lunglai pemilik mata yang terkatup. Membawanya ke spring bed berseprei ungu berpadu biru, sebiru bibir wanita kian terkulai tak berdaya.
“Mama, bangun, Ma,”
Gadis yang baru saja tadi malam memperingati ulang tahunnya tiada henti menghujankan air mata seraya mengusap bercak darah kental di bibir wanita yang masih tampak tertidur tenang.
Wanita pilihan dan pujaan hati Bagus. Karenanya, ia batalkan pernikahan bersama Zulaikha, calon menantu pilihan emak. Sosok yang diidamkan oleh setiap lelaki sebab paras cantik dan sahajanya. Muslimah yang pertama kali mengajarkan alif, lam, dan mim kepada seorang lelaki yang hampir khatam masa lajangnya yang tak pernah sekalipun menjamah kitab suci. Mujahidah yang pertama kali dilihatnya di majlis ta’lim Masjid An-Nuur. Bidadari titisan Fatimah Az-Zahra yang tak pernah mengeluh atas hidup yang teramat pas-pasan di kota rantau.
“Ma, bangunlah demi Rere… dan aku…” suara Bagus nian parau.
Perempuan itu masih terbujur kaku. Hanya saja ia masih mengembuskan napas. Setelah menunggu satu jam lebih seperempat menit, akhirnya dokter yang menangani penyakit sang istri datang dan memeriksa.
***
“Mak.. Mak Ipah.. Mak..”
Panggil Zulaikha dengan membawa makan sore untuk Mak Ipah. Kok sepi, ke mana emak? Batinnya.
Zulaikha mencarinya dari kamar ke kamar, dapur, hingga sudut ke sudut. Namun hasilnya, nihil. Mak Ipah tidak ditemukan. Perempuan berlesung pipi itu semakin menampakkan wajah kekhawatirannya. Ah, masih ada satu tempat lagi yang belum kuselidiki. Ya, kamar mandi. Semoga emak baik-baik saja. Ujarnya sendiri dalam hati penuh harap.
“Astaghfirullah, Mak. Tolooong.. Tolooong..”
Zulaikha mendapati Mak Ipah terkapar di kamar mandi. Sungguh, hal yang tidak sesuai dengan harapnnya. Tubuh kurus wanita lansia itu kejang-kejang terutama tangan kirinya yang selama ini tak mampu digerakkan lagi. Kaku. Dengan kaki terseok biasanya ia berjalan dengan sebuah tongkat kayu berbahan pohon bambu. Busa putih dan kental keluar dari mulut wanita senja. Separuh tubuh dingin dan kaku.
“Mak kenapa? Sadarlah, Mak.”
Kucuran air mata Zulaikha tak bisa dibendung, membanjiri pipi perawannya.
Tak lama kemudian, berduyun-duyun tetangga mendatangi rumah Mak Ipah sebab teriakan Zulaikha beberapa saat lalu. Hiruk-pikuk suasana saat itu. Genting. Ada yang memanggilkan dokter agar segera memeriksa emak. Sedang Zulaikha sendiri menelepon Bagus berkali-kali. Namun tidak diangkat.
“Strokenya sudah menyerang ke otak. Harus segera dibawa ke rumah sakit.” Kata dokter setelah memeriksa.
“Apa, Dok?” Zulaikha lemas mendengar pernyataan Dokter.
“Ya, Mak Ipah harus segera dibawa ke rumah sakit. Sekarang juga.”
“Kalau gitu lakukan yang terbaik buat emak, Dok? Masih bisa diobati, kan?”
“Kita berdoa saja.”
Dengan mata yang sembab, Zulaikha kembali menghubungi Bagus. Ah, akhirnya. Dia menghela napas lega saat teleponnya tersambung.
“Halo, Mas Bagus. Cepetan sekarang juga mas harus pulang.”
“Ada apa, Zul?”
“Emak… Mak…Mak Ipah…” suaranya tersendat oleh senggukan tangis.
“Emak kenapa, Zul? Kamu nangis?”
“Mak Ipah jatuh di kamar mandi. Sekarang mau dibawa ke rumah sakit. Strokenya sudah menjalar hingga ke syaraf. Tolong, Mas. Pulanglah..” Pinta Zulaikha dengan terisak.
“Tapi aku gak bisa langsung pulang sekarang, Zul. Ada sesuatu yang… yang harus aku selesaikan di sini.”
“Tapi, Mas..”
“Tolong jaga dan rawat dulu emakku. Setelah ini aku akan transfer uang untuk biaya rumah sakit.”
Bagus pun mengakhiri telepon. Tampak wajah Zulaikha kecewa. Ia segera mengantarkan Mak Ipah ke rumah sakit bersama dokter. Sanak saudara Mak Ipah memang tidak tinggal di desa yang sama. Mereka berpencar bahkan rata-rata di luar pulau. Kasihan Mak Ipah. Rintih batinnya seraya mengecup kening Mak Ipah yang berkerut.
***
“Telepon dari siapa, Pa?” suara pelan dan parau keluar dari bibir Maya.
“Dari rumah, Ma.”
“Kenapa? Emak bagaimana kabarnya?”
Bagus hanya diam terpaku. Ia khawatir dengan keadaan orangtua tunggalnya.
“Pa?”
“O, emak baik-baik aja, Ma. Emm, mama sudah siap?”
“Iya, Pa. Insya Allah. Mama siap dikemoterapi.”
Hati Bagus bergetar seketika mendengar kata itu. Kemoterapi. Di satu sisi, perasaannya mengkhawatirkan emak. Dia ingin sekali pulang dan memeluk emak. Namun, di satu sisi yang lain, raganya tak mungkin meninggalkan sang istri yang sedang berjuang melawan penyakit ganas yang telah menggerogoti usia dan membersihkan kepalanya dari ratusan mahkota rambut panjangnya. Leukemia stadium empat. Ya Allah, kenapa ini harus terjadi dalam waktu yang bersamaan? Apa yang harus saya lakukan? Selamatkan emak dan istriku, Ya Allah. Kumohon.
Dengan langkah yang gontai, Bagus meninggalkan Maya di ruangan yang sesak akan peralatan medis. Sesungguhnya dia tidak tega melihat istrinya dikemoterapi. Matanya mendung dan mulai berkaca-kaca. Sekali, ia berhenti dan kembali memandang istrinya. Maya hanya tersenyum penuh yakin agar suaminya tak khawatir. Bagus pun membalas senyum yang manis itu dan keluar dari ruangan.
“Papa, mama akan sembuh kan?” Rere memeluk papanya yang baru saja menutup pintu.
“Pasti, Sayang. Rere jangan berhenti berdoa dan meminta pada Allah ya.” Bagus memeluk erat anak semata wayangnya yang kini baru menginjak di sekolah menengah pertama. Air matanya leleh seketika dan tak mampu dibendungnya.
***
Setiba di rumah sakit, Mak Ipah segera dibawa di ruang UGD. Dua belas jam ia tak sadarkan diri. Hanya Zulaikha dan kedua orangtuanya yang setia menjaga emak. Matanya selalu membasah. Butiran embun luruh dari kedua mata sayunya.
Tiga hari Mak Ipah dirawat di UGD. Namun Bagus belum juga terlihat batang hidungnya.
“Ba… Baguuus.. Aa… Anak..ku...” Lisan Mak Ipah terbata-bata.
“Bu, Mak Ipah sudah sadar.” Zulaikha mencoba membangunkan ibunya.
“Iya, Nduk. Alhamdulillah.” Ucap Bu Marni sambil tersenyum.
Tidak segan-segan Zulaikha segera menelepon Bagus. Tapi nomer Bagus tidak aktif. Baru suasana sedikit hangat sebab Mak Ipah sadarkan diri. Tiba-tiba Mak Ipah kejang-kejang, mulutnya kembali memuntahkan busa kental, dan keringat dingin membasah-kuyupkan tubuh ringkihnya.
“Bu, Mak Ipah kenapa?”
“Ibu gak tau, Nduk. Cepat kamu panggil dokter.”
Sesegara tangan Zulaikha memencet tombol panggilan darurat. Kemudian dokter dan suster datang ke kamar AB 20.
“Asyhaduanlaa ilaahaillallah…” Dokter muslimah berkerudung putih tengah membisikkan kalimat syahadat di telinga kanan Mak Ipah. “…Wa Asyhaduanna muhammadar rasulullah.” Mak Ipahpun mengikutinya dengan pelan dan terbata-bata. Kedua kelopak mata sayu memejam dengan pelan.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.” Ucap dokter sambil melepaskan kantong oksigen Mak Ipah.
“Mak Ipah… jangan tinggalin, Zul..”
Zulaikha tak mampu menahan tangis dan memeluk tubuh kaku Mak Ipah. Langit seakan runtuh. Rintik gerimis pun semakin lama semakin besar, menggertak atap-atap rumah sakit kala itu. Mungkin malam tengah menangisi kepergian Mak Ipah, perempuan malam yang selalu merindu dan menanti anak semata wayangnya. Tepat pukul 00:00 WIB Jum’at petang, perempuan bercadar sabar itu menghembuskan napas terakhirnya.
“Tolong ibu yang menelepon Mas Bagus, ya.” Pinta Zulaikha kepada ibunya.
Bu Marni pun segera menelepon Bagus dan kebetulan langsung diangkat, “Nak, kamu cepetan pulang. Mak Ipah sudah tidak ada.”
~ Selesai ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H